Guru
adalah sosok pahlawan yang jasanya tiada tara. Mereka adalah pejuang dengan
bersenjatakan pena, yang mampu mengubah batu menjadi batu mulia. Perjuangan
mereka tulus, bak sinar mentari yang menyinari bumi. Perilakunya dapat ditiru
dan perkataanya selalu digugu.
Tapi sayangnya, itu semua hanya tinggal kenangan. Fenomena guru yang mempunyai
wibawa dan karisma itu, kini mulai menurun dan sedikit demi sedikit memudar.
Hal ini dipengaruhi dengan semakin rendahnya moral peserta didik akibat
maraknya infotainment dan interaksi sosial yang semakin negatif.
Saat ini guru berada pada fase dilematis. Mereka tidak lagi boleh menggunakan
cara tegas untuk mendidik. Dahulu ketika ada murid melanggar peraturan sekolah
dan etika moral, mereka dihukum berdiri di depan kelas sambil dijewer
telinganya: tidak ada satupun orang tua yang protes. Namun Sekarang ketika ada
guru yang menjewer murid karena berkata kotor, maka dengan semangat sang orang
tua mengadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan penyiksaan atau
kekerasan terhadap anak.
Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada
murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua lepada sekolah.
Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan
infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak
lagi menghargai gurunya.
Kondisi yang terjadi Sekarang adalah: bahwa murid tak lagi segan untuk berkata
kepada gurunya: “Bapak/Ibu ne sekiwit…”, “Aih…. Bapak nih….” Tanpa ada rasa
bahwa yang mereka katakan adalah pernyataan yang dapat menyinggung guru.
Mayoritas guru pasti sudah pernah mengalami ketika murid permisi mereka
mengatakan “Pak/buk saya mau kencing.” Padahal dahulu kata-kata kencing tidak
boleh diucapkan di hadapan guru. Sekarang?
Kondisi real yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak
muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang
yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll,
dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.
Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di
kutip dari salah satu majalah Islam:
Kisah 1
”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi defek
jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer.
Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD
tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya.
Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk
membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru
tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun
karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih
mengambang.”
Kisah 2
”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali
murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan
kelas anak didiknya. Ibi Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan
ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan
anaknya.kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan
ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas
anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga
berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi
sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman
bertubi-tubi dan takut akan andanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya
maka dengan terpakasa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk
menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik
kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini
membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan bahkan mungkin lebih kasus
teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang
tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan
yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK.
Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun
di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat
benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi
berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode
pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun
serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik,
namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.
Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter
anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang
memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu
akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu
adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang
tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak
mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau
berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan
menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
Namun ternyata cara tradisional yang biasaya diterpakan beberapa puluh tahun
yang lalu membuahkan efek negatif bagi orang tua. Ada beberapa alasan kenapa
kepercayaan orang tua terhadap guru di sekolah menurun drastis kepada guru atau
sekolah.
1. Wali Murid Terlalu Over Protektif Kepada Anak
Ada dua tipe orang tua dalam memberikan kepercayaan anak murid kepada
guru/sekolah. Tipe pertama adalah orang tua yang mempercayakan sepenuhnya
pendidikan anaknya kepada sekolah. Tipe orang tua ini mendukung apapun yang
dilakukan guru atau sekolah agar anakanya berhasil. Meskipun anaknya
mendapatkan hukuman dari guru, mereka tetap mendukung dan tidak menaruh curiga
kepada guru maupuan sekolah. Tipe yang kedua adalah tipe orang tua yang terlalu
over proteksi kepada anaknya. Mereka selalu memantau perkembangan anaknya
disekolah dan bahkan sampai detail yang dilakukan guru terhadap anaknya
dipantau dari rumah. Tipe ini tidak akan segan-segan memprotes dan memarahi
guru ketika guru tidak berhasil mendidik putra-putrinya. Dan ketika sang anak
melaporkan bahwa ia mendapat hukuman dari guru karena murni kesalahan murid,
maka ia akan serta merta melabrak guru yang bersangkutan bahkan berani
membawanya ke meja hijau. Tipe orang tua yang ketiga adalah yang menempatkan
diri di antara kedua tipe orang tua di atas.
Tipe orang tua yang terlalu protektif ini di satu sisi dapat memberikan kontrol
kepada guru. Namun di sisi lain akan berdampak atau berkesan terlalu mencampuri
urusan dan metode sekolah dalam mendidik anaknya. Bahkan ada pendapat bahwa
orang tua yang seperti ini akan lebih baik apabila memberikan pendidikan pada
anaknya dengan cara HOME SCHOOLING, suatu program pendidikan yang mendidik
anaknya di rumah dengan cara mengundang guru pilihan untuk mengajar di
rumahnya. Home Schooling selain dapat menghindarkan dari hukuman guru juga
dapat menghindarkan pengaruh negatif dari teman-teman yang bisa di dapat di
sekolah umum.
2. Kurangnya Pemahaman sebagaian Guru terhadap Metode Pengajaran dan Pendidikan
Ada sebagian guru yang belum dapat memahami jiwa dan psikologis anak. Sehingga
ketika anak melanggar peraturan maka ia tidak dapat mengontrol emosinya. Hal
ini dipenguruhi karena banyak guru yang sebenarnya bukan berasal dari Sarjana
Pendidikan, banyak sekali guru-guru lulusan pertanian, perikanan, teknik, ilmu
terapan, dan ilmu-ilmu lain, yang sebenarnya tidak memahami konteks pembelajaran
terpakasa harus bekerja sebagai GURU karena tidak ada lapangan pekerjaan yang
menampungnya.
Secara jujur di Jambi saja, data yang diperoleh dari dari penelitian LPMP bahwa
selama tahun 2004 di dapatkan hanya ada 30 % saja guru yang layak mengajar.
Lalu kemanakah guru yang 70 % nya lagi?
Fakta lain terungkap dalam tulisan Bagus Mustakim; ia mengatakan bahwa guru di
Indonesia saat ini mempunyai kulaitas mengajar yang sangat rendah. Hal ini
disebabkan karena kesulitan guru dalam mengakses kemajuan, kebijakan, program,
dan media pendidikan terkini. Atau disebabakan karena rendahnya kemauan dan
tekad dari guru untuk selalu mengakses kemajuan-kemajuan pendidikan terkini.
3. Adanya blow up dari Infotainment dan berita tentang kasus-kasus di sekolah
Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang
justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang
pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada
kepercyaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap langsung
dioleh mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita
tersebut.
4. Penafsiran salah terhadap lahirnya Komnas Perlindungan Anak
Ada sebagian orang tua yang salah mengartikan lahirnya komisi nasional
perlindungan anank yang saat ini diketuai oleh Kak Seto Mulyadi. Mereka
menganggap bahwa anak tidak boleh mendapat tindakan kekerasan oleh siapapun
termasuk guru di sekolah, meskipun untuk membuat efek jera kepada murid yang
melanggar aturan.
Dengan demikian, saat ini guru telah sedikit demi sedikit kehilangan wibawa dan
martabatnya di mata siswa dan mali murid. Jika kondisi seperti ini dibiarkan
maka penderitaan guru semakin memuncak. Sudahlah gaji kecil, selalu mendapat
protes dari wali murid, sering mendapat ancaman dan bahkan nantinya mungkin
akan banyak guru yang dipenjara gara-gara rasa cintanya pada murid itu sendiri.
Harus ada langkah yang dan gebrakan baru untuk mengembalikan citra, wibawa dan
martabat guru, langkah yang dapat dilakukan adalah:
Pertama. Pemerintah harus memberikan
perlindungan kepada guru untuk memberikan pembelaan apabila guru mendapat
ancaman atau tuntutan di kepolisan atau di komnas perlindungan anak. Jika perlu
harus dilahirkan KOMNAS PERLINDUNGAN TERHADAPAP GURU.
Kedua. Adakan pembicaraan dan
pemahaman kepada wali murid, bahwa ketika mereka mempercayakan anaknya untuk
disekolahkan di sekolah tertentu maka hendaknya wali murid mempercayakan sistem
dan aturan sekolah. Ketika terjadi benturan maka metode terbaik adalah
diselesaikan secara damai dan kekelauargaan, tidak perlu melaporkan ke
kepolisian atau komas perlindungan anak.
Ketiga. Hendaknya para guru untuk
dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengajar, mengembangkan diri dan
selalu ingin belajar kepada siapapun. Guru hendaknya tidak segan dan tidak malu
untuk mengakui kekurangannya dan tidak malu untuk bertanya kepada yang lebih
tahu.
Semoga
tulisan ini dapat sedikit memberikan pencerahan kepada guru, siswa dan wali
murid akan pentingnya wibawa seorang guru. Jika guru tidak lagi menjadi
tauladan dan panutan dari murid, maka saat ini siapa lagi yang bisa memberikan
itu semua. Kita tentunya merindukan masa-masa ketika guru benar benar di GUGU
dan DITURU.
sumber: http://dionginanto.blogspot.com