This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Minggu, 03 Desember 2017
Khilafah, Sepanjang Jalan Sejarah
11.16
Anang Romli, M.Pd.
1 comment
Dalam sejarah Islam, Hizbut Tahrir
bukanlah satu-satunya partai, ormas, atau kelompok Muslim yang menggagas dan
mengembangkan ide dan konsep khilafah (caliphate).
Ada banyak individu dan kelompok
keislaman, sejak masa klasik hingga dewasa ini, yang membincangkan tentang
khilafah ini. Hanya masing-masing pihak memiliki pandangan berlainan tentang
khilafah ini.
Hugh Kennedy, seorang profesor
Bahasa Arab dan ahli kajian sejarah Islam klasik di School of Oriental and
African Studies, University of London, pernah menulis dalam bukunya Caliphate:
The History of an Idea, sebagai berikut: "The concept of caliphate has had
many different interpretations and realizations through the centuries, but
fundamental to them all is that it offers an idea of leadership which is about
the just ordering of Muslim society according to the will of God."
Seperti Kennedy jelaskan, karena
diinisiasi oleh banyak ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran,
khususnya Sunni dan Syiah, gagasan dan konsep khilafah dalam implementasinya
memiliki banyak tafsir dan pendapat yang berbeda-beda.
Bukan hanya tentang ide khilafah
itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana mekanisme sistem politik
kekhilafahan serta proses pemilihan seorang khalifah (caliph) sebagai pemimpin
atau pemegang otoritas tertinggi, dalam sistem pemerintahan khilafah.
Bagi Sunni pada umumnya, seorang
khalifah yang secara kebahasaan berarti "pengganti, pelayan, atau
wakil" harus dipilih oleh komunitas Muslim melalui sebuah proses
politik-budaya tertentu (baik dipilih secara kolektif melalui forum musyawarah
yang melibatkan banyak pihak, maupun melalui diskusi terbatas orang-orang
tertentu yang dipandang memiliki otoritas politik-keagamaan).
Meskipun dalam praktiknya juga
sering tidak konsisten karena banyak "rezim khilafah" Sunni yang
kemudian mengadopsi sistem monarki, terutama sejak Kekhilafahan Umayyah di mana
seorang khalifah berikutnya bukan dipilih oleh publik Muslim maupun
representasi mereka, melainkan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.
Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan
(Muawiyah I, 602-680 M.), pendiri Dinasti Umayah sekaligus memproklamirkan diri
sebagai khalifah, berturut-turut seorang khalifah ditunjuk dari keluarga dekat
khalifah pendahulu.
Sementara itu, bagi kelompok
Syiah, seorang khalifah harus seorang "imam yang ma'sum" (bebas dari
maksiat), yang dipilih langsung oleh Tuhan dari keturunan keluarga Nabi
Muhammad (Ahlul Bait).
Dalam konteks sejarah Islam,
khilafah adalah sebuah polity atau semacam "entitas politik" yang
kemudian berkembang menjadi berbagai imperium yang bersifat multietnis dan
transnasional.
Pada Abad Pertengahan Islam, ada
tiga pemerintahan khilafah: Rasyidun (632-661), Umayyah (661-750), dan
Abbasiyah (750-1258). Kemudian Turki Usmani (Ottoman) juga mengklaim sebagai
Khilafah Islam setelah menaklukkan Dinasti Mamluk (berpusat di Mesir) pada
1517.
Bukan itu saja, dalam sejarah
politik Islam, ada sejumlah rezim politik-pemerintahan lain yang mengklaim
sebagai khilafah.
Sebut saja Fatimiyah di Afrika
timur/utara (rezim Syiah Ismaili, 909-1171), Umayyah II di Semenanjung Iberia
di Eropa (929-1031), Al-Muwahhidun (rezim Muslim Berber di Maroko, 1121-1269;
didirikan oleh Abd al-Mu'min), dan Sokoto di Afrika Barat (1804-1903).
Sokoto adalah kekhilafahan Islam
yang didirikan oleh Syaikh Usman bin Fodio, seorang sarjana Islam dan dai
ternama, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Hausa di Nigeria (dan juga
Kamerun) dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Fulani.
Kekhilafahan Sokoto ini kelak
dihapus oleh Inggris pada 1903. Sementara itu, sistem kekhilafahan Turki Usmani
dihapus oleh Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Negara Turki modern, pada 1924
menyusul kehancuran Turki Usmani pada Perang Dunia I.
Oleh sejumlah kelompok Islamis
radikal, pada 1924 itulah yang dijadikan sebagai "tahun wafatnya"
sistem khilafah. Sebetulnya, ketika Perang Dunia I meletus, ada sejumlah
kelompok yang berusaha menyelamatkan sistem khilafah sekaligus untuk
mempertahankan kekhilafahan Turki Usmani.
Misalnya, Gerakan Khilafah oleh
sejumlah pemimpin Muslim di India pada 1920-an untuk melawan Inggris. Penggerak
khilafah ini antara lain adalah Mohammad Ali Jouhar dan Maulana Abul Kalam
Azad. Konon, Mohandas Gandhi juga mendukung gerakan ini dengan duduk sebagai
anggota di Central Khilafat Committee.
Namun, gerakan khilafah ini gagal
total dan hancur berantakan setelah penangkapan sejumlah pemimpin dan
pentolannya oleh pemerintah kolonial Inggris.
Meskipun Mustafa Kemal Ataturk
menghapus secara resmi sistem khilafah pada 1924, ide-ide pendirian (kembali)
sistem khilafah masih bermunculan di sejumlah tempat.
Di Hijaz (kini wilayah Saudi),
Syarif Hussein pernah mendeklarasikan "Khilafah Syarifiyah" pada
1924. Tetapi sayang umur "Khilafah Syarifiyah" ini tidak panjang
karena beberapa tahun kemudian Hijaz ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz Al Saud,
pendiri Kerajaan Arab Saudi modern.
Bukan hanya di kalangan Sunni dan
Syiah saja diskursus tentang khilafah ini berkembang. Ahmadiyah, sebuah gerakan
revivalis Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, pada
1889 juga mengklaim tentang sistem kekhilafahan ini.
Setelah kematian Mirza Ghulam
Ahmad yang mengklaim sebagai Mesias atau Imam Mahdi pada 1908, penggantinya,
Hakim Nuruddin, memproklamirkan diri sebagai "Khalifah Ahmadiyah"
dengan julukan "Khalifah al-Masih" (yakni pengganti, pelayan, atau
wakil dari Sang Mesias, yaitu Mirza Ghulam Ahmad).
Bagi kalangan Ahmadiyah, Khilafah
Ahmadiyah adalah sebuah bentuk pendirian kembali atau kelanjutan dari sistem
"Khilafah Rasyidun" (al-Khulafa al-Rasyidun), yang didirikan oleh
para sahabat Nabi Muhammad.
Ide pengguliran pendirian khilafah
ini terus bergulir dan digulirkan oleh sejumlah tokoh dan faksi Islam.
Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan
al-Banna (1906-1949), seperti ditulis oleh Oliver Roy dalam Failure of
Islamism, juga pernah menginisiasi untuk merestorasi sistem khilafah. Ikhwanul
Muslim (berdiri di Mesir pada 1928) adalah sebuah kelompok Islamis yang
mengadvokasi gagasan Pan-Islamisme dan implemntasi Syariat Islam.
Di kemudian hari, kelompok
Ikhwanul Muslimin mengalami proses radikalisasi ekstrem setelah sejumlah
ideolog dan pentolan organisasi ini seperti Sayyid Qutub dan adiknya Muhammad
Qutub, mendapatkan perlakuan buruk dari rezim sekuler Mesir.
Penting dicatat bahwa pendirian
Ikhwanul Muslimin dilatari oleh kebangkrutan sistem Khilafah Turki Usmani di
satu sisi, serta kolonialisme Eropa di kawasan Muslim Arab di pihak lain.
Karena itu, wajar jika Hasan
al-Banna ingin menghidupkan kembali sistem khilafah setelah Mustafa Kemal
memberangusnya.
Kelak, pada 1953, Taqiyuddin
al-Nabhani, yang juga merupakan kader Ikhwanul Muslimin, mendirikan Hizbut
Tahrir di Yarusalem setelah menyaksikan pendirian Negara Israel modern serta
kekalahan Bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1948, yang berdampak pada
pendudukan Palestina oleh Bangsa Israel.
Salah satu tujuan utama Hizbut
Tahrir, tentu saja pendirian sistem khilafah yang dipandang mampu menjadi
penyelamat kebangkrutan politik umat Islam.
Selain Ikhwanul Muslimin dan Hizbut
Tahrir, sejumlah kelompok radikal-Islamis-revivalis seperti Al-Qaidah, Jamaah
Islamiyah, Abu Sayyaf Group, Boko Haram, Ansar al-Sharia, Jabhat al-Nusra,
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dsb juga menggemakan gagasan restorasi
sistem khilafah ini.
Ada banyak sarjana yang mengulas
tentang sejarah dan perkembangan konsep khilafah dan siapa saja para
pendukungnya seperti Hugh Kennedy, Tom Kratman, Mona Hassan, William Muir, dsb.
Meskipun berbagai kelompok di atas
menggaungkan ide khilafah, tetapi masing-masing memiliki pandangan, metode,
pendekatan, taktik, motivasi, dan tujuan yang berbeda.
Ada yang memandang khilafah
sebagai gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara,
ada pula yang berskala lokal atau regional. Ada yang memandang khilafah sebagai
gerakan politik tanpa kekerasan.
Tetapi ada juga kelompok Islamis
yang bersikeras mewujudkan khilafah dengan cara-cara apapun, termasuk
kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.
Menariknya, meskipun mereka
sama-sama menyerukan restorasi dan pendirian (kembali) sistem khilafah, tetapi
antar-mereka juga terlibat konflik akut dan saling serang dan memerangi satu
sama lain seperti perseteruan antara ISIS dan Jabhat al-Nusrah atau ISIS versus
al-Qaidah.
Ada banyak faktor, baik ideologis
maupun politis, yang menyebabkan mereka saling seteru. Kelompok Hizbut Tahrir
juga digempur di mana-mana oleh berbagai kelompok Islamis-radikal.
Ini menunjukkan bahwa kelompok
Islam pengusung khilafah ini, jauh dari kata tunggal dan monolitik seperti yang
dibayangkan oleh banyak orang.
Apapun perbedaannya, yang jelas
ide khilafah memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks.
Berbeda dengan masa klasik dan
abad pertengahan, kemunculan kembali gagasan khilafah di era kontemporer karena
tidak lepas dari berbagai situasi sosial-politik-ekonomi-budaya yang menimpa
kaum Muslim, dan dipandang tidak menguntungkan mereka.
Keterpurukan, kemunduran,
keterbelakangan, kekalahan, dan situasi-kondisi carut-marut lain yang menimpa
kaum Muslim itulah yang membuat sejumlah kelompok Islam berandai-andai untuk
membangkitkan kembali sistem khilafah, yang oleh mereka dianggap sebagai "sistem
politik alternatif" atau "obat mujarab" yang mampu menyembuhkan
luka menganga dan duka-lara umat Islam.
Tetapi mereka lupa bahwa sistem
khilafah pun, jika mengacu pada sejarah Islam, jauh dari sempurna. Kejahatan,
keburukan, kekejaman, kekerasan, dan penindasan juga terjadi di era
kekhilafahan Islam.
Memang, sistem politik apapun,
baik relijius maupun sekuler, bukanlah sebuah jaminan bagi terwujudnya sebuah
masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa.
Semua memang tergantung pada
kualitas individu pelaku yang menggerakkan sistem politik-pemerintahan itu.
Bahkan ada ungkapan, sistem yang bobrok akan jauh lebih baik hasilnya jika
dipegang oleh orang yang baik.
Sebaliknya, sistem yang baik akan
berujung pada kebobrokan jika dikendalikan oleh orang-orang jahat. Masihkah
bermimpi dengan sistem khilafah? Wallahu 'alam bi shawwab.
Sumato al-Qurtuby dicopas dari : http://news.liputan6.com/read/3018050/khilafah-sepanjang-jalan-sejarah
MENJAGA AGAR REKRUITMEN CPNS KEMENAG BEBAS KKN
10.54
Anang Romli, M.Pd.
No comments
Saya tentu bersyukur bahwa rekruitmen CPNS kita tahun ini berjalan
lancar. Dengan menggunakan metode Computer Assested Test (CAT) sangat
memunginkan ketiadaan KKN di dalam menentukan kelulusan uji kompetensi
tertulis. Meskipun masih ada yang meragukan tentang keakuratan dan ketepatan
alat ukur ini, akan tetapi saya menjamin bahwa dengan CAT yang mengembangkan
transparansi dan akuntabilitas, maka pelaksanaan CAT dan hasil yang dipublish
pasti sesuai dengan tingkat kelulusannya.
Saya bersyukur bahwa penyelenggaraan test CPNS di Kemenag
sudah memenuhi syarat yang distandarisasi oleh Kemenpan & RB. Sungguh kita
sudah melakukan semua hal yang terkait dengan upaya membangun rekruitmen CPNS
yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tanpa sedikitpun ada upaya
untuk melakukan perubahan score untuk meluluskan orang yang diinginkan. Semua
berjalan sesuai dengan prosedur tetap dan standart baku yang sudah disepakati
sebelumnya.
Kita sudah melalui proses awal test kompetensi yang meliputi
Test Inteligensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan Tes Karakteristik
Pribadi (TKP). Tes ini mutlak diselenggarakan oleh Kemenpan & RB dan
hasilnya langsung diketahui saat itu juga. Sungguh sangat transparan dan tidak
ada sedikitpun yang bisa dimanipulasi. Saya tahu, sebab ada salah seorang
kolega yang bisa mencatat masing-masing score yang diperoleh calon PNS dan
berapa rangking yang bersangkutan. Jadi kalau ada penyimpangan dipastikan akan
bisa diketahui. Kita sudah melewati tahap pertama dengan tanpa ada sedikitpun
cacat di dalamnya. Saya menjamin bahwa yang lulus tahap uji kompetensi,
pastilah yang sesungguhnya memang lulus. Bukan direkayasa atau dimanipulasi.
Sekarang kita memasuki test kemampuan bidang atau disebut
sebagai Seleksi Kemampuan Bidang (SKB). Beberapa saat yang lalu muncul berita
di media bahwa satu aspek yang krusial dan memungkinkan terjadinya KKN ialah
test wawancara atau SKB ini. Pemikiran seperti ini sesungguhnya berawal dari
keraguan apakah kita bisa menjalankan amanat untuk rekruitmen CPNS dengan adil,
dan bertanggungjawab. Pantaslah keraguan itu muncul, sebab bangsa ini memang
sedang berada di titik terendah dalam hal menjaga kejujuran. Ada banyak
korupsi, kolusi dan nepotisme yang terus dipelihara dan bahkan dikembangkan
dengan cara-cara yang makin canggih. Kita sedang berada di dalam situasi
bernegara dan berbangsa yang carut marut karena perilaku koruptif.
Makanya, sekaranglah saatnya, kita harus membuktikan bahwa
di dalam rekruitmen CPNS, maka kejujuran menjadi taruhannya. Kita harus
membuktikan kepada public bahwa sesungguhnya masih ada harapan untuk melakukan
yang terbaik bagi bangsa ini. Kita harus meyakinkan bahwa para penyelenggara
negara ini masih memiliki kejernihan hati dan integritas yang tentu diharapkan
oleh masyarakat kita.
Hari Rabu, 22/11/2017, saya mendapatkan kesempatan untuk
memonitor pelaksanaan wawancara yang dilakukan di UIN Sumatera Utara. Seluruh
pejabat terkait memang diterjunkan untuk memantau terhadap pelaksanaan
wawancara itu. Kemenag sudah mengantisipasi terhadap penyelenggaraan wawancara
yang bebas dari KKN. Maka selain ada petugas yang menunggui pelaksanaan
wawancara di seluruh titik diselenggarakannya wawancara untuk Seleksi
Kompetensi Bidang, maka juga ditempatkan pada seluruh titik tersebut seorang
petugas dari inspektorat jenderal Kemenag. Pak Pramono dari inspektorat investigasi
Kemenag yang hadir di Medan.
Para auditor memang sengaja dilibatkan di dalam pelaksanaan
wawancara sebagai salah satu upaya untuk menjaga terhadap ketiadaan peluang
terjadinya penyelewengan dari para pewawancara. Namun demikian saya yakin bahwa
para professor dan doctor serta dosen yang diminta untuk menjadi pewawancara
adalah orang-orang yang sudah teruji integritasnya. Mereka adalah para dosen
senior yang selama ini sangat dikenal sebagai orang yang sangat dihormati dan
berjiwa besar. Mereka memiliki integritas yang tidak diragukan.
Dengan menyertakan para auditor dari itjen, tentu akan
menambah kekuatan para penguji untuk berbuat yang terbaik bagi PTKN. Para dosen
yang diamanahkan untuk menguji juga merasa mendapatkan kepercayaan dari negara
untuk berbuat baik dan membuktian bahwa rekruitmen CPNS harus dijaga
kewibawaannya dan kejujurannya.
Mereka telah dibekali dengan seperangkat instrument untuk
menjaring tidak hanya kemampuan mengajarnya, melalui penyajian bahan ajar mata
kuliah, akan tetapi juga diuji integritas dan rekam jejaknya. Melalui uji rekam
jejak, maka akan diketahui siapa calon CPNS tersebut. Hal ini telah dimandatkan
dalam pertemuan rector PTKN dan juga tim penyusun instrument beberapa saat yang
lalu. Rekam jejak dianggap sangat penting agar kita bisa menghasilkan CPNS yang
memiliki komitmen terhadap kenegaraan dan kebangsaan.
Jika da calon CPNS yang tidak loyal kepada Pancasila, UUD
1945, dan NKRI serta Keberagaman, maka pewawancara akan bisa mempunishnya.
Selain itu, tim rekruitmen CPNS kemenag juga bisa melakukan uji rekam jejak
sesuai dengan prosedur dan cara-cara yang benar.
Kita berharap agar pelaksanaan wawancara dalam SKB akan
menjadi barometer bagi kemenag, bahwa kejujuran itu masih ada. Dan yang kita
lakukan semuanya memiliki tanggungjawab tidak hanya di dunia tetapi juga di
akherat kelak.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Prof. Dr. Nur Syam, MA.
Prof. Dr. Nur Syam, MA.
Copas dari http://nursyam.uinsby.ac.id/
Apa Arti Kafir?
00.30
Anang Romli, M.Pd.
No comments
Kafir adalah istilah keagamaan (Islam) dalam bahasa Arab, yang secara harfiah berarti “(orang) yang menutup diri”. Bentuk noun-nya adalah “kufur” yang berarti “penyangkalan atau pengingkaran”. Secara istilah (terminologis), “Kafir” berarti “orang yang menutup atau menyangkal atau mengingkari “Kebenaran” (dengan K besar yang berarti Tuhan), sekaligus menutupi atau mengingkari bukti-bukti tentang adanya Kebenaran Tuhan.
Inilah karena dalam keyakinan umat beragama, semua
agama, tidak ada kebenaran yang lebih
mutlak, absolut dan tidak terbantahkan selain “Tuhan” itu sendiri. Bagi umat
beragama, Tuhan diyakini bukan hanya sebagai Kebenaran, tapi sekaligus sumber
dan rujukan dari semua “kebenaran”.
Karena itu lazim dikatakan bahwa penyangkal Kebenaran (dengan K besar
yang berarti Tuhan), disebut si Kafir, si Penyangkal.
Dalam perkembangan sejarahnya, istilah “Kafir” dapat dibedakan menjadi dua
tingkatan: kafir mutlak/ absolut dan kafir nisbi/ relatif. Kafir absolut adalah
orang yang sama sekali tidak percaya pada adanya “Tuhan” sebagai Pencipta
segala yang ada, sekaligus sebagai yang maha mengatur jagat raya dan seisinya. Bagi mereka, alam dan jagat
seisinya, termasuk dirinya sendiri, menjadi ada bukan karena (diciptakan)
Tuhan, melainkan meng”ada” dengan dirinya sendiri, atau mengada secara alami.
Dalam istilah filsafat, orang yang seperti ini dikenal dengan sebutan
“atheist”, orang yang menyangkal adanya Tuhan.
Di samping Kafir absolut (atheis) ada yang disebut “Kafir
Relatif/ Nisbi”. Yakni orang yang percaya kepada Tuhan sebagai Pencipta alam
semesta, tapi dengan konsep “ketuhanan dan keagamaan” yang berbeda antara yang
dianut oleh satu agama dengan kelompok agama yang lain. Tuhan, sebagaimana
dikonsepsikan dan diyakini umat agama A, bisa berbeda dengan Tuhan yang
diyakini oleh umat penganut agama B, C, D dan seterusnya. Bahkan boleh jadi
dalam satu rumpun umat agama yang sama, katakanlah agama A, bisa muncul konsep
yang lebih detail perihal Tuhan yang berbeda-beda.
Karena itu bisa dikatakan bahwa dilihat dari konsep ketuhanan yang diimani umat lain semua orang adalah kafir. Kekafiran seperti ini terkait dengan keyakinan pada satu doktrin ketuhanan tertentu yang diajarkan oleh agama tertentu. Atribut ke-kafir-an yang bersifat nisbi ini tertuju atau terlabelkan bukan pada orang yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan alias Atheis, melainkan terhadap orang atau komunitas yang tidak percaya kepada Tuhan yang dikonsepsikan dan diimani oleh penganut agama atau keyakinan yang berbeda.
Sebagaimana kita ketahui, semua agama bertumpu pada doktrin keimanan primer terhadap Tuhan. Bukan agama kalau tidak mendoktrinkan keimanan adanya Tuhan. Meskipun demikian harus diakui bahwa konsep Tuhan yang dirumuskan dan diyakini oleh masing-masing agama bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahkan umat satu agama dengan mazhab atau aliran yang berbeda pun bisa memiliki konsep atau citra Tuhan yang berbeda pula.
Karena itu bisa dikatakan bahwa dilihat dari konsep ketuhanan yang diimani umat lain semua orang adalah kafir. Kekafiran seperti ini terkait dengan keyakinan pada satu doktrin ketuhanan tertentu yang diajarkan oleh agama tertentu. Atribut ke-kafir-an yang bersifat nisbi ini tertuju atau terlabelkan bukan pada orang yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan alias Atheis, melainkan terhadap orang atau komunitas yang tidak percaya kepada Tuhan yang dikonsepsikan dan diimani oleh penganut agama atau keyakinan yang berbeda.
Sebagaimana kita ketahui, semua agama bertumpu pada doktrin keimanan primer terhadap Tuhan. Bukan agama kalau tidak mendoktrinkan keimanan adanya Tuhan. Meskipun demikian harus diakui bahwa konsep Tuhan yang dirumuskan dan diyakini oleh masing-masing agama bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahkan umat satu agama dengan mazhab atau aliran yang berbeda pun bisa memiliki konsep atau citra Tuhan yang berbeda pula.
Kenapa begitu? Sederhana saja jawabannya. Karena meskipun semua
agama percaya pada Tuhan, dan mendoktrinkan umatnya untuk berserah diri
kepada-Nya, tidak ada satu pun di antara mereka yang pernah bertemu, melihat
sendiri secara kasat mata, dan berkomunikasi langsung dengan “Sosok” yang
diklaim sebgai Tuhan itu. Toh mereka tetap percaya; itulah yang disebut
“iman”; suatu “keberanian” luar biasa untuk mempercayai sekaligus
mempertaruhkan “hidup” pada “Sosok” yang sama sekali belum dan tidak pernah
dilihat dan disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Maka bisa dimengerti, jika dikatakan bahwa iman adalah “hidayah” atau “bimbingan” Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jika saja iman kepada Tuhan sepenuhnya merupakan hasil pencarian manusia dengan akal-budi atau nalarnya, niscaya hanya para filsuf sajalah yang bisa menjadi manusia beriman. Nyatanya tidak. Bahkan tidak sedikit filosof yang secara aktif mendakwahkan kekufuran atau penyangkalan kepada Tuhan, alias atheis. Iman adalah “anugerah” bimbingan dan uluran tangan Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pemikir atau filosof ulung pun, jika tidak karena hidayah-Nya, niscaya akan tetap dalam penyangkalan (kekafiran) terhadap-Nya.
Maka bisa dimengerti, jika dikatakan bahwa iman adalah “hidayah” atau “bimbingan” Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jika saja iman kepada Tuhan sepenuhnya merupakan hasil pencarian manusia dengan akal-budi atau nalarnya, niscaya hanya para filsuf sajalah yang bisa menjadi manusia beriman. Nyatanya tidak. Bahkan tidak sedikit filosof yang secara aktif mendakwahkan kekufuran atau penyangkalan kepada Tuhan, alias atheis. Iman adalah “anugerah” bimbingan dan uluran tangan Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pemikir atau filosof ulung pun, jika tidak karena hidayah-Nya, niscaya akan tetap dalam penyangkalan (kekafiran) terhadap-Nya.
Memang sebagian orang, yang jumlahnya cukup banyak, besar
kemungkinan menjadi beriman lebih karena keturunan, karena pengaruh
lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Itulah modal awal yang sangat
berharga. Tapi tanpa refleksi yang lebih mendalam terhadap “keimanan” yang
terberikan lewat lingkungan primernya, keimanan seperti itu akan mudah tergerus
oleh pengaruh sekitar yang menafikannya. Keimanan seperti itu akan mudah goyang
bahkan runtuh oleh ujian-ujian kehidupan sesaat.
Di sinilah letak urgensi dari aktivitas ritual berjamaah bersama komunitas seiman yang lazim dilakukan dalam tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, vihara dsb) di bawah bimbingan para imam (tokoh-tokoh agama) lokal masing-masing. Khutbah para imam di sini memegang peranan penting untuk memelihara dan meneguhkan keimanan komunitas iman masing-masing. Tidak mudah dihindarkan karena adanya khutbah-khutbah pemupukan keimanan dalam bingkai fanatisme yang acapkali menyangkal atau merendahkan konsep keimanan pihak lain.
Di sinilah letak urgensi dari aktivitas ritual berjamaah bersama komunitas seiman yang lazim dilakukan dalam tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, vihara dsb) di bawah bimbingan para imam (tokoh-tokoh agama) lokal masing-masing. Khutbah para imam di sini memegang peranan penting untuk memelihara dan meneguhkan keimanan komunitas iman masing-masing. Tidak mudah dihindarkan karena adanya khutbah-khutbah pemupukan keimanan dalam bingkai fanatisme yang acapkali menyangkal atau merendahkan konsep keimanan pihak lain.
Di sinilah perlunya forum para pemimpin umat beragama
sebagai kepala-kepala ‘suku’, untuk memupuk toleransi antar komunitas beriman/
beragama, minimal untuk menghindari konflik sesama; syukur-syukur bisa
mendorong kerja sama bagi kemajuan sebangsa. Bagi bangsa Indonesia yang luar
biasa plural, baik dalam keyakinan maupun etnik dan orientasi politiknya,
dialog antar iman ini sangatlah dibutuhkan.
Kebinekaan bangsa Indonesia adalah kodrat, yang jika kita bisa rawat dan syukuri akan menjadi anugerah yang sangat indah. Sebaliknya jika gagal merawatnya, bahkan kita ingkari dan kufuri, maka seketika kebinekaan itu akan berbalik menjadi musibah dan kutukan yang menghancurkan segalanya. Semua itu tergantung kita sendiri, terutama para pemimpin agama, untuk membuktikan bahwa agama itu rahmat, bukan laknat!
dicopas dari http://news.liputan6.com/read/2848410/opini-apa-arti-kafir
Kebinekaan bangsa Indonesia adalah kodrat, yang jika kita bisa rawat dan syukuri akan menjadi anugerah yang sangat indah. Sebaliknya jika gagal merawatnya, bahkan kita ingkari dan kufuri, maka seketika kebinekaan itu akan berbalik menjadi musibah dan kutukan yang menghancurkan segalanya. Semua itu tergantung kita sendiri, terutama para pemimpin agama, untuk membuktikan bahwa agama itu rahmat, bukan laknat!
dicopas dari http://news.liputan6.com/read/2848410/opini-apa-arti-kafir
Sabtu, 02 Desember 2017
Mengenal Kitab Fiqh Perbandingan Mazhab
23.44
Anang Romli, M.Pd.
No comments
Kitab Perbandingan Madzhab |
Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah
kitab fiqh yang merangkum 4 mazhab fiqh: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali.
Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab
lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza’i, Thabari. Di
luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala
berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4
mazhab. Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan
kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan
mengomparasikannya dengan mazhab lain –kitab kategori ini misalnya al-Mughni
Ibn Qudamah, al-Majmu’ Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin.
Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah. Ini
kitab fiqh yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab
fiqh standard. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan
penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu
kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini
menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqh para imam mazhab itu
adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Kedua, kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng
dengan Kitab Rahmatul Ummah (pada hamisy atau pinggir). Dalam kitab ini sudah
ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya’rani
pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan
memberikan pertimbangan mana pendapat fiqh yang ringan dan mana yang berat
untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia
(CMIIW).
Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di
pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun
di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan
saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya.
Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk
membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang
dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja
(bidayah). Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca
kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Keempat, kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid
adalah kitab al-Fiqh ‘ala Mazahabil Arba’ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh
Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android (arab). Saya
pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih
kengkap dari ketiga kitab di atas.
Kelima, Kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis
oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari
45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk
mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya
berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqh standar yang
berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di
bagian akhir kitab ensikopledi fiqh Kuwait ini memasukkan info mengenai nama
dan bio singkat para fuqaha.
Corak pembahasannya: setelah mengurai defenisi, kemudian
menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqh yang sedang dibahas, setelah itu
menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis
berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun
analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah
sebbanya mereka memilih judul mausu’ah atau ensiklopedi.
Keenam, tentu masih ada kitab fiqh muqarin (perbandingan)
lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji’.
Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya
Al-Mu’ashirah (14 jilid). Syukur alhamdulillah kedua kitab fiqh modern ini
sudah bisa didownload (cari sendiri linknya jangan tanya saya yah).
Demikian sedikit penjelasan mengenai kitab fiqh perbandingan
mazhab. Karakter fiqh itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Jadi tidak
perlu kafir-kafiran gegara beda pendapat. Gak perlu membully ulama yang punya
fatwa berbeda. Semua Imam Mazhab punya fatwa yang dianggap nyeleneh atau
kontroversial. Sekedar menyebut beberapa contoh saja:
Imam syafi’i bolehkan anak hasil zina dinikahi oleh “bapak”
biologisnya karena nasab disandarkan ke ibunya. Apa kita berani bilang Imam
Syafi’i itu Yai Zina? Memangnya kita siapa dibanding beliau?
Imam Malik mengatakan anjing itu suci, tidak najis. Ini beda
dengan mazhab lainnya. Apa berani kita nyinyiri beliau dengan membully mengatakan
beliau itu Yai Anjing? Na’udzubillah.
Imam Abu Hanifah membolehkan minum nabidz dalam kadar tidak
memabukkan. Mazhab lain mengharamkan. Apa kita berani komen beliau itu Yai
Tukang Minum? Kacau kannn!
Imam Ahmad mengatakan batal wudhu sehabis makan daging unta,
mazhab lain mengatakan tidak batal. Apa berani kita nyindir beliau itu Yai
Unta? Ngawur banget kita!
Imam Dawud al-Zhahiri bilang lemak/tulang babi tidak haram,
yang haram cuma dagingnya. Mazhab lain membantah dengan keras. Tapi tidak ada ulama
mazhab lain yang mencaci maki beliau dengan sebutan Yai Babi! Gak sampai
segitunya.
Semua ulama fiqh itu sebelum mengeluarkan fatwa akan
memeriksa dalil dan kaidah usul al-fiqh nya dulu. Lha kita bisanya cuma
nyinyir.
Jumhur ulama juga belum tentu benar pendapatnya. Kebenaran
dalam Islam ditentukan lewat kekuatan dalil bukan banyak-banyakan jumlah
pengikut, apalagi pakai turun ke jalan dan teriak “bunuh-bunuh”.
Fatwa itu tidak mengikat. Sebagai contoh, kalau tidak cocok
dengan fatwa Kiai Ma’ruf Amin, boleh pilih fatwa Gus Mus. Gak cocok dengan Gus
Mus, pilih fatwa Mbah Moen. Mau pilih pendapat saya juga boleh hehehe
Karakter fiqh itu memang meniscayakan beda pendapat. Gak
usah memaksakan pendapat. Semua ulama punya rujukan dan argumen. Semakin kita
luaskan bacaan kita dengan membaca kitab fiqh perbandingan mazhab akan semakin
toleran kita menyikapi keragaman pendapat. Yang suka memutlakkan pendapatnya
atau pendapat ulama yang diikutinya itu bisa ditebak belum luas wawasan dan
bacaannya. OK, jelas yah?!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan
Dosen Senior Monash Law School (dicopas dari http://nadirhosen.net/tsaqofah/syariah/mengenal-kitab-fiqh-perbandingan-mazhab )
Diberdayakan oleh Blogger.