Rabu, 26 November 2014

Malpraktik Praktik Perguruan Tinggi



Sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung menyatakan tetap menggunakan otoritasnya dalam menentukan mekanisme pelaksanaan pendidikan tinggi (18/9/14). Kendati Permendikbud No 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi telah diteken sejak Juni lalu, para pengelola memilih berpegang pada best practice yang telah diterapkan.


Sikap tersebut menunjukkan rendahnya relevansi penerbitan Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan tinggi. Setelah tahun lalu pemerintah merombak mekanisme penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah melalui Kurikulum 2013, berhasilkah rencana pembenahan pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia? Bagaimana relevansinya dalam pengembangan ilmu dan masyarakat ilmuwan?
 

Permendikbud No 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi bisa dikatakan sebagai lanjutan dari program pemerintah mewujudkan standardisasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
 

Hal itu dimulai sejak tahun 2012 ketika pemerintah mendesain kualifikasi keahlian sebagaimana terbaca dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Desain itu kemudian diwujudkan dalam penyusunan Kurikulum 2013 untuk pendidikan dasar dan menengah dilanjutkan dengan desain standar pendidikan tinggi.

Pembakuan pendidikan

Kerangka pikir dalam standar nasional pendidikan tinggi tidak jauh berbeda dengan standar nasional pendidikan dasar dan menengah. Permendikbud No 49/2014 Pasal 4 menyebutkan ada delapan standar, yakni standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Pengaturan standar nasional pendidikan tinggi memiliki semangat memperbaiki kinerja ilmuwan di Indonesia.

Setidaknya hal itu dapat dilihat sebagai upaya mewujudkan cita-cita membangun ”manusia paripurna” sebagaimana ditulis dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kendati demikian, pengembangan itu kurang tecermin dalam Permendikbud. Ada empat alasan paling mendasar.

Pertama, Pasal 17 (Ayat 3) itu memuat durasi masa studi pendidikan tinggi yang tidak proporsional. Masa studi diploma satu adalah satu sampai dua tahun, diploma dua dari dua sampai tiga tahun, diploma tiga dari tiga sampai empat tahun, diploma empat dan sarjana dari empat sampai lima tahun.

Masa studi satu sampai dua tahun untuk program profesi, satu setengah hingga empat tahun untuk program spesialis atau program magister. Untuk program doktor, spesialis dua, dan doktor terapan tidak memiliki batas waktu maksimal. Program doktor hanya punya batas waktu minimal tiga tahun.

Capaian studi pada tingkat sarjana hingga doktor mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Mereka dituntut mampu mempraktikkan ilmu pengetahuan yang diperoleh, memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah ilmiah dan sosial, hingga menghasilkan inovasi bagi kemanusiaan.

Persoalannya, masa studi tingkat sarjana dibatasi empat hingga lima tahun, tetapi masa studi tingkat doktor tidak ada batasan maksimal.

Ketiga, kontradiksi logis dalam perancangan peraturan. Peraturan ini memiliki kemajuan dengan mencantumkan batasan minimal kuliah doktor, yakni tiga tahun. Peraturan ini tidak berlaku surut sehingga sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat tetap bisa menyandang gelar doktor kendati diperoleh dalam waktu satu hingga dua tahun. Namun, kekurangannya terletak pada ketiadaan batasan masa studi untuk kuliah doktor sehingga bisa berlangsung hingga akhir hayat. Hal itu tidak masuk akal mengingat program pendidikan memiliki rancangan yang rasional dan terukur.
 

Keempat, pemerintah tidak menempatkan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang diberi wewenang untuk mengembangkan diri secara otonom. Delapan standar yang dicantumkan dalam peraturan akan jatuh pada formalitas administratif sebagaimana terjadi dalam program akreditasi perguruan tinggi yang telah berlaku selama ini.
 

Iklim keilmuan

Berdasarkan kenyataan tersebut, pemerintah semestinya membangun iklim pendidikan tinggi yang berbasis pada pengembangan ilmu secara esensial. Selama ini, penyelenggaraan pendidikan tinggi dibelenggu oleh daftar isian dalam formulir akreditasi perguruan tinggi. Pengelola sibuk dengan kinerja administratif.
 

Ironisnya, program penghargaan terhadap ilmuwan, misalnya, justru diberikan oleh lembaga-lembaga swasta yang memiliki kepedulian terhadap ilmu. Contoh, lepas dari penolakan sejumlah ilmuwan, Bakrie Awards adalah lembaga yang memberikan penghargaan terhadap ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. 
 

Ary Suta Awards juga setiap tahun memberikan penghargaan terhadap ilmuwan yang memiliki dedikasi terhadap bidang ilmu yang ditekuni selama ini. Bahkan, Ary Suta menerbitkan jurnal ilmiah secara periodik dan menyelenggarakan penghargaan penulisan paper bagi ilmuwan dari 2008 hingga sekarang. 

 

Sejumlah lembaga swasta lain juga bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan tanpa bantuan pemerintah. Tindakan masyarakat itu menunjukkan betapa pemerintah tidak peka dan tidak memiliki visi jelas dalam pengembangan pendidikan tinggi. 

 

Idealnya, pendidikan tinggi berfungsi sebagai sebuah agen pemikiran-pemikiran reflektif yang memberikan arah bagi kemanusiaan. Perguruan tinggi adalah sumber cara baru memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Pemerintah memberikan kewenangan yang memadai untuk menghasilkan inovasi dan masyarakat akan menggunakan.
 

Faktanya, pengembangan yang dilakukan pemerintah cukup dilakukan melalui standar baku dan visi hanya dilihat dalam formalitas akreditasi. Jadilah pengembangan ilmu berada di bawah ancaman pemerintah untuk menjadi baku, padahal kata pembakuan sangat dekat dengan pembekuan.

Saifur Rohman
Pengajar Program Doktor Ilmu
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta

Ketika Guru tidak lagi berwibawa

Guru adalah sosok pahlawan yang jasanya tiada tara. Mereka adalah pejuang dengan bersenjatakan pena, yang mampu mengubah batu menjadi batu mulia. Perjuangan mereka tulus, bak sinar mentari yang menyinari bumi. Perilakunya dapat ditiru dan perkataanya selalu digugu.

Tapi sayangnya, itu semua hanya tinggal kenangan. Fenomena guru yang mempunyai wibawa dan karisma itu, kini mulai menurun dan sedikit demi sedikit memudar. Hal ini dipengaruhi dengan semakin rendahnya moral peserta didik akibat maraknya infotainment dan interaksi sosial yang semakin negatif.

Saat ini guru berada pada fase dilematis. Mereka tidak lagi boleh menggunakan cara tegas untuk mendidik. Dahulu ketika ada murid melanggar peraturan sekolah dan etika moral, mereka dihukum berdiri di depan kelas sambil dijewer telinganya: tidak ada satupun orang tua yang protes. Namun Sekarang ketika ada guru yang menjewer murid karena berkata kotor, maka dengan semangat sang orang tua mengadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan penyiksaan atau kekerasan terhadap anak.
 
Hal ini bukan berarti penulis membenarkan tindakan hukuman jewer/cubit kepada murid. Namun lebih lepada rendahnya kepercayaan orang tua lepada sekolah. Selain itu degradasi moral anak bangsa juga disebabkan bebasnya tayangan infotainment yang menjadi trend setter cara bergaul mereka, maka kini murid tak lagi menghargai gurunya.



Kondisi yang terjadi Sekarang adalah: bahwa murid tak lagi segan untuk berkata kepada gurunya: “Bapak/Ibu ne sekiwit…”, “Aih…. Bapak nih….” Tanpa ada rasa bahwa yang mereka katakan adalah pernyataan yang dapat menyinggung guru. Mayoritas guru pasti sudah pernah mengalami ketika murid permisi mereka mengatakan “Pak/buk saya mau kencing.” Padahal dahulu kata-kata kencing tidak boleh diucapkan di hadapan guru. Sekarang?


Kondisi real yang terjadi sekarang adalah, ketika guru berhasil mendidik anak muridnya menjadi sukses, guru tidak pernah disebut atau diingat sebagai orang yang berjasa. Namun ketika guru melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan dll, dengan sigap orang tua murid melaporkannya ke kantor polisi.
 
Berikut adalah kisah-kisah nyata tragis yang menimpa pada guru. Kisah ini di kutip dari salah satu majalah Islam:

Kisah 1

 

”Sebut saja namanya Kahdijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi defek jera kepada murid yang berkali-kali tidak mengerjakan PR dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tidak mengenakkan. Guru SD tersebut dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. Khadijah tentu saja panik. Apalagi ada ancaman dari orangtua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisisan. Ibu guru tersebut sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp. 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang.” 


Kisah 2

”Ibu Siti (bukan nama asli) Guru SD N Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar. Gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibi Siti bahkan sempat diancam wali murid akan dilaporkan ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru itu tak menaikkan anaknya.kejadian itu bukan hanya sekali, ia sering mendapatkan teror dan ancaman dari preman yang sengaja dibawa oleh orang tua demi kenaikan kelas anaknya. Setelah melaporkan ke kepala sekolah, rupanya wali murid belum juga berhenti untuk menteror sang guru bahkan sang wali murid berani mendatangi sekolah untuk memberikan ancaman. Akhirnya karena tidak tahan dengan ancaman bertubi-tubi dan takut akan andanya efek negatif menimpa guru dan sekolahnya maka dengan terpakasa sang kepala sekolah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan sang murid dengan cara naik terbang. Artinya sang murid bisa naik kelas asalkan pindah sekolah. Inilah bentuk ancaman dan teror kepada guru, ini membuktikan guru tak lagi dihargai oleh masyarakat.”
 
Kedua kisah ini adalah sebagian kisah dari ribuan bahkan mungkin lebih kasus teror dan ancaman kepada guru di Indonesia. Ancaman ini bukan hanya dari orang tua murid saja, namun mereka melibatkan LSM, preman dan bahkan wartawan dan yang lebih parah lagi sampai ke KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK.

Lahirnya Komnas Perlindungan Anak di Indonesia memang dirasa bermanfaat; namun di sisi lain Komnas dan UU perlindungan anak dijadikan alasan untuk dapat benar-benar memproteksi anak yang sebenarnya tidak perlu mendapat proteksi berlebihan. Padahal produk pendidikan 10-20 tahun yang lalu, dengan metode pendidikan klasik/tradisional, murid mempunyai tata krama dan sopan santun serta disiplin yang tinggi. Guru mempunyai wibawa yang tinggi sebagai pendidik, namun kondisi saat ini telah berubah 180 %.

Mendidik seorang anak tidak selamanya harus dengan kelembutan. Karena karakter anak didik berbeda satu sama lain. Dalam hal ini ada satu majalah Islam yang memberikan contoh/logika: Dalam memegang burung jika terlalu keras burung itu akan mati, sementara jika terlalu lembut burung tersebut akan terbang. Perlu adanya pengamatan yang jeli terhadap siswa secara akurat dan kapan waktu yang tepat untuk memberaikan hukuman pada anak. Logika lain adalah mendidik anak mirip seperti seorang penggembala bebek/itik, ketika sang itik tidak mau berjalan pada jalan yang sudah diarahkan maka sang penggembala biasanya akan menggunakan kayu untuk mengarahkan sang itik.
 
Namun ternyata cara tradisional yang biasaya diterpakan beberapa puluh tahun yang lalu membuahkan efek negatif bagi orang tua. Ada beberapa alasan kenapa kepercayaan orang tua terhadap guru di sekolah menurun drastis kepada guru atau sekolah.
 
1. Wali Murid Terlalu Over Protektif Kepada Anak
Ada dua tipe orang tua dalam memberikan kepercayaan anak murid kepada guru/sekolah. Tipe pertama adalah orang tua yang mempercayakan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah. Tipe orang tua ini mendukung apapun yang dilakukan guru atau sekolah agar anakanya berhasil. Meskipun anaknya mendapatkan hukuman dari guru, mereka tetap mendukung dan tidak menaruh curiga kepada guru maupuan sekolah. Tipe yang kedua adalah tipe orang tua yang terlalu over proteksi kepada anaknya. Mereka selalu memantau perkembangan anaknya disekolah dan bahkan sampai detail yang dilakukan guru terhadap anaknya dipantau dari rumah. Tipe ini tidak akan segan-segan memprotes dan memarahi guru ketika guru tidak berhasil mendidik putra-putrinya. Dan ketika sang anak melaporkan bahwa ia mendapat hukuman dari guru karena murni kesalahan murid, maka ia akan serta merta melabrak guru yang bersangkutan bahkan berani membawanya ke meja hijau. Tipe orang tua yang ketiga adalah yang menempatkan diri di antara kedua tipe orang tua di atas.
 
Tipe orang tua yang terlalu protektif ini di satu sisi dapat memberikan kontrol kepada guru. Namun di sisi lain akan berdampak atau berkesan terlalu mencampuri urusan dan metode sekolah dalam mendidik anaknya. Bahkan ada pendapat bahwa orang tua yang seperti ini akan lebih baik apabila memberikan pendidikan pada anaknya dengan cara HOME SCHOOLING, suatu program pendidikan yang mendidik anaknya di rumah dengan cara mengundang guru pilihan untuk mengajar di rumahnya. Home Schooling selain dapat menghindarkan dari hukuman guru juga dapat menghindarkan pengaruh negatif dari teman-teman yang bisa di dapat di sekolah umum.
 
2. Kurangnya Pemahaman sebagaian Guru terhadap Metode Pengajaran dan Pendidikan
Ada sebagian guru yang belum dapat memahami jiwa dan psikologis anak. Sehingga ketika anak melanggar peraturan maka ia tidak dapat mengontrol emosinya. Hal ini dipenguruhi karena banyak guru yang sebenarnya bukan berasal dari Sarjana Pendidikan, banyak sekali guru-guru lulusan pertanian, perikanan, teknik, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu lain, yang sebenarnya tidak memahami konteks pembelajaran terpakasa harus bekerja sebagai GURU karena tidak ada lapangan pekerjaan yang menampungnya.

Secara jujur di Jambi saja, data yang diperoleh dari dari penelitian LPMP bahwa selama tahun 2004 di dapatkan hanya ada 30 % saja guru yang layak mengajar. Lalu kemanakah guru yang 70 % nya lagi?

Fakta lain terungkap dalam tulisan Bagus Mustakim; ia mengatakan bahwa guru di Indonesia saat ini mempunyai kulaitas mengajar yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kesulitan guru dalam mengakses kemajuan, kebijakan, program, dan media pendidikan terkini. Atau disebabakan karena rendahnya kemauan dan tekad dari guru untuk selalu mengakses kemajuan-kemajuan pendidikan terkini.
 
3. Adanya blow up dari Infotainment dan berita tentang kasus-kasus di sekolah
Kebebasan pers dalam memberikan informasi dan fakta kepada masyarakat terkadang justru membahayakan posisi guru dan sekolah. Tidak adanya sensor tentang pemberitaan negatif tentang dunia pendidikan dan guru sangat berpengaruh pada kepercyaan wali murid kepada sekolah. Sehingga berita yang diserap langsung dioleh mentah-mentah tanpa memperhatikan fakta dan kondisi di balik berita tersebut.
 
4. Penafsiran salah terhadap lahirnya Komnas Perlindungan Anak
Ada sebagian orang tua yang salah mengartikan lahirnya komisi nasional perlindungan anank yang saat ini diketuai oleh Kak Seto Mulyadi. Mereka menganggap bahwa anak tidak boleh mendapat tindakan kekerasan oleh siapapun termasuk guru di sekolah, meskipun untuk membuat efek jera kepada murid yang melanggar aturan.
 
Dengan demikian, saat ini guru telah sedikit demi sedikit kehilangan wibawa dan martabatnya di mata siswa dan mali murid. Jika kondisi seperti ini dibiarkan maka penderitaan guru semakin memuncak. Sudahlah gaji kecil, selalu mendapat protes dari wali murid, sering mendapat ancaman dan bahkan nantinya mungkin akan banyak guru yang dipenjara gara-gara rasa cintanya pada murid itu sendiri. Harus ada langkah yang dan gebrakan baru untuk mengembalikan citra, wibawa dan martabat guru, langkah yang dapat dilakukan adalah:
 
Pertama. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada guru untuk memberikan pembelaan apabila guru mendapat ancaman atau tuntutan di kepolisan atau di komnas perlindungan anak. Jika perlu harus dilahirkan KOMNAS PERLINDUNGAN TERHADAPAP GURU.
Kedua. Adakan pembicaraan dan pemahaman kepada wali murid, bahwa ketika mereka mempercayakan anaknya untuk disekolahkan di sekolah tertentu maka hendaknya wali murid mempercayakan sistem dan aturan sekolah. Ketika terjadi benturan maka metode terbaik adalah diselesaikan secara damai dan kekelauargaan, tidak perlu melaporkan ke kepolisian atau komas perlindungan anak.
 
Ketiga. Hendaknya para guru untuk dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengajar, mengembangkan diri dan selalu ingin belajar kepada siapapun. Guru hendaknya tidak segan dan tidak malu untuk mengakui kekurangannya dan tidak malu untuk bertanya kepada yang lebih tahu.

Semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan pencerahan kepada guru, siswa dan wali murid akan pentingnya wibawa seorang guru. Jika guru tidak lagi menjadi tauladan dan panutan dari murid, maka saat ini siapa lagi yang bisa memberikan itu semua. Kita tentunya merindukan masa-masa ketika guru benar benar di GUGU dan DITURU.

sumber: http://dionginanto.blogspot.com

Mengembalikan Wibawa Guru

Mengembalikan Wibawa Guru Seorang Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) di Lahat, dijatuhi hukuman 2 tahun penjara 2 tahun, karena mencabuli 7 orang siswinya pada suatu acara Perkemahan Sabtu Minggu (Persami) . Lain lagi di Kotabaru, seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru dipergoki oleh pihak berwajib saat “bermesum ria” dengan laki-laki yang bukan suaminya .

Dua kasus diatas agaknya sudah bisa mewakili rentetan kasus bejat para generasi pendidik kita akhir-akhir ini, baik yang sempat tertangkap oleh moncong media maupun yang tak sempat dibertakan. Betapa tidak moral guru-guru kita agaknya sudah berada di tingkat degradasi stadium empat. Padahal menurut pepatah lama “Guru Kencing Berdiri, Siswa Kencing Berlari”. Jika kita korelasikan dengan degradasi moral guru-guru kita, maka jangan heran bila saat ini siswa-siswi kita berperilaku tak bermoral lagi, berciuman di tempat umum, bahkan banyak yang sudah mencicipi “hidangan” yang hanya bisa dicicipi oleh orang yang sudah melafadzkan akad nikah, (bahasa kerennya ML). dan lebih sadis lagi diantaranya ada yang merekamnya kemudian mengunggahnya ke media, sehingga menjadi konsumsi bejat kepada masyarakat.

Pantas bila siswa-siswi kita sekarang ini sudah tidak “menghormati” lagi gurunya, mereka sudah tidak segan lagi memanggil kata-kata “halo”, atau “oe”, kepada gurunya, yang sebelumnya kata itu ini hanya ditujukan kepada teman sebayanya. Ditambah dengan dengan sikap acuh tak acuh siswa kepada gurunya pada kegiatan proses belajar-mengajar (PBM).

Sekelumit masalah diatas mulai dari oknum guru yang melakukan pencabulan; freeseks yang kemudian diikuti oleh siswa-siswinya yang seakan freeseks itu sudah dianggap hal yang lumrah dilakukan; sikap dan perkataan siswa kepada gurunya yang tidak pantas; merupakan suatu penghinaan kepada profesi guru yang teramat mulia. Bukankah Mantan Presiden BJ. Habibie pintar karena jasa sang Guru?. Serta Jepang yang morat-marit akibat hantaman bom atom di Nagasaki dan Hiroshima pada Perang Dunia II mampu bangkit dan menjadi salah satu negara termaju didunia karena polesan sang guru?.

Olehnya itu kita sadar sebagai guru kita harus bertindak dan berperilaku mulia, semulia profesi kita. Ada pendapat yang mengatakan bahwa runtuhnya moral generasi sekarang karena adanya “serbuan” pengaruh Sekularisme dari Barat dan kecanggihan tehnologi sekarang ini. Pendapat ini memang ada benarnya. Tapi bukankah Ikan yang hidup di laut yang airnya asin tak membuat daging ikan tersebut asin pula?. Ikan saja mampu menjaga menjaga dagingnya dari penetrasi zat asin, apalagi kita manusia yang punya akal dan pikiran.
Dahulu sekitar tahun 1960-an guru-guru kita masih sangat disegani dan dihormati, misalnya kalau ada suatu acara kenduri, guru selalu dipersilahkan duduk di tikar diruang tengah, disejajarkan dengan para bangsawan-bangsawan. Bahkan dahulu guru-guru kita sangat dihormati. Semua itu karena guru-guru kita dahulu mampu menjaga sikap dan perilakunya baik dikelas maupun di masyarakat.

Lirik lagu lawas Iwan Fals yang menggambarkan Si Umar Bakri, seorang guru sederhana yang hanya naik sepeda kumbang kalau hendak kesekolahnya mengajar, ditambah dengan penghasilan si Umar Bakri yang pas-pasan atau bahkan di bawah gaji rata-rata. Tapi guru-guru pada masa itu mampu menjaga sikap dan prilakunya dan berjalan diatas norma-norma dan kaidah yang mulia.

Sudah saatnya mulai saat ini guru-guru kita seharusnya mengevaluasi diri masing-masing agar mampu bersikap dan berperilaku positif agar citra guru yang mulai ternoda bersih kembali. Apalagi saat ini pekerjaan sebagai guru menjadi “Top profesi’, sejak dikeluarkannya beberapa regulasi oleh pemerintah yang tidak menganak-tirikan lagi kaum guru di Indonesia. Tapi sekarang ini guru sekarang tidak seperti lagi yang digambarkan oleh liriknya Iwan Fals, yang hanya bersepeda kumbang, yang gajinya selalu dikebiri. Tapi saat ini guru-guru kita sudah mampu memiliki kendaraan roda empat, gaji yang diatas rata-rata dari gaji PNS bukan guru, dengan adanya tunjangan sertifikasi, non sertifikasi serta tunjangan-tunjangan lainnya. Sepantasnyalah kita sebagai guru berterima kasih dengan memperbaiki sikap dan prilaku kita, agar nantinya kita sebagai guru bisa menelorkan siswa-siswi yang beriman, berahlaq serta kompeten dalam membangun bangsa kita tercinta kearah yang lebih baik.

Akhirnya, untuk mengembalikan moral guru yang sempat degradasi stadium empat ini, marilah kita sebagai kaum guru untuk mengembalikan kemulian Guru itu dengan memperbaiki moral kita masing-masing, sesuai dengan agama dan kaidah-kaidah adat ketimuran kita yang mulia. Karena tampa kesadaran dari dalam diri kita masing-masing, maka niscaya kemulian guru itu akan terkubur dengan serentetan prilaku dan tindakan tak bermoral sang guru. Meskipun pemerintah membuat regulasi ketat mengenai tata aturan prilaku dan tindakan guru, regulasi itu tidak akan banyak berperan bila kesadaran guru untuk memperbaiki citranya bukan dari dalam dirinya sendiri. Semua itu akan berubah kearah yang lebih baik apabila diri sendiri yang menyadarinya lalu memperbaikinya.

sumber: http://www.katailmu.com

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost