Kamis, 11 September 2014

PMII, NU dan Kesadaran Terhadap Masa Depan Jam'iyyah 3

 Oleh Dr. Abdul Chalik[1]
Pengantar
Artikel ini sengaja saya tulis setelah perhelatan Pilgub Jawa Timur 2013 dan menjelang rencana Reuni Akbar Alumni PMII Gresik yang akan dihelat oleh IKA PMII sebagai bahan refleksi semua pihak yang mengaku dirinya sebagai anggota PMII dan penerus perjuangan Hadratus Syeikh Hasim Asy’ari. Tulisan ini sebagai bagian dari renungan saya ketika mencermati Pilgub Jatim dan saya diundang dibeberapa forum publik terkait dengan kepentingan dimaksud. Ketika saya tampil di TV, pertanyaan nakal selalu muncul dari pemirsa tentang tampilnya dua sosok tokoh utama NU, Gus Ipul dan Mbak Khofifah. Pertanyaan kritis itu seputar, mangapa kedua tokoh tersebut tidak disatukan saja, alangkah indahnya bagi NU jika hal tersebut dapat dilakukan, dan jamaah tidak dibiarkan kebingungan?
Tentu saja, apabila ada pertanyaan seperti saya jawab dengan dengan argumen umum yang rasional, bahkan siapapun yang menjadi WNI punya kesempatan yang sama untuk mencalonkan sebagai pemimpin, termasuk Gubernur. Meskipun dalam hati kecil saya juga merasakan dan mempersoalakan hal yang sama.
Dalam konteks persaingan itu, saya teringat pada dinamika yang terjadi di PMII dan para alumninya. Bahwa saat ini para alumni sudah menyebar di mana-mana, di semua segmen kehidupan tak terkecuali dalam ranah politik. Akibat dari sebaran tersebut, hubungan antar alumni begitu dinamis dan bahkan tidak jarang terjadi friksi dan konflik. Semua itu terjadi akibat dari dinamika dan sebaran kader yang berada di berbagai lapisan.
Saya menyadari bahwa dinamika PMII dan alumninya merupakan miniatur NU yang sesungguhnya, baik hari ini maupun yang akan datang, karena hampir semua petinggi NU yang berlatar belakang Perguruan Tinggi terutama PTAI adalah alumni PMII. Karenanya tidak salah kalau mau ngeramut NU di masa yang akan datang salah satunya harus dimulai dengan ngeramut PMII, begitu pula para alumninya yang tergabung dalam IKA PMII.
PMII dan Tanggung Jawab Sejarah
         Sebagai organisasi kemahasiswaan yang tak terpisahkan dari NU (meskipun independen). PMII lahir dari amanat Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, Yogyakarta, 14-17 Maret 1960. Konbes kala itu menetapkan untuk membentuk sebuah organisasi mahasiswa yang secara administratif dan strukural terpisah dari IPNU. Dibentuklah panitia sponsor untuk melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyyin se-Indonesia yang beranggotakan 13 orang. Setelah melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin pada tanggal 14-16 April 1960 yang berlangsung di TPP Khadijah, maka pada tanggal 17 April 1960, PMII dideklarasikan di Balai Pemuda dalam sebuah resepsi yang mendapatkan respon dari publik kala itu.
         Musyawarah waktu itu memutuskan pembentukan tiga orang formatur, yaitu Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, Chalid Mawardi sebagai Ketua satu dan Said Budairy sekretaris. Mahbub Djunaidi menjadi Ketua Umum PMII dua periode, dari tahun 1960-1967. Disamping sebagai Ketua Umum, Mahbub juga dikenal sebagai pencipta mars, sementara  lambang PMII diciptakan oleh Said Budairy.[2]
         Tokoh-tokoh PMII itulah yang kemudian banyak mengisi posisi penting dalam struktur NU, baik ketika masih menjadi partai, bergabung dengan PPP maupun ketika secara tegas terpisah dari partai politik sejak Muktamar 27 di Situbondo tahaun 1984, hingga pada saat PBNU menfasilitasi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1998. Sejak munculnya PMII tahun 1960an, pos strategis dalam struktur NU selalu diisi oleh kader dan alumni PMII, baik pada tingkat Pengurus Besar, Wilayah, dan Cabang.
         Alumni PMII kini bertebaran dimana-mana, baik dijalur formal maupun non-formal, dijalur politik, birokrasi, pengusaha, profesional, wartawan, militer dan LSM tidak luput dari jangkauan alumni PMII. Nama-nama besar seperti Hamzah Haz (mantan Wapres), Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI), Slamet Effendy Yusuf, Ahmad Bagja, KH. Hasyim Muzadi, Surya Dharma Ali, Khofifah Indar Parawansa adalah nama-nama mantan pimpinan PMII. Sementara ditingkat regional Jatim dengan sangat mudah kita menemukan alumni yang menjadi pimpinan, baik pada partai politik, Bupati/Wali Kota, DPRD, pengusaha, dan professional. Di level regional Gresik, sejak era reformasi Gresik dipimpin oleh alumni PMII, yakni Dr. KH. Robbach Ma’shum, MM (Bupati Gresik 2 periode) dan Drs. H. Muh. Qosim, M.Si (Wakil Bupati Gresik 2010-2015).  Sebagai wadah bagi pada alumni yang sudah lepas dari struktur PMII maka didirikanlah apa yang kemudian disebut dengan Ikatan Alumni PMII (IKA PMII).
PMII lahir dari semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan nurani dan kamakmuran Indonesia melalui pendekatan Islam Ahlussunnah Waljamaah. Misi ini selalu dikumandangkan dan diagung-agungkan oleh PMII disetiap forum apapun terutama acara pengkaderan. Gema kemerdekaan nurani melalui tradisi berfikir kritis serta semangat kebangsaan yang kuat untuk mempertahakan NKRI seolah tak terpisahkan dari PMII.
         Tanggung jawab kebangsaan dan keislaman itu merupakan ruh perjuangan PMII yang selalu digelorakan pada tiap generasi. Saya ingin mengutip salah satu sikap dan rekomendasi Munas IKA PMII Ke-3 pada Awal Juli 2013 kemarin :
“Melihat realitas kehidupan kenegaraan saat ini, dan atas dasar keberadaan PMII sebagai organisasi yang secara historis dan kultural lahir dan menjadi bagian dari NU yang turut terlibat dalam mendirikan NKRI, para alumninya yang tergabung dalam IKA PMII merasa berkewajiban untuk terus mendarmakan ilmu dan baktinya dalam menjaga keutuhan dan keberlanjutan negeri ini. IKA PMII memandang bahwa realitas kehidupan kenegaraan Indonesia sekarang ini sudah banyak yang tidak sesuai dengan semangat dan tujuan awal berdirinya Negara Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945”.[3]
         Narasi di atas merupakan gambaran bahwa ruh perjuangan PMII, kader dan alumninya terus hidup untuk kepentingan bangsa dan terutama umat Islam. Narasi di atas merupakan refleksi terhadap keadaan bangsa yang secara terus menerus dilanda berbagai persoalan untuk bisa mencapai pada kemerdekaan nurani dan kesejahteraan yang hakiki. PMII lahir dan berada pada titik-titik simpul itu untuk terus berjuang, memberikan saran dan masukan konstruktif serta ikut ambil bagian dalam perumusan kebijakan.
         Sikap dan pandangan PMII yang demikian itu karena panggilan keadaan, panggilan sejarah dan panggilan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Maka setiap titik dan momen yang bersinggungan dengan urusan kebangsaan, disitulah PMII hadir dan menggemakan semangat perjuangan.
         Salah satu cara PMII yang manjadi tradisi turun temurun adalah sikap kritis terhadap kelompok dominan (baca:pemerintah) sebagai bentuk balance of power atas munculnya disorientasi pembangunan. Dalam era manapun dan siapapun pemimpinnya, PMII selalu menghadirkan sikap kritis. Sikap kritis ini sering difahami inferior oleh kelompok dominan, terutama yang merasa kekuasaannya terganggu oleh cara pandang PMII yang spontan, sulit ditebak dan terkesan reaksioner. Namun sesungguhnya, sikap kritis tersebut merupakan bagian rasa tanggung jawab besar terhadap kesinambungan pembangunan, terhadap ruang sosial yang selama ini sering diabaikan oleh kelompok manapun.
         Tentang sikap kritis ini, Mohammad AS Hikam menganggapnya sebagai respon atas dinamika ekternal di luar PMII:
“Hanya  sedikit organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa dengan cara-cara tersendiri yang kritis tetapi konstruktif. Satu diantaranya adalah PMII. Namun PMII hanya menjadi reactor, bukan actor. Aktor diambil alih oleh organ lain karena PMII tidak mampu menangkapnya secara cepat”.[4]
         Apapun yang dilakukan PMII sesungguhnya merupakan bentuk kepedualian dan tanggung jawab besar terhadap bangsa ini yang dikemas dengan cara-cara PMII yang  kritis namun konstruktif. Sejarah mencatat tentang peran-peran itu sebagai bentuk sense of social responsibility yang tinggi terhadap masa depan bangsa. Ciri mendasar yang membedakan dengan organisasi di bawah NU adalah sikap responsif dan kritis tersebut. 
Seolah ingin menggambarkan perbedaan secara tegas misalnya dengan IPNU/IPPNU yang identik dengan kemampuan untuk memperkuat basis tradisi keagamaan melalui internalisasi dalam organisasi kepemudaan NU, Ansor yang identik dengan prilaku tegas apabila terjadi peristiwa emergency di sekitar, Fatayat dan Muslimat yang concern dengan penguatan dan pembinaan keluarga sakinah, Maarif dengan pendidikan keAswajaannya, nah sementara PMII dengan cara pandang yang lebih terbuka ingin memikirkan hal-hal yang lebih besar dan luar, terutama tentang tanggung jawab sosial dan politik menurut sudut pandang dan cara PMII.
Membangun PMII berarti Membangun NU ke Depan
         Di bagian awal tulisan ini sudah saya gambarkan tentang banyaknya tokoh-tokoh ternama NU berlatar belakang PMII, dengan tidak mengenyampingkan peran mereka pada organ yang lain. Artinya PMII merupakan bridging bagi kaderisasi tokoh-tokoh NU kini dan di masa yang akan datang.
Dalam sejarah eksistensi PMII di Perguruan Tinggi hampir tidak menemukan kader selain NU yang masuk PMII. Artinya kader PMII 100% adalah putera-puteri warga NU, atau yang amaliahnya sama dengan NU. Ketika mereka masuk menjadi warga PMII, materi-materi utama diskusi di seputar keNUan, ideologi, peran dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula ketika masuk dalam jenjang pengkaderan formal, seperti Mapaba (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan Kader Dasar) maupun PKL (Pelatihan Kader  Lanjutan) dimana isu dan materi-materi diskusi di seputar masalah keNUan.
Latar belakang warga PMII sebagian besar adalah lulusan pesantren atau madrasah. Tradisi pesantren sangat melekat pada warga PMII, tradisi itu pula mengendap dalam budaya dan prilaku sosial mereka Di manapun mereka berproses, identifikasi budaya dan latar sosial dengan sangat jelas tampak dalam prilaku sosial maupun organisasi. Seperti kata pepatah, ‘air cucuran jatuhnya ke pelimpahan juga’. Maka tradisi sarungan, kopyah, tahlil dan yasinan adalah di antara ciri sosial yang kasat mata dimanapun mereka berada.
Pasca lulus dari PMII (baca;pasca struktural) mereka sebagian berkhidmah pada organisasi NU atau yang masih berhubungan dengan urusan NU. Mereka menjadi pengurus Cabang, Wilayah maupun Pengurus Besar di semua lapisan pangurus, namun tidak sedikit yang masuk ke dunia professional. Tradisi dan latar belakang sosial  sangat melekat di manapun warga PMII dan alumniya berkiprah. Sebutan NU struktural dan kultural sudah menjadi lazim di mana identitas keNUan itu terus dibawa kemanapun dan dalam profesi apapun.
         Melihat realitas di atas, sesunggunya salah satu aset terbesar NU berada di PMII. Organisasi ini secara cerdas dan terbuka terus berfikir dan bergerak untuk masa depan organisasi, baik dalam arti inworld looking (mengembangkan tradisi dan khazanah intelektual) maupun outworld looking (mengembangkan cara berfikir progresif, prospektif dengan menjaga keseimbangan peran dalam kehidupan masyarakat). Peran-peran tersebut secara terencana dilakukan oleh PMII dengan segala cara, model, dan peran-pertan strategis yang dimainkannya.  Adalah PMII pula yang secara sadar dan terencana membangun basis intelektual yang tetap teguh mempertahakan tradisi dari guncangan dan serangan kalompok manapun yang berusaha menegasikan peran dan kontribusi ulama’ terdahulu yang dianggap bid’ah, khurafat dan jauh dari ajaran Nabi SAW.
         Salah satu tantangan NU ke depan, di samping membangun kapasitas warganya agar terus bisa bersaing dan berkiprah secaraa luas dalam kehidupan masyarakat, juga dihadapkan oleh tantangan internal berupa sikap dan prilaku ofensif kelompok-kelompok tertentu dalam mereduksi ajaran-ajaran luhur salafus salih yang dianggap bertentangan dengan Islam genuine ajaran utama Nabi SAW. Tantangan seperti ini bukanlah sederhana, karena dilakukan secara terencana dan massif melalui organisasi formal dan bahkan politik untuk terus menggerus keyakinan warga NU. Akibat dari tantangan ini, warna NU terus terganggu, tidak sedikit di antara mereka yang beradu fisik.
         PMII sebagai organisasi intelektual berada pada garda terdepan dalam mengawal tradisi terutama ketika mendapatkan serangan dari berbagai pihak. PMII memiliki asset intelektual yang memadai dan asset keberanian yang kuat dalam mengimbangi tekanan dari luar, terutama ketika ajaran-ajaran luhur itu secara sengaja dinegasikan sebagai hal yang bid’ah dan bukan ajaran sunnah.
         Melihat realitas di atas, banyak tantangan yang harus dihadapi secara arif dan difikirkan secara terus menerus. Dalam konteks ini, PMII sesungguhnya asset terbesar NU dalam membangun jamiyyah di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat pada latar belakang historis dan peran-peran social nyata meraka dalam kehidupan berjamiyyah. Tanpa PMII, NU akan kehilangan asset terbesarnya.
Penutup
         
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh NU dan PMII adalah ketidakmampuan dalam mengelola perbedaan dan dinamika internal warganya. Sering kali dipahami bahwa perbedaan dalam perebutan ruang sosial dan ruang politik merupakan tujuan akhir berNU dan berPMII. Dalam perebutan ruang sering kali mengabaikan bahwa kita adalah sama-sama berjuang untuk penegakan ajaran Ahlussunnah waljamaah, penerus ajaran salafus salih, dan sama-sama berfikir untuk kejayaan jam'iyyah.
Perebutan ruang-ruang itu harus dipahami sebagai sunnatullah dan ‘game’ yang manjadi hak setiap orang dan tidak harus mengorbankan ukhuwwah islamiyah sesama penerus ajarah salafus salih. Semoga kita termasuk generasi yang bisa menerima perbedaan.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwam al-thariq
Gresik, 22 September 2013
---------------------

[1] Ketua IKA PMII Gresik periode 2010-2014. Aktif di PMII sebagai pangurus di semua tingkatan dari tahun 1991 s/d 1999. Artikel ini disampaikan pada acara Halal bi Halal dan Reuni Akbar IKA PMII Gresik, Gedung PCNU Gresik, 22 September 2013.
[2] H. Soelaiman Fadeli, M. Subhan, Antologi NU;Sejarah istilah Amaliah Uswah (Surabaya:Khalista-LTN, 2010), 97.
[3] Abdul Mun’in DZ, dkk. Manifesto Kedaulatan Indonesia;Pokok-Pokok Pikiran Musyawarah Nasional Ke-5 IKA PMII (Jakarta:PB IKA PMII, 2013), 47.
[4] AS. Hikam, “PMII dan Civil Society”, dalam Muhaimin Iskandar (ed.), PMII dan Tanggung Jawab Kebangsaan (Jakarta:PB PMII, 1995), 47.

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost