Minggu, 07 Desember 2014

KETIKA BUNG KARNO TERUSIR DARI ISTANA NEGARA

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)

Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.

Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno.

Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.

Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.

Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.

Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.

Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.

"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.

Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.

Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.

Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.

Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.

Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.

"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.

Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.

Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.

Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
bk-nikahnya-rachmawati

Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!".

Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.

Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.

"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".

Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.

Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.

Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Rabu, 26 November 2014

Malpraktik Praktik Perguruan Tinggi



Sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung menyatakan tetap menggunakan otoritasnya dalam menentukan mekanisme pelaksanaan pendidikan tinggi (18/9/14). Kendati Permendikbud No 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi telah diteken sejak Juni lalu, para pengelola memilih berpegang pada best practice yang telah diterapkan.


Sikap tersebut menunjukkan rendahnya relevansi penerbitan Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan tinggi. Setelah tahun lalu pemerintah merombak mekanisme penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah melalui Kurikulum 2013, berhasilkah rencana pembenahan pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia? Bagaimana relevansinya dalam pengembangan ilmu dan masyarakat ilmuwan?
 

Permendikbud No 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi bisa dikatakan sebagai lanjutan dari program pemerintah mewujudkan standardisasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
 

Hal itu dimulai sejak tahun 2012 ketika pemerintah mendesain kualifikasi keahlian sebagaimana terbaca dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Desain itu kemudian diwujudkan dalam penyusunan Kurikulum 2013 untuk pendidikan dasar dan menengah dilanjutkan dengan desain standar pendidikan tinggi.

Pembakuan pendidikan

Kerangka pikir dalam standar nasional pendidikan tinggi tidak jauh berbeda dengan standar nasional pendidikan dasar dan menengah. Permendikbud No 49/2014 Pasal 4 menyebutkan ada delapan standar, yakni standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Pengaturan standar nasional pendidikan tinggi memiliki semangat memperbaiki kinerja ilmuwan di Indonesia.

Setidaknya hal itu dapat dilihat sebagai upaya mewujudkan cita-cita membangun ”manusia paripurna” sebagaimana ditulis dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kendati demikian, pengembangan itu kurang tecermin dalam Permendikbud. Ada empat alasan paling mendasar.

Pertama, Pasal 17 (Ayat 3) itu memuat durasi masa studi pendidikan tinggi yang tidak proporsional. Masa studi diploma satu adalah satu sampai dua tahun, diploma dua dari dua sampai tiga tahun, diploma tiga dari tiga sampai empat tahun, diploma empat dan sarjana dari empat sampai lima tahun.

Masa studi satu sampai dua tahun untuk program profesi, satu setengah hingga empat tahun untuk program spesialis atau program magister. Untuk program doktor, spesialis dua, dan doktor terapan tidak memiliki batas waktu maksimal. Program doktor hanya punya batas waktu minimal tiga tahun.

Capaian studi pada tingkat sarjana hingga doktor mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Mereka dituntut mampu mempraktikkan ilmu pengetahuan yang diperoleh, memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah ilmiah dan sosial, hingga menghasilkan inovasi bagi kemanusiaan.

Persoalannya, masa studi tingkat sarjana dibatasi empat hingga lima tahun, tetapi masa studi tingkat doktor tidak ada batasan maksimal.

Ketiga, kontradiksi logis dalam perancangan peraturan. Peraturan ini memiliki kemajuan dengan mencantumkan batasan minimal kuliah doktor, yakni tiga tahun. Peraturan ini tidak berlaku surut sehingga sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat tetap bisa menyandang gelar doktor kendati diperoleh dalam waktu satu hingga dua tahun. Namun, kekurangannya terletak pada ketiadaan batasan masa studi untuk kuliah doktor sehingga bisa berlangsung hingga akhir hayat. Hal itu tidak masuk akal mengingat program pendidikan memiliki rancangan yang rasional dan terukur.
 

Keempat, pemerintah tidak menempatkan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang diberi wewenang untuk mengembangkan diri secara otonom. Delapan standar yang dicantumkan dalam peraturan akan jatuh pada formalitas administratif sebagaimana terjadi dalam program akreditasi perguruan tinggi yang telah berlaku selama ini.
 

Iklim keilmuan

Berdasarkan kenyataan tersebut, pemerintah semestinya membangun iklim pendidikan tinggi yang berbasis pada pengembangan ilmu secara esensial. Selama ini, penyelenggaraan pendidikan tinggi dibelenggu oleh daftar isian dalam formulir akreditasi perguruan tinggi. Pengelola sibuk dengan kinerja administratif.
 

Ironisnya, program penghargaan terhadap ilmuwan, misalnya, justru diberikan oleh lembaga-lembaga swasta yang memiliki kepedulian terhadap ilmu. Contoh, lepas dari penolakan sejumlah ilmuwan, Bakrie Awards adalah lembaga yang memberikan penghargaan terhadap ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. 
 

Ary Suta Awards juga setiap tahun memberikan penghargaan terhadap ilmuwan yang memiliki dedikasi terhadap bidang ilmu yang ditekuni selama ini. Bahkan, Ary Suta menerbitkan jurnal ilmiah secara periodik dan menyelenggarakan penghargaan penulisan paper bagi ilmuwan dari 2008 hingga sekarang. 

 

Sejumlah lembaga swasta lain juga bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan tanpa bantuan pemerintah. Tindakan masyarakat itu menunjukkan betapa pemerintah tidak peka dan tidak memiliki visi jelas dalam pengembangan pendidikan tinggi. 

 

Idealnya, pendidikan tinggi berfungsi sebagai sebuah agen pemikiran-pemikiran reflektif yang memberikan arah bagi kemanusiaan. Perguruan tinggi adalah sumber cara baru memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Pemerintah memberikan kewenangan yang memadai untuk menghasilkan inovasi dan masyarakat akan menggunakan.
 

Faktanya, pengembangan yang dilakukan pemerintah cukup dilakukan melalui standar baku dan visi hanya dilihat dalam formalitas akreditasi. Jadilah pengembangan ilmu berada di bawah ancaman pemerintah untuk menjadi baku, padahal kata pembakuan sangat dekat dengan pembekuan.

Saifur Rohman
Pengajar Program Doktor Ilmu
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta

Ketika Guru tidak lagi berwibawa

Guru adalah sosok pahlawan yang jasanya tiada tara. Mereka adalah pejuang dengan bersenjatakan pena, yang mampu mengubah batu menjadi batu mulia. Perjuangan mereka tulus, bak sinar mentari yang menyinari bumi. Perilakunya dapat ditiru dan perkataanya selalu digugu.

Tapi sayangnya, itu semua hanya tinggal kenangan. Fenomena guru yang mempunyai wibawa dan karisma itu, kini mulai menurun dan sedikit demi sedikit memudar. Hal ini dipengaruhi dengan semakin rendahnya moral peserta didik akibat maraknya infotainment dan interaksi sosial yang semakin negatif.

Saat ini guru berada pada fase dilematis. Mereka tidak lagi boleh menggunakan cara tegas untuk mendidik. Dahulu ketika ada murid melanggar peraturan sekolah dan etika moral, mereka dihukum berdiri di depan kelas sambil dijewer telinganya: tidak ada satupun orang tua yang protes. Namun Sekarang ketika ada guru yang menjewer murid karena berkata kotor, maka dengan semangat sang orang tua mengadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan penyiksaan atau kekerasan terhadap anak.
 
Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua lepada sekolah. Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak lagi menghargai gurunya.



Kondisi yang terjadi Sekarang adalah: bahwa murid tak lagi segan untuk berkata kepada gurunya: “Bapak/Ibu ne sekiwit…”, “Aih…. Bapak nih….” Tanpa ada rasa bahwa yang mereka katakan adalah pernyataan yang dapat menyinggung guru. Mayoritas guru pasti sudah pernah mengalami ketika murid permisi mereka mengatakan “Pak/buk saya mau kencing.” Padahal dahulu kata-kata kencing tidak boleh diucapkan di hadapan guru. Sekarang?


Kondisi real yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll, dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.
 
Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di kutip dari salah satu majalah Islam:

Kisah 1

 

”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi defek jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang.” 


Kisah 2

”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibi Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan anaknya.kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman bertubi-tubi dan takut akan andanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya maka dengan terpakasa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
 
Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan bahkan mungkin lebih kasus teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK.

Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik, namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.

Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
 
Namun ternyata cara tradisional yang biasaya diterpakan beberapa puluh tahun yang lalu membuahkan efek negatif bagi orang tua. Ada beberapa alasan kenapa kepercayaan orang tua terhadap guru di sekolah menurun drastis kepada guru atau sekolah.
 
1. Wali Murid Terlalu Over Protektif Kepada Anak
Ada dua tipe orang tua dalam memberikan kepercayaan anak murid kepada guru/sekolah. Tipe pertama adalah orang tua yang mempercayakan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah. Tipe orang tua ini mendukung apapun yang dilakukan guru atau sekolah agar anakanya berhasil. Meskipun anaknya mendapatkan hukuman dari guru, mereka tetap mendukung dan tidak menaruh curiga kepada guru maupuan sekolah. Tipe yang kedua adalah tipe orang tua yang terlalu over proteksi kepada anaknya. Mereka selalu memantau perkembangan anaknya disekolah dan bahkan sampai detail yang dilakukan guru terhadap anaknya dipantau dari rumah. Tipe ini tidak akan segan-segan memprotes dan memarahi guru ketika guru tidak berhasil mendidik putra-putrinya. Dan ketika sang anak melaporkan bahwa ia mendapat hukuman dari guru karena murni kesalahan murid, maka ia akan serta merta melabrak guru yang bersangkutan bahkan berani membawanya ke meja hijau. Tipe orang tua yang ketiga adalah yang menempatkan diri di antara kedua tipe orang tua di atas.
 
Tipe orang tua yang terlalu protektif ini di satu sisi dapat memberikan kontrol kepada guru. Namun di sisi lain akan berdampak atau berkesan terlalu mencampuri urusan dan metode sekolah dalam mendidik anaknya. Bahkan ada pendapat bahwa orang tua yang seperti ini akan lebih baik apabila memberikan pendidikan pada anaknya dengan cara HOME SCHOOLING, suatu program pendidikan yang mendidik anaknya di rumah dengan cara mengundang guru pilihan untuk mengajar di rumahnya. Home Schooling selain dapat menghindarkan dari hukuman guru juga dapat menghindarkan pengaruh negatif dari teman-teman yang bisa di dapat di sekolah umum.
 
2. Kurangnya Pemahaman sebagaian Guru terhadap Metode Pengajaran dan Pendidikan
Ada sebagian guru yang belum dapat memahami jiwa dan psikologis anak. Sehingga ketika anak melanggar peraturan maka ia tidak dapat mengontrol emosinya. Hal ini dipenguruhi karena banyak guru yang sebenarnya bukan berasal dari Sarjana Pendidikan, banyak sekali guru-guru lulusan pertanian, perikanan, teknik, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu lain, yang sebenarnya tidak memahami konteks pembelajaran terpakasa harus bekerja sebagai GURU karena tidak ada lapangan pekerjaan yang menampungnya.

Secara jujur di Jambi saja, data yang diperoleh dari dari penelitian LPMP bahwa selama tahun 2004 di dapatkan hanya ada 30 % saja guru yang layak mengajar. Lalu kemanakah guru yang 70 % nya lagi?

Fakta lain terungkap dalam tulisan Bagus Mustakim; ia mengatakan bahwa guru di Indonesia saat ini mempunyai kulaitas mengajar yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kesulitan guru dalam mengakses kemajuan, kebijakan, program, dan media pendidikan terkini. Atau disebabakan karena rendahnya kemauan dan tekad dari guru untuk selalu mengakses kemajuan-kemajuan pendidikan terkini.
 
3. Adanya blow up dari Infotainment dan berita tentang kasus-kasus di sekolah
Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada kepercyaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap langsung dioleh mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita tersebut.
 
4. Penafsiran salah terhadap lahirnya Komnas Perlindungan Anak
Ada sebagian orang tua yang salah mengartikan lahirnya komisi nasional perlindungan anank yang saat ini diketuai oleh Kak Seto Mulyadi. Mereka menganggap bahwa anak tidak boleh mendapat tindakan kekerasan oleh siapapun termasuk guru di sekolah, meskipun untuk membuat efek jera kepada murid yang melanggar aturan.
 
Dengan demikian, saat ini guru telah sedikit demi sedikit kehilangan wibawa dan martabatnya di mata siswa dan mali murid. Jika kondisi seperti ini dibiarkan maka penderitaan guru semakin memuncak. Sudahlah gaji kecil, selalu mendapat protes dari wali murid, sering mendapat ancaman dan bahkan nantinya mungkin akan banyak guru yang dipenjara gara-gara rasa cintanya pada murid itu sendiri. Harus ada langkah yang dan gebrakan baru untuk mengembalikan citra, wibawa dan martabat guru, langkah yang dapat dilakukan adalah:
 
Pertama. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada guru untuk memberikan pembelaan apabila guru mendapat ancaman atau tuntutan di kepolisan atau di komnas perlindungan anak. Jika perlu harus dilahirkan KOMNAS PERLINDUNGAN TERHADAPAP GURU.
Kedua. Adakan pembicaraan dan pemahaman kepada wali murid, bahwa ketika mereka mempercayakan anaknya untuk disekolahkan di sekolah tertentu maka hendaknya wali murid mempercayakan sistem dan aturan sekolah. Ketika terjadi benturan maka metode terbaik adalah diselesaikan secara damai dan kekelauargaan, tidak perlu melaporkan ke kepolisian atau komas perlindungan anak.
 
Ketiga. Hendaknya para guru untuk dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengajar, mengembangkan diri dan selalu ingin belajar kepada siapapun. Guru hendaknya tidak segan dan tidak malu untuk mengakui kekurangannya dan tidak malu untuk bertanya kepada yang lebih tahu.

Semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan pencerahan kepada guru, siswa dan wali murid akan pentingnya wibawa seorang guru. Jika guru tidak lagi menjadi tauladan dan panutan dari murid, maka saat ini siapa lagi yang bisa memberikan itu semua. Kita tentunya merindukan masa-masa ketika guru benar benar di GUGU dan DITURU.

sumber: http://dionginanto.blogspot.com

Mengembalikan Wibawa Guru

Mengembalikan Wibawa Guru Seorang Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) di Lahat, dijatuhi hukuman 2 tahun penjara 2 tahun, karena mencabuli 7 orang siswinya pada suatu acara Perkemahan Sabtu Minggu (Persami) . Lain lagi di Kotabaru, seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru dipergoki oleh pihak berwajib saat “bermesum ria” dengan laki-laki yang bukan suaminya .

Dua kasus diatas agaknya sudah bisa mewakili rentetan kasus bejat para generasi pendidik kita akhir-akhir ini, baik yang sempat tertangkap oleh moncong media maupun yang tak sempat dibertakan. Betapa tidak moral guru-guru kita agaknya sudah berada di tingkat degradasi stadium empat. Padahal menurut pepatah lama “Guru Kencing Berdiri, Siswa Kencing Berlari”. Jika kita korelasikan dengan degradasi moral guru-guru kita, maka jangan heran bila saat ini siswa-siswi kita berperilaku tak bermoral lagi, berciuman di tempat umum, bahkan banyak yang sudah mencicipi “hidangan” yang hanya bisa dicicipi oleh orang yang sudah melafadzkan akad nikah, (bahasa kerennya ML). dan lebih sadis lagi diantaranya ada yang merekamnya kemudian mengunggahnya ke media, sehingga menjadi konsumsi bejat kepada masyarakat.

Pantas bila siswa-siswi kita sekarang ini sudah tidak “menghormati” lagi gurunya, mereka sudah tidak segan lagi memanggil kata-kata “halo”, atau “oe”, kepada gurunya, yang sebelumnya kata itu ini hanya ditujukan kepada teman sebayanya. Ditambah dengan dengan sikap acuh tak acuh siswa kepada gurunya pada kegiatan proses belajar-mengajar (PBM).

Sekelumit masalah diatas mulai dari oknum guru yang melakukan pencabulan; freeseks yang kemudian diikuti oleh siswa-siswinya yang seakan freeseks itu sudah dianggap hal yang lumrah dilakukan; sikap dan perkataan siswa kepada gurunya yang tidak pantas; merupakan suatu penghinaan kepada profesi guru yang teramat mulia. Bukankah Mantan Presiden BJ. Habibie pintar karena jasa sang Guru?. Serta Jepang yang morat-marit akibat hantaman bom atom di Nagasaki dan Hiroshima pada Perang Dunia II mampu bangkit dan menjadi salah satu negara termaju didunia karena polesan sang guru?.

Olehnya itu kita sadar sebagai guru kita harus bertindak dan berperilaku mulia, semulia profesi kita. Ada pendapat yang mengatakan bahwa runtuhnya moral generasi sekarang karena adanya “serbuan” pengaruh Sekularisme dari Barat dan kecanggihan tehnologi sekarang ini. Pendapat ini memang ada benarnya. Tapi bukankah Ikan yang hidup di laut yang airnya asin tak membuat daging ikan tersebut asin pula?. Ikan saja mampu menjaga menjaga dagingnya dari penetrasi zat asin, apalagi kita manusia yang punya akal dan pikiran.
Dahulu sekitar tahun 1960-an guru-guru kita masih sangat disegani dan dihormati, misalnya kalau ada suatu acara kenduri, guru selalu dipersilahkan duduk di tikar diruang tengah, disejajarkan dengan para bangsawan-bangsawan. Bahkan dahulu guru-guru kita sangat dihormati. Semua itu karena guru-guru kita dahulu mampu menjaga sikap dan perilakunya baik dikelas maupun di masyarakat.

Lirik lagu lawas Iwan Fals yang menggambarkan Si Umar Bakri, seorang guru sederhana yang hanya naik sepeda kumbang kalau hendak kesekolahnya mengajar, ditambah dengan penghasilan si Umar Bakri yang pas-pasan atau bahkan di bawah gaji rata-rata. Tapi guru-guru pada masa itu mampu menjaga sikap dan prilakunya dan berjalan diatas norma-norma dan kaidah yang mulia.

Sudah saatnya mulai saat ini guru-guru kita seharusnya mengevaluasi diri masing-masing agar mampu bersikap dan berperilaku positif agar citra guru yang mulai ternoda bersih kembali. Apalagi saat ini pekerjaan sebagai guru menjadi “Top profesi’, sejak dikeluarkannya beberapa regulasi oleh pemerintah yang tidak menganak-tirikan lagi kaum guru di Indonesia. Tapi sekarang ini guru sekarang tidak seperti lagi yang digambarkan oleh liriknya Iwan Fals, yang hanya bersepeda kumbang, yang gajinya selalu dikebiri. Tapi saat ini guru-guru kita sudah mampu memiliki kendaraan roda empat, gaji yang diatas rata-rata dari gaji PNS bukan guru, dengan adanya tunjangan sertifikasi, non sertifikasi serta tunjangan-tunjangan lainnya. Sepantasnyalah kita sebagai guru berterima kasih dengan memperbaiki sikap dan prilaku kita, agar nantinya kita sebagai guru bisa menelorkan siswa-siswi yang beriman, berahlaq serta kompeten dalam membangun bangsa kita tercinta kearah yang lebih baik.

Akhirnya, untuk mengembalikan moral guru yang sempat degradasi stadium empat ini, marilah kita sebagai kaum guru untuk mengembalikan kemulian Guru itu dengan memperbaiki moral kita masing-masing, sesuai dengan agama dan kaidah-kaidah adat ketimuran kita yang mulia. Karena tampa kesadaran dari dalam diri kita masing-masing, maka niscaya kemulian guru itu akan terkubur dengan serentetan prilaku dan tindakan tak bermoral sang guru. Meskipun pemerintah membuat regulasi ketat mengenai tata aturan prilaku dan tindakan guru, regulasi itu tidak akan banyak berperan bila kesadaran guru untuk memperbaiki citranya bukan dari dalam dirinya sendiri. Semua itu akan berubah kearah yang lebih baik apabila diri sendiri yang menyadarinya lalu memperbaikinya.

sumber: http://www.katailmu.com

Sabtu, 25 Oktober 2014

Pendidikan di Indonesia dan pergolakan dinamikanya

Departemen Pengajaran (1945-1948)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1955, 1956-1999)
Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1955-1956)
Departemen Pendidikan Nasional (1999-2009)
Kementerian Pendidikan Nasional (2009-2011)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011-sekarang

Agama:
SUSUNAN ORGANISASI
1. Sekretariat Direktorat Jenderal2. Direktorat Pendidikan Madrasah3. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren4. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam5. Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah6. Kelompok Jabatan Fungsional
Pendidikan kedinasan
Kedinasan:
Macam2…
Uguigyugyugyug
ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN

DISHARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

(ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN)

Oleh :
Agus Sarwo Prayogi

Pendahuluan
Pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam upaya peningkatan kualitas individu serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) organisasi. Pendidikan adalah media peningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap mental dan kepribadian yang akan mendasari kompetensi seseorang. Bagi kepentingan organisasi, pendidikan dapat dimanfaatkan untuk menanggalkan persoalan yang terkait dengan defisiensi kinerja yaitu suatu kondisi dimana SDM yang tersedia tidak mampu lagi menunjukkan prestasi kerja pada level yang diharapkan.
Amanat Undang-undang Dasar NRI pasal 31 amandemen ke IV sudah jelas mennyatakan
(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)   Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Peranan pendidikan dalam kehidupan sangat penting. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Permasalahan
Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Polemik PP Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik pendidikan kedinasan yang ada. Wawan menambahkan, polemik PP Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik pendidikan kedinasan yang ada. (Berita Kompas Kamis, 4 Februari 2010)


Disharmonisasi yang terjadi
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 menyatakan :
“Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai negeri dan calon pegawai negeri pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK dalam                                                                                      pelaksanaan tugas di lingkungan kerjanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.”



Pasal 29: UU Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sisdiknas
(1)   Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(2)   Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(3)   Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan non formal.
(4)   Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 17 UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(1)   Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
(2)   Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi

Pasal 7 ayat  (4) UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan “Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.” Kementerian Agamag juga membawahi isu sensitif, yakni agama. Namun pada kenyataanya, ada penyimpangan dalam pendidikan tinggi yang dikelola Kemenag, yakni di UIN Syarif Hidayatullah yang tidak hanya membuka bidang studi keagamaan. namun juga program studi kedokteran, psikologi atau ekonomi, layaknya pendidikan tinggi umum lainnya
 Kenyataan saat ini, dapat dilihat dari tiga peraturan perundang-undang terdapat disharmonisasi yang nyata dimana pendidikan kedinasan lebih banyak diselenggarakan pada Program Strata Satu (S-1), Program Diploma (D-I, D-II, D-III dan D-IV) dan pendidikan tingkat dibawahnya.Untuk itu, agar pengertian pendidikan kedinasan dapat mengakomodir seluruh tingkatan pendidikan yang memang masih diperlukan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian.
Kesimpulan
Perguruan tinggi sebagai salah satu instrumen pendidikan nasional diharapkan dapat menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah yang dapat meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), penyelenggara pendidikan tinggi nasional yang berlaku di Indonesia dilakukan oleh pemerintah melalui Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), Perguruan Tinggi Agama (PTA), maupun swasta melalui Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang.

Sunber :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, Tanggal 31 Maret 2010, telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke- IV
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sisdiknas
Undang-undang Republik Indonesia RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan
Berita Kompas Kamis, 4 Februari 2010


Kamis, 11 September 2014

PMII, NU dan Kesadaran Terhadap Masa Depan Jam'iyyah 3

 Oleh Dr. Abdul Chalik[1]
Pengantar
Artikel ini sengaja saya tulis setelah perhelatan Pilgub Jawa Timur 2013 dan menjelang rencana Reuni Akbar Alumni PMII Gresik yang akan dihelat oleh IKA PMII sebagai bahan refleksi semua pihak yang mengaku dirinya sebagai anggota PMII dan penerus perjuangan Hadratus Syeikh Hasim Asy’ari. Tulisan ini sebagai bagian dari renungan saya ketika mencermati Pilgub Jatim dan saya diundang dibeberapa forum publik terkait dengan kepentingan dimaksud. Ketika saya tampil di TV, pertanyaan nakal selalu muncul dari pemirsa tentang tampilnya dua sosok tokoh utama NU, Gus Ipul dan Mbak Khofifah. Pertanyaan kritis itu seputar, mangapa kedua tokoh tersebut tidak disatukan saja, alangkah indahnya bagi NU jika hal tersebut dapat dilakukan, dan jamaah tidak dibiarkan kebingungan?
Tentu saja, apabila ada pertanyaan seperti saya jawab dengan dengan argumen umum yang rasional, bahkan siapapun yang menjadi WNI punya kesempatan yang sama untuk mencalonkan sebagai pemimpin, termasuk Gubernur. Meskipun dalam hati kecil saya juga merasakan dan mempersoalakan hal yang sama.
Dalam konteks persaingan itu, saya teringat pada dinamika yang terjadi di PMII dan para alumninya. Bahwa saat ini para alumni sudah menyebar di mana-mana, di semua segmen kehidupan tak terkecuali dalam ranah politik. Akibat dari sebaran tersebut, hubungan antar alumni begitu dinamis dan bahkan tidak jarang terjadi friksi dan konflik. Semua itu terjadi akibat dari dinamika dan sebaran kader yang berada di berbagai lapisan.
Saya menyadari bahwa dinamika PMII dan alumninya merupakan miniatur NU yang sesungguhnya, baik hari ini maupun yang akan datang, karena hampir semua petinggi NU yang berlatar belakang Perguruan Tinggi terutama PTAI adalah alumni PMII. Karenanya tidak salah kalau mau ngeramut NU di masa yang akan datang salah satunya harus dimulai dengan ngeramut PMII, begitu pula para alumninya yang tergabung dalam IKA PMII.
PMII dan Tanggung Jawab Sejarah
         Sebagai organisasi kemahasiswaan yang tak terpisahkan dari NU (meskipun independen). PMII lahir dari amanat Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, Yogyakarta, 14-17 Maret 1960. Konbes kala itu menetapkan untuk membentuk sebuah organisasi mahasiswa yang secara administratif dan strukural terpisah dari IPNU. Dibentuklah panitia sponsor untuk melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyyin se-Indonesia yang beranggotakan 13 orang. Setelah melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin pada tanggal 14-16 April 1960 yang berlangsung di TPP Khadijah, maka pada tanggal 17 April 1960, PMII dideklarasikan di Balai Pemuda dalam sebuah resepsi yang mendapatkan respon dari publik kala itu.
         Musyawarah waktu itu memutuskan pembentukan tiga orang formatur, yaitu Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, Chalid Mawardi sebagai Ketua satu dan Said Budairy sekretaris. Mahbub Djunaidi menjadi Ketua Umum PMII dua periode, dari tahun 1960-1967. Disamping sebagai Ketua Umum, Mahbub juga dikenal sebagai pencipta mars, sementara  lambang PMII diciptakan oleh Said Budairy.[2]
         Tokoh-tokoh PMII itulah yang kemudian banyak mengisi posisi penting dalam struktur NU, baik ketika masih menjadi partai, bergabung dengan PPP maupun ketika secara tegas terpisah dari partai politik sejak Muktamar 27 di Situbondo tahaun 1984, hingga pada saat PBNU menfasilitasi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1998. Sejak munculnya PMII tahun 1960an, pos strategis dalam struktur NU selalu diisi oleh kader dan alumni PMII, baik pada tingkat Pengurus Besar, Wilayah, dan Cabang.
         Alumni PMII kini bertebaran dimana-mana, baik dijalur formal maupun non-formal, dijalur politik, birokrasi, pengusaha, profesional, wartawan, militer dan LSM tidak luput dari jangkauan alumni PMII. Nama-nama besar seperti Hamzah Haz (mantan Wapres), Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI), Slamet Effendy Yusuf, Ahmad Bagja, KH. Hasyim Muzadi, Surya Dharma Ali, Khofifah Indar Parawansa adalah nama-nama mantan pimpinan PMII. Sementara ditingkat regional Jatim dengan sangat mudah kita menemukan alumni yang menjadi pimpinan, baik pada partai politik, Bupati/Wali Kota, DPRD, pengusaha, dan professional. Di level regional Gresik, sejak era reformasi Gresik dipimpin oleh alumni PMII, yakni Dr. KH. Robbach Ma’shum, MM (Bupati Gresik 2 periode) dan Drs. H. Muh. Qosim, M.Si (Wakil Bupati Gresik 2010-2015).  Sebagai wadah bagi pada alumni yang sudah lepas dari struktur PMII maka didirikanlah apa yang kemudian disebut dengan Ikatan Alumni PMII (IKA PMII).
PMII lahir dari semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan nurani dan kamakmuran Indonesia melalui pendekatan Islam Ahlussunnah Waljamaah. Misi ini selalu dikumandangkan dan diagung-agungkan oleh PMII disetiap forum apapun terutama acara pengkaderan. Gema kemerdekaan nurani melalui tradisi berfikir kritis serta semangat kebangsaan yang kuat untuk mempertahakan NKRI seolah tak terpisahkan dari PMII.
         Tanggung jawab kebangsaan dan keislaman itu merupakan ruh perjuangan PMII yang selalu digelorakan pada tiap generasi. Saya ingin mengutip salah satu sikap dan rekomendasi Munas IKA PMII Ke-3 pada Awal Juli 2013 kemarin :
“Melihat realitas kehidupan kenegaraan saat ini, dan atas dasar keberadaan PMII sebagai organisasi yang secara historis dan kultural lahir dan menjadi bagian dari NU yang turut terlibat dalam mendirikan NKRI, para alumninya yang tergabung dalam IKA PMII merasa berkewajiban untuk terus mendarmakan ilmu dan baktinya dalam menjaga keutuhan dan keberlanjutan negeri ini. IKA PMII memandang bahwa realitas kehidupan kenegaraan Indonesia sekarang ini sudah banyak yang tidak sesuai dengan semangat dan tujuan awal berdirinya Negara Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945”.[3]
         Narasi di atas merupakan gambaran bahwa ruh perjuangan PMII, kader dan alumninya terus hidup untuk kepentingan bangsa dan terutama umat Islam. Narasi di atas merupakan refleksi terhadap keadaan bangsa yang secara terus menerus dilanda berbagai persoalan untuk bisa mencapai pada kemerdekaan nurani dan kesejahteraan yang hakiki. PMII lahir dan berada pada titik-titik simpul itu untuk terus berjuang, memberikan saran dan masukan konstruktif serta ikut ambil bagian dalam perumusan kebijakan.
         Sikap dan pandangan PMII yang demikian itu karena panggilan keadaan, panggilan sejarah dan panggilan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Maka setiap titik dan momen yang bersinggungan dengan urusan kebangsaan, disitulah PMII hadir dan menggemakan semangat perjuangan.
         Salah satu cara PMII yang manjadi tradisi turun temurun adalah sikap kritis terhadap kelompok dominan (baca:pemerintah) sebagai bentuk balance of power atas munculnya disorientasi pembangunan. Dalam era manapun dan siapapun pemimpinnya, PMII selalu menghadirkan sikap kritis. Sikap kritis ini sering difahami inferior oleh kelompok dominan, terutama yang merasa kekuasaannya terganggu oleh cara pandang PMII yang spontan, sulit ditebak dan terkesan reaksioner. Namun sesungguhnya, sikap kritis tersebut merupakan bagian rasa tanggung jawab besar terhadap kesinambungan pembangunan, terhadap ruang sosial yang selama ini sering diabaikan oleh kelompok manapun.
         Tentang sikap kritis ini, Mohammad AS Hikam menganggapnya sebagai respon atas dinamika ekternal di luar PMII:
“Hanya  sedikit organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa dengan cara-cara tersendiri yang kritis tetapi konstruktif. Satu diantaranya adalah PMII. Namun PMII hanya menjadi reactor, bukan actor. Aktor diambil alih oleh organ lain karena PMII tidak mampu menangkapnya secara cepat”.[4]
         Apapun yang dilakukan PMII sesungguhnya merupakan bentuk kepedualian dan tanggung jawab besar terhadap bangsa ini yang dikemas dengan cara-cara PMII yang  kritis namun konstruktif. Sejarah mencatat tentang peran-peran itu sebagai bentuk sense of social responsibility yang tinggi terhadap masa depan bangsa. Ciri mendasar yang membedakan dengan organisasi di bawah NU adalah sikap responsif dan kritis tersebut. 
Seolah ingin menggambarkan perbedaan secara tegas misalnya dengan IPNU/IPPNU yang identik dengan kemampuan untuk memperkuat basis tradisi keagamaan melalui internalisasi dalam organisasi kepemudaan NU, Ansor yang identik dengan prilaku tegas apabila terjadi peristiwa emergency di sekitar, Fatayat dan Muslimat yang concern dengan penguatan dan pembinaan keluarga sakinah, Maarif dengan pendidikan keAswajaannya, nah sementara PMII dengan cara pandang yang lebih terbuka ingin memikirkan hal-hal yang lebih besar dan luar, terutama tentang tanggung jawab sosial dan politik menurut sudut pandang dan cara PMII.
Membangun PMII berarti Membangun NU ke Depan
         Di bagian awal tulisan ini sudah saya gambarkan tentang banyaknya tokoh-tokoh ternama NU berlatar belakang PMII, dengan tidak mengenyampingkan peran mereka pada organ yang lain. Artinya PMII merupakan bridging bagi kaderisasi tokoh-tokoh NU kini dan di masa yang akan datang.
Dalam sejarah eksistensi PMII di Perguruan Tinggi hampir tidak menemukan kader selain NU yang masuk PMII. Artinya kader PMII 100% adalah putera-puteri warga NU, atau yang amaliahnya sama dengan NU. Ketika mereka masuk menjadi warga PMII, materi-materi utama diskusi di seputar keNUan, ideologi, peran dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula ketika masuk dalam jenjang pengkaderan formal, seperti Mapaba (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan Kader Dasar) maupun PKL (Pelatihan Kader  Lanjutan) dimana isu dan materi-materi diskusi di seputar masalah keNUan.
Latar belakang warga PMII sebagian besar adalah lulusan pesantren atau madrasah. Tradisi pesantren sangat melekat pada warga PMII, tradisi itu pula mengendap dalam budaya dan prilaku sosial mereka Di manapun mereka berproses, identifikasi budaya dan latar sosial dengan sangat jelas tampak dalam prilaku sosial maupun organisasi. Seperti kata pepatah, ‘air cucuran jatuhnya ke pelimpahan juga’. Maka tradisi sarungan, kopyah, tahlil dan yasinan adalah di antara ciri sosial yang kasat mata dimanapun mereka berada.
Pasca lulus dari PMII (baca;pasca struktural) mereka sebagian berkhidmah pada organisasi NU atau yang masih berhubungan dengan urusan NU. Mereka menjadi pengurus Cabang, Wilayah maupun Pengurus Besar di semua lapisan pangurus, namun tidak sedikit yang masuk ke dunia professional. Tradisi dan latar belakang sosial  sangat melekat di manapun warga PMII dan alumniya berkiprah. Sebutan NU struktural dan kultural sudah menjadi lazim di mana identitas keNUan itu terus dibawa kemanapun dan dalam profesi apapun.
         Melihat realitas di atas, sesunggunya salah satu aset terbesar NU berada di PMII. Organisasi ini secara cerdas dan terbuka terus berfikir dan bergerak untuk masa depan organisasi, baik dalam arti inworld looking (mengembangkan tradisi dan khazanah intelektual) maupun outworld looking (mengembangkan cara berfikir progresif, prospektif dengan menjaga keseimbangan peran dalam kehidupan masyarakat). Peran-peran tersebut secara terencana dilakukan oleh PMII dengan segala cara, model, dan peran-pertan strategis yang dimainkannya.  Adalah PMII pula yang secara sadar dan terencana membangun basis intelektual yang tetap teguh mempertahakan tradisi dari guncangan dan serangan kalompok manapun yang berusaha menegasikan peran dan kontribusi ulama’ terdahulu yang dianggap bid’ah, khurafat dan jauh dari ajaran Nabi SAW.
         Salah satu tantangan NU ke depan, di samping membangun kapasitas warganya agar terus bisa bersaing dan berkiprah secaraa luas dalam kehidupan masyarakat, juga dihadapkan oleh tantangan internal berupa sikap dan prilaku ofensif kelompok-kelompok tertentu dalam mereduksi ajaran-ajaran luhur salafus salih yang dianggap bertentangan dengan Islam genuine ajaran utama Nabi SAW. Tantangan seperti ini bukanlah sederhana, karena dilakukan secara terencana dan massif melalui organisasi formal dan bahkan politik untuk terus menggerus keyakinan warga NU. Akibat dari tantangan ini, warna NU terus terganggu, tidak sedikit di antara mereka yang beradu fisik.
         PMII sebagai organisasi intelektual berada pada garda terdepan dalam mengawal tradisi terutama ketika mendapatkan serangan dari berbagai pihak. PMII memiliki asset intelektual yang memadai dan asset keberanian yang kuat dalam mengimbangi tekanan dari luar, terutama ketika ajaran-ajaran luhur itu secara sengaja dinegasikan sebagai hal yang bid’ah dan bukan ajaran sunnah.
         Melihat realitas di atas, banyak tantangan yang harus dihadapi secara arif dan difikirkan secara terus menerus. Dalam konteks ini, PMII sesungguhnya asset terbesar NU dalam membangun jamiyyah di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat pada latar belakang historis dan peran-peran social nyata meraka dalam kehidupan berjamiyyah. Tanpa PMII, NU akan kehilangan asset terbesarnya.
Penutup
         
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh NU dan PMII adalah ketidakmampuan dalam mengelola perbedaan dan dinamika internal warganya. Sering kali dipahami bahwa perbedaan dalam perebutan ruang sosial dan ruang politik merupakan tujuan akhir berNU dan berPMII. Dalam perebutan ruang sering kali mengabaikan bahwa kita adalah sama-sama berjuang untuk penegakan ajaran Ahlussunnah waljamaah, penerus ajaran salafus salih, dan sama-sama berfikir untuk kejayaan jam'iyyah.
Perebutan ruang-ruang itu harus dipahami sebagai sunnatullah dan ‘game’ yang manjadi hak setiap orang dan tidak harus mengorbankan ukhuwwah islamiyah sesama penerus ajarah salafus salih. Semoga kita termasuk generasi yang bisa menerima perbedaan.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwam al-thariq
Gresik, 22 September 2013
---------------------

[1] Ketua IKA PMII Gresik periode 2010-2014. Aktif di PMII sebagai pangurus di semua tingkatan dari tahun 1991 s/d 1999. Artikel ini disampaikan pada acara Halal bi Halal dan Reuni Akbar IKA PMII Gresik, Gedung PCNU Gresik, 22 September 2013.
[2] H. Soelaiman Fadeli, M. Subhan, Antologi NU;Sejarah istilah Amaliah Uswah (Surabaya:Khalista-LTN, 2010), 97.
[3] Abdul Mun’in DZ, dkk. Manifesto Kedaulatan Indonesia;Pokok-Pokok Pikiran Musyawarah Nasional Ke-5 IKA PMII (Jakarta:PB IKA PMII, 2013), 47.
[4] AS. Hikam, “PMII dan Civil Society”, dalam Muhaimin Iskandar (ed.), PMII dan Tanggung Jawab Kebangsaan (Jakarta:PB PMII, 1995), 47.

Jumat, 01 Agustus 2014

Menata sistem yang baik menuju luar biasa



Good to Great karya Jim Collins bukan sekadar buku yang berbicara tentang kemajuan dalam organisasi, namun tentang bagaimana bertumbuh menjadi luar biasa. Sejak di bagian awal buku, Jim Collins menekankan bahwa "good is the enemy of great". Kata-kata ini akan terus diulang di dalam buku, sehingga pembaca akan terdorong untuk "melepaskan" diri dari bayang-bayang pencapaian yang sudah diraih organisasinya untuk fokus agar terus bertumbuh menjadi luar biasa.

Prinsip-prinsip dalam Good to Great adalah sari pati dari riset yang dilakukan secara menyeluruh dan dalam waktu lama. Jim menganalisis perusahaan-perusahaan yang harga sahamnya naik minimal 3 kali lipat lebih banyak dari kenaikan rata-rata nilai saham keseluruhan dalam rentang waktu 15 tahun.

Jim juga memisahkan kondisi keseluruhan dari industri dan perusahaan yang diteliti agar bisa membedakan mana yang didorong oleh kemajuan di industri, dan mana yang benar-benar bertumbuh tanpa terpengaruh kondisi industrinya. Ia kemudian menganalisis berbagai faktor dalam perusahaan, mulai dari teknologi, sistem renumerasi, gaya kepemimpinan, strategi merger dan akuisisi perusahaan, serta berbagai variabel lainnya untuk melihat apa yang membuat sebuah perusahaan bisa berubah dari sekadar baik menjadi luar biasa.

Hasilnya, Jim Collins menemukan bahwa ada beberapa prinsip yang dapat dilakukan untuk mendorong terciptanya sebuah "flywheel". Flywheel adalah istilah untuk tindakan yang saling terkait satu sama lain, yang pada akhirnya mendorong momentum perubahan sebuah organisasi menjadi luar biasa.

Dalam flywheel, satu tindakan mendorong tindakan lainnya, dan di saat yang sama, sebuah tindakan merupakan hasil dari tindakan sebelumnya. Semuanya menjadi seperti roda yang bergerak semakin lama semakin cepat, dan menggerakkan organisasi untuk lebih unggul dari organisasi lainnya. Dalam flywheel tersebut, ada 3 hal besar yang harus diperhatikan, yakni disciplined people, disciplined thought, dan disciplined action. Berikut ini sekilas mengenai ketiga hal tersebut.

Disciplined People

Tahap pertama ini terdiri atas 2 hal, yaitu "Level 5 leadership" dan "First who, then what". Dalam "Level 5 leadership", Jim menjelaskan pentingnya kepemimpinan dengan kapasitas "level 5". Hampir semua dari perusahaan yang berubah dari sekadar baik menjadi luar biasa dipimpin oleh pemimpin jenis ini. Hal utama yang membedakan mereka dengan pemimpin lain adalah, bahwa para pemimpin level 5 ini mempunyai karakter yang paradoks dalam hal kesederhanaan sebagai individu dan ambisi sebagai seorang professional.

Pemimpin level 5 adalah orang yang rendah hati, tidak menonjolkan diri, dan banyak memberikan kredit atas kontribusi pihak lain. Namun di saat yang sama, dia juga mempunyai determinasi, kapasitas, dan ambisi yang kuat sebagai seorang professional.

Dalam "First who, then what", Jim menjelaskan perlunya merekrut orang-orang terbaik dalam bidangnya masing-masing. Dengan modal ini, barulah sebuah organisasi memutuskan tujuan apa yang ingin dicapai, sesuai dengan rekomendasi dan kesepakatan tim yang solid ini. Hal ini membuat semua orang dalam organisasi dapat berkontribusi maksimal.

Menurut Jim, jika organisasi memutuskan kebalikannya (first what, then who), maka organisasi akan bergantung pada 1-2 orang yang "jenius" saja, dan anggota tim yang lain hanya berfokus membantu tanpa berbuat lebih jauh.

Disciplined Thought

Di tahap kedua, perusahaan bergerak dari kondisi "build up" menjadi "breakthrough". Ini berarti pada tahap ini, sudah ada peningkatan yang terjadi sebagai hasil penerapan prinsip-prinsip sebelumnya. Di tahap ini, ada 2 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu "Confront the brutal fact" dan "Hedgehog concept".

Confront the brutal fact berarti sebuah organisasi harus mempunyai budaya keterbukaan dalam hal komunikasi. Keterbukaan ini bukan dalam semangat ingin menjatuhkan, namun dalam semangat perbaikan. Pemimpin mendorong keterbukaan dengan lebih banyak mengajukan pertanyaan daripada jawaban. Sedangkan para staf di level bawah dan menengah mendorong keterbukaan. Di antaranya dengan menganalisis kondisi perusahaan secara jujur, melihat kesalahan secara apa adanya tanpa ditutupi, atau apapun dalam kaitannya dengan keterbukaan untuk menerima fakta secara apa adanya.

Sedangkan Hedgehog concept adalah analisis organisasi yang didasarkan atas 3 pertanyaan besar: 1) aktivitas apa yang paling menarik bagi organisasi untuk dilakukan?  2) aktivitas apa yang bisa dilakukan organisasi dengan lebih baik dibandingkan pesaing? 3) aktivitas apa yang paling menguntungkan secara ekonomi bagi organisasi?

Interseksi ketiga pertanyaan tersebut adalah area yang harus menjadi fokus kegiatan sebuah organisasi agar bertumbuh dengan maksimal.

Disciplined Action

Pada tahap ini, fokus perusahaan bukan lagi untuk bertumbuh, tetapi bagaimana mempertahankan pertumbuhan secara berkelanjutan. Di tahap ini ada 2 hal utama, yaitu "A culture of discipline" dan "Technology accelerator". A culture of discipline adalah pentingnya perusahaan mempunyai sebuah sistem kerja yang bisa menjamin budaya kerja tanpa adanya pengawasan, sehingga pertumbuhan bisa terus dialami.

Technology accelerator adalah pentingnya perusahaan mengaplikasi kemajuan teknologi sebagai alat untuk mempercepat pertumbuhan, bukan sebagai fokus dari pertumbuhan. Segala kemajuan yang bisa mempercepat gerak perusahaan, perlu diadaptasi. Sebaliknya, teknologi yang tidak relevan terhadap pertumbuhan perusahaan tidak perlu diadaptasi. Ini dilakukan agar perusahaan tetap efisien dalam pengeluaran sumber daya uang dan waktu.

Demikian poin-poin besar dalam buku Good to Great. Penulis resensi ini menemukan beberapa alasan mengapa buku ini layak dibaca. Pertama, buku ini adalah penjabaran hasil riset yang menganalisis berbagai dimensi dan dari berbagai sumber informasi dalam jangka waktu lama. Buku ini bukan sekadar versi panjang dari ilham penulis yang ditambah-tambahkan dengan data-data untuk memperkuat argumen.

Kedua, buku ini berhasil menyajikan prinsip yang berlaku universal, sehingga isinya dapat diterapkan dalam berbagai kondisi, termasuk dalam momen perubahan ICT dan perubahan sosial saat ini.

Ketiga, buku ini ditulis dengan gaya bahasa bercerita yang enak dibaca. Dalam buku ini, pembaca akan membayangkan Jim Collins seolah sedang bercerita mengenai hasil risetnya. Ketiga hal itulah yang menjadi alasan mengapa buku ini menarik untuk dibaca oleh siapapun yang tertarik untuk berubah dari sekadar baik menjadi luar biasa.

copas dari : http://www.leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=668%3Aresensi-good-to-great&catid=52%3Aleaders-book&Itemid=18

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost