Artikel bagus untuk inspirasi.
Orang hebat selalu punya cara unik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Selain KH. Asep Saifudin Chalim sebagi dzuriyah para kiai yang saya yakin imbas
dari keistikomahan dan doa doa serta pengabdian pada umat juga karena usaha dan
tirakatnya luar biasa. Sewaktu di pondok pesantren makan kerak nasi (intip:
jawa) itu merupakan cara yang unik sekali.
Kalau bukan karena doa doa nenek moyangnya yang merupan ulama ulama yang ihlas hanya mengaharap ridha Allah tak mungkin belau mampu bertahan dengan idealismenya. Berikut saya share tulisan Dahlan Iskan Bos Jawa Pos Grup dengan judul Kiai Profesor. artikel ini sebagai arsip pribadi karena saya suka membaca dan mempelajari perjalanan kesuksesan kiai dalam merintis pengabdian dan perjuangan pada ummat.
Kalau bukan karena doa doa nenek moyangnya yang merupan ulama ulama yang ihlas hanya mengaharap ridha Allah tak mungkin belau mampu bertahan dengan idealismenya. Berikut saya share tulisan Dahlan Iskan Bos Jawa Pos Grup dengan judul Kiai Profesor. artikel ini sebagai arsip pribadi karena saya suka membaca dan mempelajari perjalanan kesuksesan kiai dalam merintis pengabdian dan perjuangan pada ummat.
=============
KIAI PROFESOR
Rabu 04 March 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Oleh : Dahlan Iskan
Untuk apa sampai perlu mengejar
gelar profesor?
Bagi Kiai Asep Saifudin Chalim tujuannya konkret sekali: ingin
membuka universitas internasional.
Dan ia sendiri yang akan memimpinnya.
Dan itu harus terjadi dalam lima tahun ini.
Hakekatnya beliau sudah mampu
melakukan itu tanpa gelar profesor. Baik dari segi finansial, jaringan,
kapasitas intelektual, maupun ide besar. Dan utama dari track record-nya di
bidang pembangunan pendidikan.
Tapi persyaratan formal dari
pemerintah mengharuskan gelar doktor dan profesor.
”Inilah penganugerahan gelar profesor yang tidak perlu
mempersoalkan hakekatnya. Ini hanya syari'atnya saja,” ujar Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Sang rektor, Prof. Dr. Masdar
Hilmy adalah orang Tegal dengan gelar doktor dari Melbourne University. Sejak
muda Masdar sudah menjadi penulis di koran nasional, termasuk Kompas. Tema
tulisannya biasanya tentang multikulturalisme.
Masdar tahu persis kapasitas dan
hasil karya Kiai Asep. ”Beliau sebenarnya sudah tidak memerlukan gelar ini,”
kata Prof. Masdar Hilmy dalam pidatonya Sabtu lalu.
Untuk mendirikan perguruan tinggi
internasionalnya itu Kiai Asep sudah menyiapkan tanah 60 hektare. Lokasinya di
Pacet, di perbukitan cukup indah di selatan Mojokerto, Jatim.
Di Pacet itu pula Kiai Asep membangun pondok pesantren. Sudah
dilakukan.
Tergolong baru: tahun 2007. Tapi
perkembangannya luar biasa pesat : mutunya, sistem pengajarannya maupun fisik
kampusnya.
Areal tanahnya bertambah terus.
Tiap bulan beli tanah baru. Awalnya hanya 1 hektare. Kini sudah mencapai 40
hektare lebih. Dan akan segera menjadi 100 hektare.
Siswanya juga terus bertambah.
Kini sudah lebih 10.000 orang. Belum ada pesantren baru yang
kepesatan pertumbuhannya secepat itu.
Nama pesantren tersebut: Amanatul
Ummah. Tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional --yang dibidani
Muhammadiyah itu. Kiai Asep adalah tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan ia jadi
NU sudah sejak sebelum lahir. Ayahnya adalah salah satu kuai besar pendiri NU
--Kiai Abdul Chalim.
Sebetulnya Kiai Asep sudah pula
mendirikan perguruan tinggi di Pacet itu. Saya ikut peresmiannya, empat tahun
lalu. Lokasinya di sebelah Amanatul Ummah.
Namanya: Institute Abdul Chalim --untuk menghormati bapaknya.
Sudah pula memiliki mahasiswa dari 10 negara.
Tapi Kiai Asep belum puas dengan
semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan. Sampai terbayar ”dendam” nya
waktu kecil.
Waktu itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim --arah
Pandaan-- banyak berdiri pabrik baru. Mayoritas milik asing.
Ia pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya
yang berpendidikan dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di
situ.
Maka Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas
manusia Indonesia. Lewat pendidikan.
Itu tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN
1 Sidoarjo. Tidak ada lagi kiriman bekal hidup.
Apalagi ia anak bungsu dari 21 bersaudara.
Kisah Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot
Sujono --teman satu kelasnya.
Di forum penganugerahan itu Gatot --juga saya-- diminta
memberikan testimoni. Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.
Saat sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al
Khoziny --yang didirikan oleh KH Abbas Khozin.
Ayahnyalah yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang
pernah lama di Jatim --berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu
pendiri NU.
Di pondok itu semua santri masak sendiri --kecuali Asep. Itu
karena Asep tidak punya bahan yang bisa masak.
Tengah malam barulah Asep ke
dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya --yang biasanya digeletakkan
begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya
tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.
Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan --sekali
itu dalam sehari.
Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari.
Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo --sejauh sekitar 5 Km.
Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis --pelajaran apa pun ditulis
di satu buku situ.
Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok
paling belakang.
Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.
”Beliau itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang
tidak pakai sepatu. Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.
Selama bersahabat, seingat Gatot,
hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.
Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita
pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.
Itu soal bunyi kokok ayam jantan.
”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang
ditirukan Gatot.
Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang
biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!
”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan
koreksi.
Pertengkaran pun terjadi.
Tidak pernah terselesaikan.
Lalu Asep berhenti sekolah di
kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun
pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.
”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan
bahasa Arab,” ujar Gatot.
Pamit ke mana?
Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun
berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya
berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan
Pasuruan.
Perjalanan itulah yang terpatri
dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.
Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa
satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan
Arab.
Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk
IKIP Surabaya --jurusan bahasa Inggris.
Dengan bekal ijazah sarjana muda
Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di
IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.
Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan
sastra Arab. Sampai sarjana muda.
Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di
Siwalankerto --sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.
Asep tahu untuk mendirikan
sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas
Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep
menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.
Presiden Joko Widodo hadir di
acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke
senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu' memberi hormat. Demikian pula
setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk
hormat.
”Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat
memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat
yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.
Kiai Asep memang memegang peran
utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim. Padahal kalau suara di Jatim
imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang ini.
Gatot sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot
melamar kerja di kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara
negara di Samarinda.
Sebelas tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di
Universitas Mulawarman. Di Samarinda pula ia menemukan isterinya sekarang
--anak orang Malang yang juga merantau ke Samarinda.
Gatot lantas mendapat bea siswa
ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di Newark. Lalu mendapat bea
siswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri Malang.
Setelah pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul
Chalim milik Asep.
Pertengkaran saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya
tahu: di Jawa Barat bunyi kokok jago adalah 'kongkorongkooong'.
Gatot sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran
Majalengka --anak kiai besar di sana. ”Selama di SMA beliau menggunakan bahasa
Jawa yang halus,” ujar Gatot.
Saya ikut memberikan pidato
testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat ingin salat subuh di
Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat tiba di Amanatul
Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan masjid.
Habis salat Subuh tidak ada yang
keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab kuning. Semua santri membuka
kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.
”Siapa yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah
saya.
”Beliaunya Kiai Asep,” jawab si santri.
Oh... Inilah kunci sukses Kiai
Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam mengurus lembaga
pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian tertentu.
Ternyata, tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di
Siwalankerto Surabaya ke Pacet. Tiap jam 2.30 pagi .. Tiap hari.
0 komentar:
Posting Komentar