This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Kamis, 11 September 2014
PMII, NU dan Kesadaran Terhadap Masa Depan Jam'iyyah 3
03.20
Anang Romli, M.Pd.
No comments
Oleh Dr. Abdul Chalik[1]
Pengantar
Artikel ini sengaja saya tulis setelah perhelatan Pilgub
Jawa Timur 2013 dan menjelang rencana Reuni Akbar Alumni PMII Gresik
yang akan dihelat oleh IKA PMII sebagai bahan refleksi semua pihak yang
mengaku dirinya sebagai anggota PMII dan penerus perjuangan Hadratus
Syeikh Hasim Asy’ari. Tulisan ini sebagai bagian dari renungan saya
ketika mencermati Pilgub Jatim dan saya diundang dibeberapa forum publik
terkait dengan kepentingan dimaksud. Ketika saya tampil di TV,
pertanyaan nakal selalu muncul dari pemirsa tentang tampilnya dua sosok
tokoh utama NU, Gus Ipul dan Mbak Khofifah. Pertanyaan kritis itu
seputar, mangapa kedua tokoh tersebut tidak disatukan saja, alangkah
indahnya bagi NU jika hal tersebut dapat dilakukan, dan jamaah tidak
dibiarkan kebingungan?
Tentu saja, apabila ada pertanyaan seperti saya jawab
dengan dengan argumen umum yang rasional, bahkan siapapun yang menjadi
WNI punya kesempatan yang sama untuk mencalonkan sebagai pemimpin,
termasuk Gubernur. Meskipun dalam hati kecil saya juga merasakan dan
mempersoalakan hal yang sama.
Dalam konteks persaingan itu, saya teringat pada dinamika
yang terjadi di PMII dan para alumninya. Bahwa saat ini para alumni
sudah menyebar di mana-mana, di semua segmen kehidupan tak terkecuali
dalam ranah politik. Akibat dari sebaran tersebut, hubungan antar alumni
begitu dinamis dan bahkan tidak jarang terjadi friksi dan konflik.
Semua itu terjadi akibat dari dinamika dan sebaran kader yang berada di
berbagai lapisan.
Saya menyadari bahwa dinamika PMII dan alumninya
merupakan miniatur NU yang sesungguhnya, baik hari ini maupun yang akan
datang, karena hampir semua petinggi NU yang berlatar belakang Perguruan
Tinggi terutama PTAI adalah alumni PMII. Karenanya tidak salah kalau
mau ngeramut NU di masa yang akan datang salah satunya harus dimulai
dengan ngeramut PMII, begitu pula para alumninya yang tergabung dalam
IKA PMII.
PMII dan Tanggung Jawab Sejarah
Sebagai organisasi kemahasiswaan yang tak
terpisahkan dari NU (meskipun independen). PMII lahir dari amanat
Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, Yogyakarta, 14-17 Maret 1960. Konbes
kala itu menetapkan untuk membentuk sebuah organisasi mahasiswa yang
secara administratif dan strukural terpisah dari IPNU. Dibentuklah
panitia sponsor untuk melaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyyin
se-Indonesia yang beranggotakan 13 orang. Setelah melaksanakan
musyawarah mahasiswa nahdliyin pada tanggal 14-16 April 1960 yang
berlangsung di TPP Khadijah, maka pada tanggal 17 April 1960, PMII
dideklarasikan di Balai Pemuda dalam sebuah resepsi yang mendapatkan
respon dari publik kala itu.
Musyawarah waktu itu memutuskan pembentukan tiga
orang formatur, yaitu Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, Chalid
Mawardi sebagai Ketua satu dan Said Budairy sekretaris. Mahbub Djunaidi
menjadi Ketua Umum PMII dua periode, dari tahun 1960-1967. Disamping
sebagai Ketua Umum, Mahbub juga dikenal sebagai pencipta mars, sementara
lambang PMII diciptakan oleh Said Budairy.[2]
Tokoh-tokoh PMII itulah yang kemudian banyak
mengisi posisi penting dalam struktur NU, baik ketika masih menjadi
partai, bergabung dengan PPP maupun ketika secara tegas terpisah dari
partai politik sejak Muktamar 27 di Situbondo tahaun 1984, hingga pada
saat PBNU menfasilitasi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun
1998. Sejak munculnya PMII tahun 1960an, pos strategis dalam struktur NU
selalu diisi oleh kader dan alumni PMII, baik pada tingkat Pengurus
Besar, Wilayah, dan Cabang.
Alumni PMII kini bertebaran dimana-mana, baik
dijalur formal maupun non-formal, dijalur politik, birokrasi, pengusaha,
profesional, wartawan, militer dan LSM tidak luput dari jangkauan
alumni PMII. Nama-nama besar seperti Hamzah Haz (mantan Wapres),
Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI), Slamet Effendy Yusuf, Ahmad
Bagja, KH. Hasyim Muzadi, Surya Dharma Ali, Khofifah Indar Parawansa
adalah nama-nama mantan pimpinan PMII. Sementara ditingkat regional
Jatim dengan sangat mudah kita menemukan alumni yang menjadi pimpinan,
baik pada partai politik, Bupati/Wali Kota, DPRD, pengusaha, dan
professional. Di level regional Gresik, sejak era reformasi Gresik
dipimpin oleh alumni PMII, yakni Dr. KH. Robbach Ma’shum, MM (Bupati
Gresik 2 periode) dan Drs. H. Muh. Qosim, M.Si (Wakil Bupati Gresik
2010-2015). Sebagai wadah bagi pada alumni yang sudah lepas dari
struktur PMII maka didirikanlah apa yang kemudian disebut dengan Ikatan
Alumni PMII (IKA PMII).
PMII lahir dari semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan
nurani dan kamakmuran Indonesia melalui pendekatan Islam Ahlussunnah
Waljamaah. Misi ini selalu dikumandangkan dan diagung-agungkan oleh PMII
disetiap forum apapun terutama acara pengkaderan. Gema kemerdekaan
nurani melalui tradisi berfikir kritis serta semangat kebangsaan yang
kuat untuk mempertahakan NKRI seolah tak terpisahkan dari PMII.
Tanggung jawab kebangsaan dan keislaman itu
merupakan ruh perjuangan PMII yang selalu digelorakan pada tiap
generasi. Saya ingin mengutip salah satu sikap dan rekomendasi Munas IKA
PMII Ke-3 pada Awal Juli 2013 kemarin :
“Melihat realitas kehidupan kenegaraan saat ini, dan atas
dasar keberadaan PMII sebagai organisasi yang secara historis dan
kultural lahir dan menjadi bagian dari NU yang turut terlibat dalam
mendirikan NKRI, para alumninya yang tergabung dalam IKA PMII merasa
berkewajiban untuk terus mendarmakan ilmu dan baktinya dalam menjaga
keutuhan dan keberlanjutan negeri ini. IKA PMII memandang bahwa realitas
kehidupan kenegaraan Indonesia sekarang ini sudah banyak yang tidak
sesuai dengan semangat dan tujuan awal berdirinya Negara Indonesia
sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945”.[3]
Narasi di atas merupakan gambaran bahwa ruh
perjuangan PMII, kader dan alumninya terus hidup untuk kepentingan
bangsa dan terutama umat Islam. Narasi di atas merupakan refleksi
terhadap keadaan bangsa yang secara terus menerus dilanda berbagai
persoalan untuk bisa mencapai pada kemerdekaan nurani dan kesejahteraan
yang hakiki. PMII lahir dan berada pada titik-titik simpul itu untuk
terus berjuang, memberikan saran dan masukan konstruktif serta ikut
ambil bagian dalam perumusan kebijakan.
Sikap dan pandangan PMII yang demikian itu
karena panggilan keadaan, panggilan sejarah dan panggilan untuk mengabdi
kepada nusa dan bangsa. Maka setiap titik dan momen yang bersinggungan
dengan urusan kebangsaan, disitulah PMII hadir dan menggemakan semangat
perjuangan.
Salah satu cara PMII yang manjadi tradisi turun
temurun adalah sikap kritis terhadap kelompok dominan (baca:pemerintah)
sebagai bentuk balance of power atas munculnya disorientasi pembangunan.
Dalam era manapun dan siapapun pemimpinnya, PMII selalu menghadirkan
sikap kritis. Sikap kritis ini sering difahami inferior oleh kelompok
dominan, terutama yang merasa kekuasaannya terganggu oleh cara pandang
PMII yang spontan, sulit ditebak dan terkesan reaksioner. Namun
sesungguhnya, sikap kritis tersebut merupakan bagian rasa tanggung jawab
besar terhadap kesinambungan pembangunan, terhadap ruang sosial yang
selama ini sering diabaikan oleh kelompok manapun.
Tentang sikap kritis ini, Mohammad AS Hikam menganggapnya sebagai respon atas dinamika ekternal di luar PMII:
“Hanya sedikit organisasi masyarakat sipil yang memiliki
kepedulian terhadap masa depan bangsa dengan cara-cara tersendiri yang
kritis tetapi konstruktif. Satu diantaranya adalah PMII. Namun PMII
hanya menjadi reactor, bukan actor. Aktor diambil alih oleh organ lain
karena PMII tidak mampu menangkapnya secara cepat”.[4]
Apapun yang dilakukan PMII sesungguhnya
merupakan bentuk kepedualian dan tanggung jawab besar terhadap bangsa
ini yang dikemas dengan cara-cara PMII yang kritis namun konstruktif.
Sejarah mencatat tentang peran-peran itu sebagai bentuk sense of social
responsibility yang tinggi terhadap masa depan bangsa. Ciri mendasar
yang membedakan dengan organisasi di bawah NU adalah sikap responsif dan
kritis tersebut.
Seolah ingin menggambarkan perbedaan secara tegas
misalnya dengan IPNU/IPPNU yang identik dengan kemampuan untuk
memperkuat basis tradisi keagamaan melalui internalisasi dalam
organisasi kepemudaan NU, Ansor yang identik dengan prilaku tegas
apabila terjadi peristiwa emergency di sekitar, Fatayat dan Muslimat
yang concern dengan penguatan dan pembinaan keluarga sakinah, Maarif
dengan pendidikan keAswajaannya, nah sementara PMII dengan cara pandang
yang lebih terbuka ingin memikirkan hal-hal yang lebih besar dan luar,
terutama tentang tanggung jawab sosial dan politik menurut sudut pandang
dan cara PMII.
Membangun PMII berarti Membangun NU ke Depan
Di bagian awal tulisan ini sudah saya gambarkan
tentang banyaknya tokoh-tokoh ternama NU berlatar belakang PMII, dengan
tidak mengenyampingkan peran mereka pada organ yang lain. Artinya PMII
merupakan bridging bagi kaderisasi tokoh-tokoh NU kini dan di masa yang
akan datang.
Dalam sejarah eksistensi PMII di Perguruan Tinggi hampir
tidak menemukan kader selain NU yang masuk PMII. Artinya kader PMII 100%
adalah putera-puteri warga NU, atau yang amaliahnya sama dengan NU.
Ketika mereka masuk menjadi warga PMII, materi-materi utama diskusi di
seputar keNUan, ideologi, peran dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Demikian pula ketika masuk dalam jenjang pengkaderan
formal, seperti Mapaba (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan
Kader Dasar) maupun PKL (Pelatihan Kader Lanjutan) dimana isu dan
materi-materi diskusi di seputar masalah keNUan.
Latar belakang warga PMII sebagian besar adalah lulusan
pesantren atau madrasah. Tradisi pesantren sangat melekat pada warga
PMII, tradisi itu pula mengendap dalam budaya dan prilaku sosial mereka
Di manapun mereka berproses, identifikasi budaya dan latar sosial dengan
sangat jelas tampak dalam prilaku sosial maupun organisasi. Seperti
kata pepatah, ‘air cucuran jatuhnya ke pelimpahan juga’. Maka tradisi
sarungan, kopyah, tahlil dan yasinan adalah di antara ciri sosial yang
kasat mata dimanapun mereka berada.
Pasca lulus dari PMII (baca;pasca struktural) mereka
sebagian berkhidmah pada organisasi NU atau yang masih berhubungan
dengan urusan NU. Mereka menjadi pengurus Cabang, Wilayah maupun
Pengurus Besar di semua lapisan pangurus, namun tidak sedikit yang masuk
ke dunia professional. Tradisi dan latar belakang sosial sangat
melekat di manapun warga PMII dan alumniya berkiprah. Sebutan NU
struktural dan kultural sudah menjadi lazim di mana identitas keNUan itu
terus dibawa kemanapun dan dalam profesi apapun.
Melihat realitas di atas, sesunggunya salah satu
aset terbesar NU berada di PMII. Organisasi ini secara cerdas dan
terbuka terus berfikir dan bergerak untuk masa depan organisasi, baik
dalam arti inworld looking (mengembangkan tradisi dan khazanah
intelektual) maupun outworld looking (mengembangkan cara berfikir
progresif, prospektif dengan menjaga keseimbangan peran dalam kehidupan
masyarakat). Peran-peran tersebut secara terencana dilakukan oleh PMII
dengan segala cara, model, dan peran-pertan strategis yang dimainkannya.
Adalah PMII pula yang secara sadar dan terencana membangun basis
intelektual yang tetap teguh mempertahakan tradisi dari guncangan dan
serangan kalompok manapun yang berusaha menegasikan peran dan kontribusi
ulama’ terdahulu yang dianggap bid’ah, khurafat dan jauh dari ajaran
Nabi SAW.
Salah satu tantangan NU ke depan, di samping
membangun kapasitas warganya agar terus bisa bersaing dan berkiprah
secaraa luas dalam kehidupan masyarakat, juga dihadapkan oleh tantangan
internal berupa sikap dan prilaku ofensif kelompok-kelompok tertentu
dalam mereduksi ajaran-ajaran luhur salafus salih yang dianggap
bertentangan dengan Islam genuine ajaran utama Nabi SAW. Tantangan
seperti ini bukanlah sederhana, karena dilakukan secara terencana dan
massif melalui organisasi formal dan bahkan politik untuk terus
menggerus keyakinan warga NU. Akibat dari tantangan ini, warna NU terus
terganggu, tidak sedikit di antara mereka yang beradu fisik.
PMII sebagai organisasi intelektual berada pada
garda terdepan dalam mengawal tradisi terutama ketika mendapatkan
serangan dari berbagai pihak. PMII memiliki asset intelektual yang
memadai dan asset keberanian yang kuat dalam mengimbangi tekanan dari
luar, terutama ketika ajaran-ajaran luhur itu secara sengaja dinegasikan
sebagai hal yang bid’ah dan bukan ajaran sunnah.
Melihat realitas di atas, banyak tantangan yang
harus dihadapi secara arif dan difikirkan secara terus menerus. Dalam
konteks ini, PMII sesungguhnya asset terbesar NU dalam membangun
jamiyyah di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat pada latar
belakang historis dan peran-peran social nyata meraka dalam kehidupan
berjamiyyah. Tanpa PMII, NU akan kehilangan asset terbesarnya.
Penutup
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh NU dan PMII
adalah ketidakmampuan dalam mengelola perbedaan dan dinamika internal
warganya. Sering kali dipahami bahwa perbedaan dalam perebutan ruang
sosial dan ruang politik merupakan tujuan akhir berNU dan berPMII. Dalam
perebutan ruang sering kali mengabaikan bahwa kita adalah sama-sama
berjuang untuk penegakan ajaran Ahlussunnah waljamaah, penerus ajaran
salafus salih, dan sama-sama berfikir untuk kejayaan jam'iyyah.
Perebutan ruang-ruang itu harus dipahami sebagai
sunnatullah dan ‘game’ yang manjadi hak setiap orang dan tidak harus
mengorbankan ukhuwwah islamiyah sesama penerus ajarah salafus salih.
Semoga kita termasuk generasi yang bisa menerima perbedaan.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwam al-thariq
Gresik, 22 September 2013
---------------------
[1] Ketua IKA PMII Gresik periode 2010-2014. Aktif di
PMII sebagai pangurus di semua tingkatan dari tahun 1991 s/d 1999.
Artikel ini disampaikan pada acara Halal bi Halal dan Reuni Akbar IKA
PMII Gresik, Gedung PCNU Gresik, 22 September 2013.
[2] H. Soelaiman Fadeli, M. Subhan, Antologi NU;Sejarah istilah Amaliah Uswah (Surabaya:Khalista-LTN, 2010), 97.
[3] Abdul Mun’in DZ, dkk. Manifesto Kedaulatan
Indonesia;Pokok-Pokok Pikiran Musyawarah Nasional Ke-5 IKA PMII
(Jakarta:PB IKA PMII, 2013), 47.
[4] AS. Hikam, “PMII dan Civil Society”, dalam Muhaimin
Iskandar (ed.), PMII dan Tanggung Jawab Kebangsaan (Jakarta:PB PMII,
1995), 47.
Diberdayakan oleh Blogger.