Jumat, 20 September 2013

Kecenderungan Formalisme di Perguruan Tinggi

PENDIDIKAN bukanlah mencari ijazah atau gelar sesuai jenjang yang ditempuh peserta didik. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Pendidikan didasarkan pada cita-cita kemanusiaan universal. Tujuannya adalah menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dinamis; guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Dalam pada itu, Nana S Sukmadinata (1997) mengemukakan, terdapat empat teori pendidikan, yaitu: pendidikan klasik; pendidikan pribadi; teknologi pendidikan; dan teori pendidikan interaksional.

Pertama, pendidikan klasik (classical education) memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya yang menekankan pada proses. Kedua, pendidikan pribadi (personalized education). Di dalam teori ini, pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik.

Ketiga, teknologi pendidikan. Dalam teori ketiga ini lebih menekankan pada pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dan keempat, pendidikan interaksional, di mana pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi.

Dari keempat teori yang ada di atas jelas tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa pendidikan memiliki fungsi untuk mendapatkan ijazah, gelar, atau yang sejenisnya. Namun begitu, menjadi rahasia umum, dunia pendidikan kita saat ini tak lain dan tak bukan hanya sekadar produsen ijazah dan gelar para lulusannya. Betapa tidak, pendidikan dengan gelar yang mentereng serta ijazah yang dapat dijadikan senjata tajam dalam mencari pekerjaan akan diburu para calon mahasiswanya.

Sementara banyak lembaga pendidikan yang tidak memberikan ijazah serta gelar atau memberikan keduanya namun tidak banyak berfungsi di hari kemudian, maka lembaga pendidikan ini dipastikan dijauhi para calon mahasiswanya. Hal ini dikarenakan para calon mahasiswa dalam mengikuti pendidikan tidaklah karena ingin mendapatkan hasil kualitas pendidikan. Mereka menginginkan ijazah dan gelar mentereng.

 Kompetisi PT

Berawal dari sinilah perguruan tinggi pun tidak lagi terfokus pada kualitas pendidikan. Banyak perguruan tinggi kita memajang besar promosi besar-besar di beragam tempat yang intinya mengunggulkan ijazah serta gelar yang akan diperoleh calon mahasiswa setelah menjalani belajarnya. Mereka juga memberikan gambaran bagi para calon mahasiswa untuk bisa bekerja di beragam instansi setelah kelulusannya. Ironisnya, semua hanyalah mengandalkan brand belaka, sementara kualitas tidak diperhatikan.

Dalam pada itu, lewat bukunya Deschooling Society (Bebas dari Sekolah), Ivan Illich seolah sedang menyindir kepada pendidikan formal kita yang cenderung menjadi kuburan masa depan manusia.

Illich mengkritik kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipaketkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Peserta didik (konsumen paket nilai) diberi sugesti agar dengan paket nilai tersebut mereka mendapatkan harapan-harapannya, sehingga dari situ mereka diajari supaya berhasrat kepada paket nilai.

Berakar dari sinilah ijazah menjadi satu benda yang sangat diagungkan. Dalam masyarakat, individu akan merasa bersalah jika tidak mendapat ijazah sesuai dengan yang telah dipaket. Selanjutnhya, bagi peserta didik yang setelah mendapat ijazah tidak bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ijazahnya, maka hal ini akan dianggap kesalahan besar.

Dari sini sudah sangat jelas betapa pendidikan kita saat ini bukan mementingkan isi. Yang terpenting adalah bentuk luar. Formalisme pendidikan kita sudah begitu kentaranya. Bahkan banyak perguruan tinggi yang dengan gagahnya menjanjikan penyaluran kerja kepada calon mahasiswa setelah mereka lulus. Syarat utama untuk disalurkan bukan kualitas kebisaan melainkan adanya ijazah.

Alhasil para alumnus perguruan tinggi banyak yang merasa kecewa dengan hasil belajarnya. Berupiah-rupiah harus mereka keluarkan untuk membayar beragam kebutuhan kuliahnya. Mereka berharap akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan kenyamanan hidup (baca: bisa bekerja dengan nyaman) saat sudah selesai kuliah. Namun demikian, dengan mereka tidak mendapatkan apa-apa, melainkan nilai dan ijazah serta gelar.

Beruntunglah bagi mereka yang diterima ke instansi untuk bisa menjadi bagian, menjadi pekerja. Namun begitu, berapa persenkah para lulusan perguruan tinggi yang tanpa skill bisa memasuki dunia kerja sesuai dengan yang semestinya. Pengangguran terdidik semakin hari semakin bertambah banyak.  Maka dari sinilah, semejak sekarang dunia pendidikan perlu mulai sadar akan kondisi yang ada pada dirinya. Para calon mahasiswa juga perlu meniatkan secara benar atas keikutsertaannya dalam dunia pendidikan. Jangan sampai mereka mengikuti pendidikan hanya sekadar ingin mendapatkan ijazah serta gelar.  (24)

oleh  Anton Prasetyo, alumnus UMY dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost