Jumat, 20 September 2013

Kecenderungan Formalisme di Perguruan Tinggi

PENDIDIKAN bukanlah mencari ijazah atau gelar sesuai jenjang yang ditempuh peserta didik. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Pendidikan didasarkan pada cita-cita kemanusiaan universal. Tujuannya adalah menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dinamis; guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Dalam pada itu, Nana S Sukmadinata (1997) mengemukakan, terdapat empat teori pendidikan, yaitu: pendidikan klasik; pendidikan pribadi; teknologi pendidikan; dan teori pendidikan interaksional.

Pertama, pendidikan klasik (classical education) memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya yang menekankan pada proses. Kedua, pendidikan pribadi (personalized education). Di dalam teori ini, pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik.

Ketiga, teknologi pendidikan. Dalam teori ketiga ini lebih menekankan pada pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dan keempat, pendidikan interaksional, di mana pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi.

Dari keempat teori yang ada di atas jelas tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa pendidikan memiliki fungsi untuk mendapatkan ijazah, gelar, atau yang sejenisnya. Namun begitu, menjadi rahasia umum, dunia pendidikan kita saat ini tak lain dan tak bukan hanya sekadar produsen ijazah dan gelar para lulusannya. Betapa tidak, pendidikan dengan gelar yang mentereng serta ijazah yang dapat dijadikan senjata tajam dalam mencari pekerjaan akan diburu para calon mahasiswanya.

Sementara banyak lembaga pendidikan yang tidak memberikan ijazah serta gelar atau memberikan keduanya namun tidak banyak berfungsi di hari kemudian, maka lembaga pendidikan ini dipastikan dijauhi para calon mahasiswanya. Hal ini dikarenakan para calon mahasiswa dalam mengikuti pendidikan tidaklah karena ingin mendapatkan hasil kualitas pendidikan. Mereka menginginkan ijazah dan gelar mentereng.

 Kompetisi PT

Berawal dari sinilah perguruan tinggi pun tidak lagi terfokus pada kualitas pendidikan. Banyak perguruan tinggi kita memajang besar promosi besar-besar di beragam tempat yang intinya mengunggulkan ijazah serta gelar yang akan diperoleh calon mahasiswa setelah menjalani belajarnya. Mereka juga memberikan gambaran bagi para calon mahasiswa untuk bisa bekerja di beragam instansi setelah kelulusannya. Ironisnya, semua hanyalah mengandalkan brand belaka, sementara kualitas tidak diperhatikan.

Dalam pada itu, lewat bukunya Deschooling Society (Bebas dari Sekolah), Ivan Illich seolah sedang menyindir kepada pendidikan formal kita yang cenderung menjadi kuburan masa depan manusia.

Illich mengkritik kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipaketkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Peserta didik (konsumen paket nilai) diberi sugesti agar dengan paket nilai tersebut mereka mendapatkan harapan-harapannya, sehingga dari situ mereka diajari supaya berhasrat kepada paket nilai.

Berakar dari sinilah ijazah menjadi satu benda yang sangat diagungkan. Dalam masyarakat, individu akan merasa bersalah jika tidak mendapat ijazah sesuai dengan yang telah dipaket. Selanjutnhya, bagi peserta didik yang setelah mendapat ijazah tidak bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ijazahnya, maka hal ini akan dianggap kesalahan besar.

Dari sini sudah sangat jelas betapa pendidikan kita saat ini bukan mementingkan isi. Yang terpenting adalah bentuk luar. Formalisme pendidikan kita sudah begitu kentaranya. Bahkan banyak perguruan tinggi yang dengan gagahnya menjanjikan penyaluran kerja kepada calon mahasiswa setelah mereka lulus. Syarat utama untuk disalurkan bukan kualitas kebisaan melainkan adanya ijazah.

Alhasil para alumnus perguruan tinggi banyak yang merasa kecewa dengan hasil belajarnya. Berupiah-rupiah harus mereka keluarkan untuk membayar beragam kebutuhan kuliahnya. Mereka berharap akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan kenyamanan hidup (baca: bisa bekerja dengan nyaman) saat sudah selesai kuliah. Namun demikian, dengan mereka tidak mendapatkan apa-apa, melainkan nilai dan ijazah serta gelar.

Beruntunglah bagi mereka yang diterima ke instansi untuk bisa menjadi bagian, menjadi pekerja. Namun begitu, berapa persenkah para lulusan perguruan tinggi yang tanpa skill bisa memasuki dunia kerja sesuai dengan yang semestinya. Pengangguran terdidik semakin hari semakin bertambah banyak.  Maka dari sinilah, semejak sekarang dunia pendidikan perlu mulai sadar akan kondisi yang ada pada dirinya. Para calon mahasiswa juga perlu meniatkan secara benar atas keikutsertaannya dalam dunia pendidikan. Jangan sampai mereka mengikuti pendidikan hanya sekadar ingin mendapatkan ijazah serta gelar.  (24)

oleh  Anton Prasetyo, alumnus UMY dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Pendidikan Karakter

 FORMAT PENDIDIKAN KARAKTER
MELEPASKAN JEBAKAN FORMALISME PENDIDIKAN, MENUJU KE ARAH
PENDIDIKAN YANG LEBIH SUBSTANTIF
Pendahuluan
Menulis pembahasan ini merupakan sesuatu yang “mengganggu, tetapi telah memberikan rangsangan kepada minat intelektual saya untuk melihat ulang, mengkritisi praktek pendidikan yang berlangsung untuk kemudian berupaya memberikan suatu alternative yang mungkin ditempuh.
Tidaklah mudah bagi saya untuk memahami secara persis ide yang muncul dari seorang professor yang sangat saya hormati, tidak hanya karena konsistensi beliau dalam jalur pengabdiannya terhadap pengetahuan tetapi karena berbagai pemikiran yang dikemukakan memberikan dorongan yang  “memaksa”  saya untuk terus berpikir dan merenung.
Pembangunan karakter adalah  tema yang menarik untuk dibahas, beberapa waktu sebelum kegiatan alih kepakaran dilakukan, saya terlibat dalam perenungan dan diskusi mengenai masalah moral yang mengungkungi masyarakat. Terdapat banyak keluhan, kekhawatiran dan juga cacian atas perilaku yang dianggap tidak menunjukkan karakter sejati bangsa Indonesia yang sangat normative, Pameran keburukan ini dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan elit politis, selebritis hiburan maupun rakyat biasa.
Artikel yang ditulis oleh Prof Conny Semiawan yang berjudul” Character Building for Children : Toward A National Identity of Quality and Dignity” adalah sebuah tulisan yang patut untuk disimak. Dalam tulisan ini membuat beberapa point, yaitu :
a. Konsep karakter dan pendidikan karakter
b. Peran lingkungan dan aspek genetis
c. bangsa bermartabat dan peran orang tua
Dalam tulisan ini saya akan membahas dan memberikan tanggapan atas beberapa point di atas terutama yang berkaitan dengan konsep karakter dan pendidikan karakter tetapi dengan tinjauan yang lebih mikro dan pembahasan yang lebih operasional. Sementara bagian lain, dalam pandangan saya mungkin lebih menarik untuk dibahas bersama karena memiliki konstelasi yang lebih luas.

Jebakan formalisme pendidikan yang bersumber dari pragmatisme
Kegiatan bersekolah seringkali disamaartikan dengan pendidikan, kegiatan rutin pergi pagi pulang siang, murid duduk di bangku sambil mendengarkan guru menyampaikan pelajaran, pada akhir tahun mendapatkan laporan hasil pendidikan dan pada akhir pendidikan mendapatkan ijazah. Kegiatan ini diikuti oleh jutaan orang Indonesia melibatkan semua struktur dalam masyarakat, oleh rakyat dan juga pemerintah. Apabila bersekolah sama dengan pendidikan apakah kegiatan persekolahan yang dilakukan telah mencapai hasil yang diharapkan dalam pendidikan, yaitu mencapai manusia seutuhnya atau telah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. Karena tujuan pendidikan secara substansial merujuk kepada upaya untuk membuat suatu perubahan yang lebih baik dan salah satu komponen penting perubahan tersebut adalah pembangunan karakter.  
            Kegiatan Pendidikan (mungkin istilah yang lebih tepat adalah persekolahan) menjadi sebuah kewajiban yang diarahkan menjadi cara untuk mendapatkan pekerjaan yang “bergengsi” pendidikan bukan merupakan cara untuk memartabatkan dan memuliakan manusia, indikator keberhasilan pendidikan adalah pekerjaan yang bagus, jabatan yang tinggi dan kekayaan material. Bukan diarahkan agar anak didik memiliki kehormatan , cita-cita, respek terhadap kehidupan; terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan. Tilaar (1999a) mensinyalir bahwa Indonesia tidak saja mengalami krisis secara ekonomi, tetapi juga mengalami krisis pendidikan. Dia menyoroti  bagaimana pendidikan dijalankan pada jaman orde baru, bahwa pendidikan telah dipisahkan dari budaya.
Praksis pendidikan yang berjalan digambarkan oleh Postman (1995) sebagai sebuah kegiatan yang konservatif dan subversive, karena sekolah sebagai tempat pendidikan telah menjadi tembok pembatas dari upaya untuk memberikan ruang yang lapang  untuk pergerakan pemikiran, dan bahkan mungkin telah menghianati upaya untuk melanggengkan demokratisasi. Pendidikan lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan, bukan kemandirian.   
Pendidikan yang salah arah telah menimbulkan berbagai implikasi yang negative, dari manusia yang terdidik tinggi ide-ide mengenai kehancuran diciptakan. Pembuatan Senjata pemusnah massal, pengurasakan alam secara massif. Pendidikan telah menjadikan manusia kehilangan kemampuan untuk mengembangkan minat terhadap kehidupan (Erich Fromm menyebutnya dengan biofilus) karena yang muncul adalah nafsu necrofilik yang menghancurkan. Pendidikan yang dijalankan telah melahirkan manusia-manusia dengan mental korup dan merusak. Kita ketahui bahwa para pelaku korupsi adalah mereka yang terdidik tinggi. Bukankah suatu hal yang paradoks apabila pendidikan berbanding terbalik dengan kebaikan.
            Pendidikan bergeser menjadi sangat kapitalistik akan melahirkan berbagai bentuk manipulasi, karena yang diharapkan adalah gelar bukan perubahan atau proses menuju aktualisasi (Conny Semiawan (2010a). Pendidikan menjadi sangat intelektualistik, aspek-aspek kepribadian yang meliputi aspek konatif, afektif dan kognitif telah diabaikan, Pendidikan telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan intelektualisme yang sempit dan mematikan inisiatif dan kemandirian berpikir manusia (TIlaar, 1999). Demi mengejar gelar banyak orang yang memalsukan ijazah dan berbangga diri dengan gelar akademik (lihat Darmaningtyas, 2005). Inilah jebakan pendidikan yang harus dihindari
Pendidikan yang dijalankan pada dasarnya memiliki dua dimesi, yaitu teknis dan metafisis (lihat Tilaar 1999 dan Postman, 1995). Praktek pendidikan di Indonesia sangat disibukan dengan dimensi yang bersifat teknis, sibuk dengan kurikulum, fasiltas, proses birokrasi, belajar menjadi sangat mekanistis. tetapi mengabaikan fungsi pendidikan sendiri. Dalam UU Siskdiknas No 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”. Secara normative itulah fungsi pendidikan yang diharapkan. 
Realitas yang tidak sesuai harapan ini menunjukan adanya gejala bahwa pendidikan jalan di tempat. Setelah 65 tahun merdeka pendidikan semakin memperburuk mentalitas manusia Indonesia. Secara romantis Mangunwijaya (2003) menceritakan bahwa pendidikan di jaman penjajahan Belanda telah melahirkan banyak pejuang tangguh, melahirkan manusia-manusia yang mandiri dan memiliki cita-cita. Sementara ketika pendidikan dijalankan oleh bangsa sendiri memberikan hasil yang sebaliknya, hanya sedikit yang memiliki mentalitas maju. Bercermin pada kondisi ini kita mungkin dapat memahami mengapa pembangunan Indonesia sepertinya berjalan lamban. Merujuk kepada penjelasan Koentjaraningrat (1983) mengenai hambatan yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan adalah terletak pada mentalitas, dikatakan  bahwa sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan. Kondisi ini yang dianggap masih bercokol pada kebanyakan masyarakat Indonesia seperti yang diresahkan juga oleh Semiawan (2010b) bahwa perubahan mentalitas belum terwujud, karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang tetap berjalan, bahkan telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa. Penggambaran Mochtar Lubis tahun 1977 mengenai manusia Indonesia tampaknya masih tetap relevan, meskipun banyak orang mengingkarinya. Mochtar Lubis menggambar manusia Indonesia secara umum memiliki sifat negative yaitu  hipokrisi atau munafik. segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. berjiwa feodal. percaya takhayul. tidak hemat dan boros. Dia tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa. Meskipun beliau berusaha untuk tetap objektif dalam menilai setidaknya dengan menunjukkan sifat-sifat yang baik berupa ikatan saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar. penggambaran di atas tidak bermaksud menampilkan keburukan bangsa sendiri, tetapi bagi kalangan pendidik dan akademisi merupakan sesuatu yang menggugah dan pantas untuk diperbaiki karena menjadi PR bagi kita (Semiawan, 2010b). 

Menuju pendidikan yang membangun karakter 
Langkah yang mungkin dapat diperbaiki adalah bagaimana membangun karakter. Semiawan (2010b) setidaknya memberikan dua kontributor penting yaitu pengasuhan di rumah dan pendidikan di sekolah. Dalam pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan meskipun bukan panaceabagi masalah-masalah kebangsaan, tetapi merupakan kontributor penting bagi kemajuan dan upaya menuju ke arah perbaikan. Pendidikan yang baik akan mendorong kepada perubahan progresif menyebabkan setiap orang mencapai aktualisasi (dalam bahasa Maslow) atau individuasi dalam Bahasa Jung atau creative minority versi Arnold Toynbee (lihat Schultz, 1991). Pendidikan harus diarahkan kepada upaya untuk membangun karakter, yaitu terjadi proses tranformasi diri menuju ke arah yang lebih tinggi
Pendidikan dapat membantu manusia menjadi bagian dari masyarakat yang sehat,  Dalam istilah Erich Fromm masyarakat yang sehat adalah masyarakat produktif,  karena memiliki karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan apapun untuk kemajuan, mereka termasuk Tipe biofilus (orang yang mencintai kehidupan). Fromm juga mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu masyarakat manusia yang berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dan berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberi kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan mencipta bukan dengan membinasakan, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas. Terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusiawi sepenuhnya.

Konsep karakter
Istilah karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama dengan “watak” yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiat (Soedarsono, 2008). Sama halnya dengan kamus Inggris-Indonesia (Echols dan Shadily, 1976) yang menyamakan Character dengan watak, karakter, sifat (kata benda).
Semiawan (2010b) mendefinisikan karakter dengan “keutuhan seluruh perilaku psikis hasil pengaruh factor endogin (genetic) dan factor eksogin, yang membedakan individu atau kelompok individu yang satu dari yang lainnya”. Novak (dalam Lickona, 1991) menyebutkan bahwa karakter merupakan percampuran dari semua kebaikan yang dipengaruhi oleh tradisi keagamaan, kebudayaan, nasehat-nasehat dan perilaku tokoh yang terdapat dalam pelajaran-pelajaran sejarah.
Lickona (1991) menjelaskan bahwa karakter  terdiri dari Operative Values, yaitu nilai-nilai dalam perilaku. Seorang individu pada hakikatnya akan mengalami proses pengaplikasian nilai-nilai yang ada untuk direalisasikan dalam bentuk perilaku yang baik, menggunakan watak pribadi untuk merespon situasi-situasi dengan moral yang baik. Dengan demikian menurut Lickona karakter seseorang dapat dikatakan baik, apabila orang tersebut telah melalui beberapa proses, yaitu mengetahui hal yang baik, menginginkan hal baik, selanjutnya melakukan hal yang baik, meskipun mendapat tekanan dari luar  maupun godaan dari dalam. Lebih dari itu, kebiasaan seseorang dalam berpikir, menggunakan hati serta kebiasaan bertindak sangat dibutuhkan dalam mamandu kehidupan moralnya. Seseorang dikatakan memiliki karakter kuat apabila bisa menilai apa yang right, peduli pada apa yang dianggap rightdan melakukan apa yang sudah dianggap right tersebut.
Komponen-Komponen Pembentuk Karakter
Tulisan ini akan coba menjelaskan ide Lickona (1991) mengenai karakter, karena menurut penulis dianggap memiliki pembahasan yang luas. Lickona (1991) menjelaskan komponen karakter ke dalam tiga bagian, yaitumoral knowing, moral feeling dan moral action.

1.            Pengetahuan Moral (Moral-Knowing)
Pengetahuan moral (moral-knowing)merupakan aspek pembentuk karakter seseorang. Pengetahuan moral terdiri atas kesadaran moral (moral awareness), mengetahui nilai-nilai moral (knowing moral values), Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah respect terhadap kehidupan sekitarnya, bertanggung jawab, jujur, adil, toleran, disiplin diri dan memiliki integritas. Selain itu pengetahuan moral juga terkait dengan memahami perspektif orang lain, memiliki pertimbangan moral (moral-reasoning), disinitermasuk dalam pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari moral seperti “respectterhadap nilai-nilai yang dimiliki setiap orang”. Selain itu juga termasuk di dalamnya pengambilan keputusan (decision-making) dan pemahaman diri (self-knowledge).

2.    Perasaan moral
Hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal-hal baik, kontrol diri dan kerendahan hati merupakan aspek emosional dari moral seseorang. Semua aspek tersebut dapat memotivasi seseorang untuk bermoral baik, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menyukai hal-hal yang baik (loving the good)salah satu tingkatan tertinggi pada karakter adalah ketertarikan pada hal-hal yang baik. Ketika seseorang mencintai hal-hal yang baik, tentu ia akan dengan senang hati melakukan hal-hal tersebut. Ia memiliki keinginan untuk bermoral baik, dan tidak menjadikan moral sebagai beban, dan komponen lainnya adalah kerendahan hati(humility)
Setiap orang yang mementingkan sikap kejujuran, adil dan sopan terhadap orang lain, akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan moral(moral-knowledge), moralnya yang akan mengarahkan pada perilaku yang bermoral.Moral-feeeling dapat dikategorikan ke dalam aspek emosi dari karakter dan dapat berkembang karena dipengaruhi lingkungan sekolah dan keluarga. Perasaan moral juga terdiri dari hati nurani (conscience) yaitu bagian kognitif (mengetahui apa yang right) dan emosional (merasa memiliki kewajiban untuk melakukan right) dan perasaan bersalah (guilty).Ketika hati nurani menginginkan untuk melakukan sesuatu, maka orang akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Bagi seseorang yang mengikuti kata hatinya, moral adalah segalanya. Ia berkomitmen untuk selalu menampilkan nilai-nilai moralnya karena nilai-nilai tersebut sangat mengakar kuat dalam dirinya. Seseorang yang mengikuti apa kata hatinya akan merasa “out of character” jika ia melakukan hal-hal yang negatif seperti berbohong dan mencontek.

3.  Tindakan Moral (Moral Action)
            Tindakan moral terdiri atas Kompetensi, keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Kompetensi adalah keterampilan seseorang dalam melakukan sesuatu, yang ditunjukkan dengan secara konsisten serta memberikan kontribusi kinerja yang tinggi dalam suatu tugas. Keinginan merupakan motor penggerak/energi tersendiri bagi seseorang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. willmerupakan inti dari moral action habitmemberikan banyak pengaruh terhadap moral seseorang. Seseorang yang memiliki karakter kuat, seperti jujur, loyal, berani, ramah dan dapat berlaku adil meski dalam tekanan. Ia melakukan nilai-nilai tersebut berdasarkan habit yang sudah melekat dalam dirinya. Seseorang sering tidak berpikir secara sadar tentang right choice, ia melakukan right thing berdasarkan habit—nya.
            Idealnya pengetahuan mengenai nilai-nilai moral akan berarti memahami cara mengaplikasikanna dalam bentuk sikap dan perilaku. Pada orang yang memiliki karakter kuat,moral knowing, moral feeling dan moral actingakan bekerja secara koheren dan saling mendukung satu sama lainnya.

Komponen karakter yang baik
Sumber : Lickona T (1991) : Educationg for character : How our School Can Teach Respect and Responsibility

Dalam banyak kasus sering didapati bahwa pengetahuan right bukan jaminan bagi seseorang untuk melakukan hal yang right juga. Banyak orang yang sudah mengetahui apa yang seharusnya dilakukan namun tidak bisa mewujudkannya dalam kenyataan, atau seringkali seseorang mengetahui dengan persis mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, tetapi tetap melakukan hal yang salah. Penyebab kondisi ini adalah ketiadaan integrasi dari ketiga komponen moral yang ada. Berpijak pada penjelasan Bronfenbrenner (1995) mengenai 4 kunci dimensi dalam perkembangan atau yang disebut dengan ecological approachyang berinteraksi secara reciprocal yaitu proses, orang, konteks dan waktu. Perkembangan individu berada dalam 4 dimensi tersebut, tetapi di luar dari ke empat dimensi tersebut terdapat suprastruktur yang sangat menentukan yaitupolicy pemerintah (Foster & Kalil, 2005). Pendidikan karakter tidak hanya diterapkan dalam persekolahan melainkan juga harus didukung dengan policy yang “memaksa” semua pihak untuk terlibat. Bentuk policy yang dimaksud adalah regulasi yang dibuat memaksa semua pihak baik, baik grass root level maupun top level society untuk konsisten mengintegrasikan 3 komponen moral. Tanpa dukungan tersebut amatlah tidak mudah perubahan yang progressif dapat diwujudkan. 

Peran guru dan sekolah dalam pendidikan karakter
Dalam pendidikan terdapat dua tujuan besar yang diharapkan, yaitu membuat anak-anak menjadi cerdas (smart) dan kedua membuat anak-anak menjadi baik (good). Baik berarti memiliki penghargaan obyektif (objective worth), sebuah nilai yang memperkuat martabat manusia dan meningkatkan kebaikan bagi individu dan masyarakat. Terdapat dua bentuk nilai moral yang universal di masyarakat yang dapat diajarkan yaitu respek dan tanggung jawab. Respek berarti memperlihatkan rasa hormat baik kepada manusia maupun benda. Respek adalah sisi pengendalian dari moralitas yang menjaga kita untuk tidak menyakiti sesuatu yang harus kita hargai. Respek kepada diri sendiri, kepada hak-hak dan martabat seluruh manusia dan respek kepada lingkungan yang melestarikan kehidupan. Sementara tanggung jawab adalah sisi aktif dari moralitas, di dalamnya termasuk peduli kepada diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban dan berkontribusi kepada masyarakat, mengurangi penderitaan dan membangun dunia yang lebih baik.
Seperti yang disampaikan Semiawan (2010 b), Menurut Lickona (1991) sekolah dapat mengajarkan pengembangan karakter, apabila dapat menyediakan suatu lingkungan moral (moral environment) yang menekankan nilai-nilai yang baik dan menjaganya dalam kesadaran setiap orang. Untuk mengubah nilai menjadi sebuah kebaikan dan mengembangkan dari kesadaran intelektual  menjadi kebiasaan personal dalam pikiran, perasaan dan tindakan.  
            Pengetahuan, perasaan dan tindakan moral dalam berbagai bentuk manifestasinya adalah kualitas karakter yang membuat nilai moral dapat terealisasi. Untuk itu dalam pembelajaran di sekolah komponen yang dikembangkan adalah respek dan tanggung jawab.  Dengan mendidik respek dan tanggung jawab berarti membuat nilai-nilai yang ada dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari, inilah makna dari mendidik karakter.
Dalam praktek pendidikan karakter di sekolah guru memiliki peran yang sangat penting. Menurut Lickona (1991) terdapat beberapa peran yang harus dilakukan oleh guru dalam pendidikan karakter, yaitu  
1.    Bertindak sebagai pemberi perhatian, model dan juga mentor, melayani siswa dengan penuh cinta dan respek, menjadi contoh yang baik, mendukung perilaku prososial, dan memperbaiki perilaku yang menyakiti atau merusak.
2.    Menciptakan komunitas pendukung moral dalam kelas, menolong siswa untuk saling mengenal satu sama lain, respek dan peduli kepada yang lain dan merasa dihargai sebagai anggota kelompok
3.    Menerapkan disiplin moral dengan cara membuat dan menguatkan aturan sebagai kesempatan untuk mendukung pertimbangan alasan moral, mengendalikan diri dan memberikan respek kepada setiap orang.
4.    Membangun lingkungan kelas yang demokratis, dengan cara melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan, berbagi tanggung jawab dalam membuat kelas menjadi nyaman untuk dihuni dan sebagai tempat belajar
5.    Mengajarkan nilai-nilai melalu kurikulum, menggunakan subjek akademik sebagai kendaraan untuk menilai isu etik ( hal ini dilakukan secara simultan dengan strategi sekolah dimana kurikulum diarahkan kepada lintas kelas, seperti pendidikan allkohol, pendidikan tentang narkotik dan pendidikan seks).
6.    Menggunakan cara belajar kooperatif untuk mengajarkan watak (disposition),  keterampilan menolong orang lain dan bekerja sama
7.    Mengembangkan ketajaman nurani (conscience of craft) dengan mendorong siswa untuk memiliki tanggung jawab akademik dan peduli terhadap nilai dari belajar dan bekerja
8.    Mendukung refleksi moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan mengambil keputusan dan berdebat.
9.    Mengajarkan resolusi konflik sehingga siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk menyelesaikan konflik secara adil dan tanpa kekerasan.
Selain guru yang harus memiliki peranan, sekolah sebagai suprastruktur juga memiliki peranan penting yang harus dilakukan sekolah. Peran-peran tersebut adalah :
1.    Membantu mengembangkan kepedulian di luar kelas, menggunakan model peran yang menginspirasi dan memberikan kesempatan kepada sekolah dan komunitas pelayanan untuk menolong siswa belajar memberikan perhatian
2.    Menciptakan budaya moral yang positif dalam sekolah dengan mengembangkan semua komponen persekolahan (melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin sekolah, rasa kemasyarakatan sekolah,pengelolaan siswa yang demokratik, komunitas moral pada orang dewasa dan waktu untuk memperhatikan moral) yang mendukung dan memperkuat nilai yang diajarkan dalam kelas
3.    Mengajak orang tua dan masyarakat menjadi mitra dalam pendidikan nilai, mendorong orang tua menjadi guru moral pertama, menganjurkan orang tua untuk mendukung upaya-upaya sekolah dalam mengembangkan nilai yang baik dan mencari bantuan masyarakat dalam memperkuat nilai yang diajarkan di sekolah.
Tidak dapat dihindari bahwa sekolah telah mengajarkan nilai yang baik dan yang buruk dalam bentuk apapun. Interaksi antara guru-siswa, siswa dengan kurikulum, memiliki efek yang potensial bagi nilai dan karakter anak sehingga menjadi baik atau rusak. Pertanyaan yang muncul dalam hal ini bukan apa yang dilakukan dalam pendidikan nilai tetapi bagaimana hal ini dikerjakan dengan baik. Dengan pemahaman tersebut, bagaimana cara kita untuk membuat seluruh bagian dari kehidupan sekolah bekerja sama untuk menumbuhkan moral pada anak-anak kita.  

Penutup
Pendidikan karakter adalah salah satu cara penting yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang mulai kehilangan nilai-nilai positif dalam kehidupannya. Meskipun diterima dengan perasaan pilu bahwa realitas masyarakat kita makin kehilangan arah, kehilangan etika dan landasan moral yang kuat kita masih menyimpan harapan dan cukup memiliki energi untuk melakukan perbaikan yang mungkin dilakukan. Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang urgen dilakukan. Sebagai akademisi, pendidik dan orang tua kita tidak hanya perlu peduli dan mengetahui keburukan yang terjadi tetapi juga seyogyanya memiliki langkah nyata untuk memformulasikan cara-cara mendidik yang dapat membangun karakter, Seraya tetap berharap bahwa ada dukunganpolicy yang pemerintah yang dapat memaksa semua pihak terlibat. sehingga sebagai bangsa, kita tidak hanya dihargai karena jumlah penduduk yang banyak dan kekayaan alam yang melimpah, lebih dari itu kita dihargai karena memiliki karakter unik dan jatidiri sebagai bangsa.  

Sumber Pustaka

Bronfenbrenner, U. 1995.. Developmental ecology through space and time: A future perspective. In P. Moen, G. Elder, Jr., & K. Luscher (Eds.), Examining lives in context: Perspectives on the ecology of human development (pp. 619–648). Washington, DC: American PsychologicalAssociation.

Foster, E.M &Kalil, A.2005.  Developmental Psychology and Public Policy: Progress and Prospects. Developmental Psychology 41( 6)  827–832 . American PsychologicalAssociation.

Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta : LKiS

Echols J.& Shadily, 1976. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia

H.A.R. Tilaar. 1999.  Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosda Karya  

H.A.R. Tilaar. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta : Gramedia

Lickona, T. 1991. Educating For Character : How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. United States : Bantam Books.
Mochtar Lubis. 1977. Manusia Indonesia : Jakarta sinar harapan 

Postman, N. 1995. Matinya pendidikan, Redefinisi nilai-nilai sekolah (terjemahan). Yogyakarta ; Jendela

Schultz D. 1991. Psikologi Pertumbuhan, Model-model kepribadian sehat. Jakarta: Kanisius

Schultz D.P. & Schultz S.E. 2005. Theories of personality, 8 th edition. Belmont : Thomson Wadsworth

Semiawan. C. 2010. Kajian Ilmu Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Psikologi Pendidikan. Makalah program kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ

Semiawan. C. 2010. Character Building for Children : Toward A National Identity of Quality and Dignity. Makalah program kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ

Y.B. Mangunwijaya. 2003. Impian dari Yogyakarta, Kumpulan esaai masalah pendidikan.  Jakarta : penerbit buku Kompas



oelh: Dosen Jurusan BK Fakultas Ilmu Pendidikan, dicopas dari :http://khalifahboardingschoolstudent.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html


Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost