Aktor politik, sipil dan militer, jelang transisi politik
dari Orde Lama ke Orde Baru pasti mengingat nama Subhan ZE. Tokoh politik dari Nahdlatul Ulama yang
sinarnya redup selepas kematian misterius akibat kecelakaan lalu lintas di
Riyadh, Arab Saudi tahun 1973. Beberapa saat sebelum kematiannya, ia memberikan
wawancara eksklusif koresponden AFP, Brian May, tentang jaringan bisnis
Soeharto yang ada di Singapura, Belanda, dan AS. Namanya kemudian diabadikan
sebagai nama sebuah jalan di Kudus, Jawa Tengah.
Beberapa hari pasca pembunuhan para Jenderal, dini hari 1
Oktober 1965, hampir seluruh Jakarta mencekam. Keadaan berbeda terjadi di
kediaman Subhan ZE Jl. Banyumas 4,
Menteng. Ramai oleh hingar-bingar para aktivis anti PKI. Berasal dari aktivis
ormas Islam, Kristen, dan Katolik. Mereka mengkonsolidir diri ke dalam Komando
Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu yang dipimpin oleh Subhan ZE (NU) dan Hary Tjan Silalahi
(PMKRI/Katolik). Sejak itu, Subhan melesat menjadi the rising star.
Ia menjadi tokoh sipil yang mampu menggerakan massa aksi
menuntut pembubaran PKI. Tokoh NU yang diterima oleh banyak pihak. Sulastomo
(mantan Ketua Umum PB HMI), dalam memoarnya, mengakui hal ini. Menurutnya Subhan
banyak memberikan pertimbangan dan
nasehat kepada PB HMI dan menjadikan rumahnya seperti markas kedua setelah
markas di Jl. Diponegoro sekaligus sebagai dapur umumnya.
Tidak hanya sipil, Subhan juga dekat dengan Angkatan Darat. Keberadaan
KAP Gestapu mendapat dukungan dari kelompok itu. Kedekatannya semata-mata
karena kepentingan yang sama. Membendung pengaruh komunisme. PKI melihat NU
sebagai lawan politik dan ideologi. Ketidaksukaan terhadap komunisme tidak
hanya ditunjukan di dalam negeri. Selaku Vice President dari Afro Asia Economic
Coorporation (Afrasec) tahun 1960-1962 ia pernah mengusir delegasi Rusia dari
persidangan di Mesir. Setibanya di tanah air dia ditahan.
Kedekatan Subhan dengan tentara retak lima tahun berikutnya.
Tahun 1966 Subhan diangkat sebagai Wakil Ketua MPRS. Dalam
posisinya, ia tetap konsisten mendesak pembubaran PKI dan meminta
‘pertanggungjawaban’ Soekarno sebagai Presiden. Soeharto yang diuntungkan dari
‘kecelakaan PKI’ dikukuhkan sebagai Presiden oleh MPRS tahun 1968.
Melawan Soeharto
Setelah pelantikan Soeharto, Subhan tidak berhenti menjadi seorang ‘pemberontak’.
Ia mencaci pola ‘redressing’ gaya Soeharto yang mengamputasi perangkat
demokrasi di dalam lembaga legislatif.
Kritik keras dia sampaikan dalam sebuah pidato sebagai wakil
ketua MPRS. Ia menuding kaidah-kaidah Orde Baru mulai kabur dan tidak lagi
menjadi landasan perjuangan bagi seluruh komponen Orde Baru. Ia juga menyatakan
bahwa “machinery” Orla sudah mendapat jalan melalui sel-sel koruptif, intrik,
dan konspirasi yang sudah merajalela.
Menurut Subhan , pemerintah harus segera mengingat kembali
kaidah-kaidah dasar perjuangan Orde Baru, yang intinya: 1) penegakan tata
kehidupan demokrasi; 2) penegakan tata kehidupan hukum dan keadilan dalam
kehidupan sehari-hari; 3) pengusahaan adanya pendemokrasian di dalam
pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi, dan; 4) penegakkan hak asasi manusia
(Choirul Anam, 1985).
Dengan lebih tajam, Ia mengkoreksi pemerintahan Soeharto
yang sengaja menunda penyelenggaraan pemilu 1968 menjadi 1973. Berkat
perlawanan gigihnya pemilu bisa berlangsung tahun 1971.
Jelang pemilu, konfrontasi terbuka Subhan dengan Soeharto semakin tidak terelakkan. Ia
mengkritik menteri dalam negeri waktu itu, Jenderal Amir Machmud, agar menjadi
wasit yang adil dan jangan main “bulldozer”. Lebih jauh ia menyesalkan
keluarnya Permendagri No 12/1969 yang melarang keterlibatan anggota departemen
(PNS) di dalam partai politik yang dinilai hanya menguntungkan Golkar. Ia
menyebut Permendagri tersebut tidak memenuhi syarat perundang-undangan dari
sudut formal karena bertentangan dengan UU No 18/1968. Dari sudut material,
hakekatnya materi tersebut diatur dalam undang-undang dan bukan Permen.
Kritik-kritik terhadap rezim baru juga dia sampaikan selama
masa kampanye. Dalam catatan Choirul Anam, penulis buku ‘Pertumbuhan dan
Perkembangan NU’, pidato politik Subhan saat berkampanye kerap mengumandangkan istilah
“jihad” untuk mengobarkan semangat politik umat Islam. Istilah “jihad” ini juga
kemudian digunakan oleh Soeharto dalam pidato tanpa teksnya saat meresmikan
pasar tekstil Klewer di Surakarta. Soeharto menyatakan bahwa setiap usaha
“jihad” yang selalu dikobar-kobarkan golongan tertentu akan dihadapi oleh
pemerintah dengan dengan semangat “jihad” pula. Komentar Soeharto di wilayah
publik ditujukan hanya kepada Subhan .
Berkat kerja keras Jusuf Hasyim, Syaifudin Zuhri, KH. A.
Syaichu, dan terutama Subhan ZE berhasil
menempatkan NU dalam dua besar Pemilu 1971. Persis di bawah Golkar. Menguasai
69,96 persen suara yang diperoleh partai-partai Islam. Itulah prestasi terbesar
NU dalam kapasitasnya sebagai partai politik.
Usai pemilu, ia bersama Nasution menulis Buku Putih yang
berisi Laporan Pimpinan MPRS 1966-1972. Belum sempat diedarkan secara luas,
buku itu disita dan dimusnahkan oleh Kopkamtib karena berisi sejumlah kecaman.
Sebagai salah seorang pemain inti Subhan memiliki musuh yang sangat kuat.Kritik-kritik
tajamnya kepada pemerintah dan popularitasnya yang terus meningkat semakin
menjadi ancaman rezim. Perilaku koruptif rezim jelas dia benci. Kebencian
itulah yang membuat dia mati muda di usia 42 tahun.
Kematian Subhan yang
misterius disejajarkan oleh George Junus Aditjondro dengan kematian Baharudin
Lopa, Udin ‘Bernas’, dan Agus Wirahadikusumah. Di matanya, mereka mati karena
memiliki keberanian membongkar perilaku koruptif.
Entah kebetulan atau tidak, jenderal Amir Mahmud sedang
berada di Arab Saudi pada waktu kematian Subhan . Hingga kini, kematiannya
tidak pernah diinvestigasi.
Dinamika Idham dan Subhan
Tidak diterimanya figur Subhan secara utuh di NU tidak lain karena gaya
hidupnya yang dianggap flamboyan. Berbeda dengan kebanyakan pimpinan NU yang
masih berperilaku tradisional-konservatif masa itu. Selain itu, sikap kritis Subhan
tidak hanya ditujukan ke luar tapi juga
ke dalam.
Menurut catatan Arief Mudatsir Mandan dalam tulisannya berjudul
‘Subhan ZE: Buku Menarik yang Belum
Selesai”, Subhan dibesarkan oleh
keluarga Islam-tradisionalis (santri) yang cukup mapan di Kudus. Di masa kecil
ia mendapatkan pendidikan modern di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan
terakhirnya hanya setingkat diploma dalam bidang ekonomi di University of
California. Sejak kecil ia sudah dilatih menjadi pengusaha. Ayah angkatnya, H.
Zaenuri Echsan, memberinya kepercayaan memimpin perusahaan rokok cap “Kucing”
di saat usianya baru menginjak 14 tahun. Pertengahan tahun 1950-an ia sudah
berhasil menjadi pengusaha yang meliputi usaha perdagangan, penerbangan, real
estate, dan keuangan. Pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang ekonomi
menjadikannya sebagai seorang dosen dan komentator ekonomi.
Umar Basalim, aktivis PMII dan mantan rektor Universitas
Nasional, mengatakan bahwa pada tahun 1965 Subhan sudah memperkenalkan konsep ekonomi
alternatif. Konsep itu juga yang membuat ekonom jebolan Barkeley, Widjojo
Nitisastro dan Ali Wardhana, kelabakan dalam sebuah diskusi yang digelar di
Universitas Indonesia awal 1966 (Prioritas, 42/2012).
Keberhasilan Subhan menjadi pengusaha membuat hidupnya berlimpah.
Menurut Greg Fealy, dalam bukunya ‘Ijtihad Politik Ulama’, Subhan memiliki rumah mewah di Jakarta dan Singapura,
serta beberapa villa. Ia menerbangkan sendiri pesawat pribadinya dan menyukai
mobil balap. Kegemarannya berdansa dengan wanita-wanita glamor membuat dia
dijuluki sebagai ‘Kennedy-nya Indonesia’ oleh teman-temannya.
Kegemaran itu pula yang akhirnya menjadi kurang diterima
oleh para kyai senior. Subhan gagal
menjadi Ketua Umum Tanfidziyah meski didukung oleh banyak kalangan di internal
NU. Diakomodasinya Subhan sebagai Ketua
I PBNU hanya bertahan sebulan setelah Muktamar ke-25/1971. Pada 21 Januari 1972
Subhan dibebastugaskan oleh Rais Aam
PBNU KH. Bishri Syansuri.
Di luar gaya hidupnya yang flamboyan, terdapat sejumlah
friksi antara Subhan dan kelompok Idham
Chalid yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU. Friksi yang sesungguhnya sudah
ada sejak era Orde Lama. Subhan tidak
terlalu menyukai strategi akomodasi yang diterapkan oleh PBNU. PBNU dinilainya
terlalu cepat menerima konsep dan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.
Hasilnya, PKI mempunyai pengaruh lebih di pemerintahan. Sementara Idham Chalid
mempunyai sikap politik yang luwes dan fleksibel. Friksi atas pandangan politik
ini terus berlanjut di masa awal Orde Baru.
Tulisan Choirul Anam menyebutkan bahwa isi pidato Subhan dalam berbagai kampanye pemilu 1971 yang kerap
mengkritik Orde Baru tidak direstui oleh Idham. Ia menyesalkan sikap Subhan melalui media massa cetak dan elektronik.
Meski pada akhirnya dipecat, Subhan tidak sendirian. Ia mendapat dukungan dari
banyak kyai. Kyai Machrus Aly (Kediri), Kyai Ali Ma’sum (Yogyakarta), Kyai
As’ad (Situbondo), Kyai Bisri Mustofa (Rembang), pengurus NU daerah, dan
anak-anak muda NU. Polemik Subhan -Idham terhenti otomatis saat Subhan wafat tanggal 21 Januari 1973 atau tepat satu
tahun setelah pemberhentiannya.
Bagi van Bruinessen, dalam kata pengantar buku’ NU Muda’,
selain Wahid Hasyim, Subhan ZE merupakan
figur NU paling menonjol yang kemudian di marjinalisasi dari sistem poltik.
Idham Chalid, dalam kelonggarannya berpolitik, dianggap lebih mewakili
pendirian kyai NU di banding keduanya.
Pulangnya Gus Dur dari studi awal 70-an membuat nama Subhan sebagai politisi NU serba bisa: jago ngaji,
penerbang, berdansa, dan berdagang berlahan tenggelam.
sumber: larasbumi.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar