Senin, 22 Februari 2016

Syekh Siti Jenar; Antara Cerita, Logika dan Syariah

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam
Alfatihah..

Jumat, 12 Februari 2016

TENTANG CAK NUN

Pada suatu pengajian Cak Nun di Demak, tiba-tiba ada seorang remaja naik ke atas panggung. Dengan sigap, panitia acara lantas mengusir rema...ja laki-laki gila tersebut, karena panitia dan masyarakat sekitar tahu bahwa remaja laki-laki tersebut memang terkenal gila betulan.
Di saat ribuan orang menganggapnya gila, hanya satu orang yang mau menyapa hatinya. Cak Nun memanggil remaja laki-laki gila tersebut untuk kembali ke atas panggung. Di saat ribuan orang menganggapnya seperti virus penyakit sehingga harus dijauhi, bahkan kalau perlu diludahi kalau nekat mendekat, Cak Nun langsung mendekap tubuh bocah kesepian tersebut.

Bocah tersebut pun sangat kaget, karena di dunia ini masih ada orang yang mau menyapa hatinya, bahkan memeluk tubuhnya. Tanpa ada rasa jijik sedikit pun. Tanpa ada rasa malu sedikit pun. Sosok berbaju putih tersebut justru memeluknya semakin mesra dan menatap ribuan jamaah sambil tersenyum. Seolah Cak Nun ingin bilang pada masyarakat Demak, “Ini salah satu anakku.”
Remaja laki-laki itu memang bocah kesepian. Namanya Edy Setiawan. Sudah yatim-piatu, dianggap orang gila pula. Hidup sebatang kara di dunia ini. Tidak ada yang mau menjadi temannya. Mungkin kalau ia mendekati teman-teman sebayanya, ia akan dipukuli agar takut mendekat lagi. Mungkin kalau ia duduk-duduk di warung makan, ia akan langsung diberi kerupuk dan diusir.

***
Seorang Muhammad Ai(nun) Nadjib memang manusia berlian. Hati beliau bening, mengkristal indah, dan bisa memancarkan cahaya kasih sayang. Meski luar biasa “mahal”, seorang Cak Nun tidak risih bercengkerama dengan rakyat jelata, bahkan mau memeluk orang gila.
Meski diakui kadar intelektualitasnya oleh profesor-profesor dari negara maju di Eropa Barat, Cak Nun mau mendidik orang-orang di perdesaan yang mungkin kebanyakan hanya tamatan wajib belajar 9 tahun. Bercengkerama semalam suntuk. Mendengarkan keluh kesah. Membesarkan hati. Selama 20 tahun keliling Indonesia tanpa henti. Sudah “jalan kaki” ke lebih dari 1.300 desa di 28 provinsi.
Cak Nun tidak mengenal gengsi seperti kebanyakan diri kita. Meski sering keliling dunia di empat benua, bertemu petinggi-petinggi negara dan pemuka agama taraf internasional, beliau mau berteman akrab dengan kuli-kuli gendong di pasar. Meski sahabat seorang raja (Sultan HB X), beliau tetap mau kumpul-kumpul cekakakan dengan para preman dan para tukang becak.

Meski sangat ditakuti Pak SBY yang konon mengaku seorang presiden, beliau mau menerima telepon dari seorang gelandangan. Beliau tidak risih, bahkan bergembira, mendengar “laporan” pemuda pengangguran 35 tahun yang berlagak intelijen tentang situasi demo di depan DPR.
Meski di-kiai-kan oleh para kiai, Cak Nun tetap mau mengadakan pengajian khusus untuk para pelacur di beberapa tempat. Tidak pernah memvonis masuk neraka, tapi untuk membesarkan hati. Para pembaca tulisan saya ini yang dari kalangan pesantren pasti akrab dengan dua adagium ini: Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan menambah kerusakan. Menghindari mudarat lebih diutamakan daripada mengharapkan manfaat.

Kalau diri kita tidak bisa menolong para pelacur untuk keluar dari lembah hitam, diri kita jangan juga lantas memutus harapan para pelacur dari kasih sayang Allah. Ingin tampak lebih gagah dan lebih suci? Hanya orang yang tidak gagah dan tidak suci yang butuh pengakuan.
Jangankan membutuhkan pengakuan, bahkan beliau senang menutupi aneka kebesaran yang sudah melekat pada dirinya sendiri. Sekalipun keturunan Imam Zahid, tapi tidak mau dipanggil “Gus”. Perlu para pembaca tahu, Imam Zahid itu sahabat Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, sama-sama santri kinasihnya Syaihkona Kholil Bangkalan. Tak heran pula Gus Dur sangat menyayangi Cak Nun, demikian pula sebaliknya.

***
Ketika seorang presiden “menasionalisasi” Lumpur Lapindo, bahkan menyebutnya sebagai bencana alam, akhirnya Cak Nun yang pasang badan untuk 11.800 keluarga korban. Cak Nun sendiri yang menelepon Ibu Rosmiyah Bakrie, meminta agar anaknya mau menyantuni puluhan ribu warga Sidoarjo, meski pengadilan telah menyatakan perusahaan anaknya tidak bersalah.
Ketika bentrokan antara perusahaan budidaya udang dengan petambak udang di Tulangbawang sudah memuncak, hingga menewaskan tiga orang dan membuat cukup banyak orang luka-luka, Cak Nun tampil menengahi kedua pihak. Beliau pun meminta diadakannya perubahan paradigma pemerintahan kabupaten Tulangbawang dan pembenahan pada tingkat elit perusahaan. Alhasil, selang beberapa waktu, kedua pihak tersebut tidak hanya rukun, tapi juga semakin sejahtera. Perusahaan budidaya udang semakin laba, para petambak udang semakin sejahtera.
Tentu masih banyak cerita heroik lainnya. Lalu, demi pamrih apakah Cak Nun tampil dimana-mana? Popularitas? Uang?

Jika Anda menganggap perjuangan seorang Muhammad Ainun Nadjib untuk materi dunia, pasti Anda ditertawakan Pak Harto. Sedikit cerita, sejengkel-jengkelnya Pak Harto pada kritikan pedas Cak Nun terkait jalannya Orde Baru, Pak Harto tidak bisa memenjarakan beliau. Pak Harto sangat tahu bahwa beliau tulus orangnya.
Satu-satunya orang yang berani “kurang ajar” pada Pak Harto hanya Cak Nun—semisal lungguh jigang atau berambut gondrong saat di istana—dan Pak Harto tidak bisa marah. Ketika Cak Nun bilang kepada Pak Harto untuk segera mandeg pandhito, Pak Harto hanya diam tersenyum dan mengangguk. Sebab Pak Harto tahu Cak Nun kalau ngomong sesuatu bukan untuk dirinya sendiri. Diiming-imingi saham perusahaan, Cak Nun menolak. Ditawari jabatan menteri pada 1980-an, Cak Nun juga menolak.

Semua perjuangan ikhlas demi rakyat. Orang bisa berbohong dan berhasil membohongi banyak orang, tapi tidak akan bisa bertahun-tahun. Level penipu ulung sekalipun. Sebab manusia digariskan tidak akan tahan menjadi bukan dirinya sendiri lama-lama. Ini rumusnya.
Seorang Muhammad Ainun Nadjib mampu mengayomi rakyat 20 tahun lamanya, tanpa pernah meminta upah seperser pun. Dari 20 tahun lalu hingga detik ini beliau tidak pernah berubah. Selalu mengayomi rakyat.

Ketika dulu masih muda, setelah shalat di mushola, beliau mendapat suatu ilham. Tanpa pikir panjang, beliau segera menelepon saudara-saudaranya di Jombang. Minta dicarikan empat orang yang sangat miskin tapi akhlaknya baik malam itu juga. Sebab besok paginya beliau akan mengirim uang ke Jombang, untuk ongkos naik haji keempat orang tersebut.
Tetap saja begitu hingga sekarang. Beliau tetap sering mengirimkan uang ke banyak orang miskin. Entah untuk ongkos naik haji, entah untuk modal usaha bikin warung kelontong, entah untuk beasiswa, dan sebagainya.

Apakah persediaan uang tersebut ada dengan jalan meminta? Atau mengajukan proposal? Tidak pernah sekalipun.
Dulu Cak Nun pernah akan diberi cek dengan nominal Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) oleh seorang pengusaha, tapi cek tersebut langsung disobek beliau. Sekadar info, menyobek cek itu aslinya tidak apa-apa, karena uangnya tetap utuh di dalam brangkas bank. “Kalau ketemu saya lagi, mending ditraktir makan saja,” kata beliau sambil tersenyum.
Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menghidupi perut dan idealisme dirinya sendiri. Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menolong orang lain dengan hasil kerja keras dirinya sendiri.

***
Indonesia ibaratnya adalah sebuah kapal yang panjangnya 12,5 kilometer. Kapal raksasa ini mempunyai 39 rusuk. Ada sekitar 15 rusuk yang sudah retak, dan sungguh kapal ini tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, kalau tidak diperbaiki. Apalagi empat dari lima ruangan utama kapal ini sudah hancur.
Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi, yang jelas, suatu hari Indonesia akan mendatangi kesejatian, karena kepalsuan bersifat sementara dan kegelapan bersifat menghancurkan. Indonesia mau tidak mau akan mengikuti kesejatian, sebab hanya kesejatian yang memiliki perspektif masa depan cerah.
Tulisan ini sama sekali bukan untuk me-monumen-kan Muhammad Ainun Nadjib, karena haram hukumnya mabuk pada seseorang. Ketika saya menulis tentang Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, atau yang lainnya, harapan saya adalah untuk dijadikan uswatun hasanah.

Jika kita menjadikan “Cak Nun” sebagai kata kerja yang cair dan dinamis, bukannya sebagai kata benda yang padat dan statis, maka beliau akan bernasib sama dengan Bung Karno dan Gus Dur kelak. Tidak ada manusia yang hidup abadi, tapi dengan suatu mekanisme cinta, beliau akan bisa tetap selalu hidup. Di hati kita.
Saya tidak berani berharap apa-apa pada Indonesia. Bangsa ini memang tidak butuh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, maupun Muhammad Ainun Nadjib, karena ketiganya manusia yang agung.

Suatu hari, karena tidak kuat membayar ustadz yang muda, ganteng dan terkenal, akhirnya para TKW di Hong Kong meminta Cak Nun yang datang. Di luar dugaan, Cak Nun hanya mau dengan tiga syarat; (1) Tidak mau dibayar, (2) tidak perlu dijemput di bandara, dan (3) tidak mau tidur di hotel.
Akhirnya, Cak Nun terbang ke Hong Kong dengan kocek sendiri, menuju lokasi naik bus, dan istirahat malam di rumah inap biasa. Ketika ditanya para TKW Hong Kong kenapa sampai berbuat demikian, beliau menjawab, “Aku datang sebagai bapakmu.”
Muhammad Ainun Nadjib. Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan. Pengayom sebuah bangsa yang yatim. copas dari facebook.com
 

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost