Minggu, 03 Desember 2017

Khilafah, Sepanjang Jalan Sejarah

Dalam sejarah Islam, Hizbut Tahrir bukanlah satu-satunya partai, ormas, atau kelompok Muslim yang menggagas dan mengembangkan ide dan konsep khilafah (caliphate).

Ada banyak individu dan kelompok keislaman, sejak masa klasik hingga dewasa ini, yang membincangkan tentang khilafah ini. Hanya masing-masing pihak memiliki pandangan berlainan tentang khilafah ini.

Hugh Kennedy, seorang profesor Bahasa Arab dan ahli kajian sejarah Islam klasik di School of Oriental and African Studies, University of London, pernah menulis dalam bukunya Caliphate: The History of an Idea, sebagai berikut: "The concept of caliphate has had many different interpretations and realizations through the centuries, but fundamental to them all is that it offers an idea of leadership which is about the just ordering of Muslim society according to the will of God."

Seperti Kennedy jelaskan, karena diinisiasi oleh banyak ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran, khususnya Sunni dan Syiah, gagasan dan konsep khilafah dalam implementasinya memiliki banyak tafsir dan pendapat yang berbeda-beda.

Bukan hanya tentang ide khilafah itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana mekanisme sistem politik kekhilafahan serta proses pemilihan seorang khalifah (caliph) sebagai pemimpin atau pemegang otoritas tertinggi, dalam sistem pemerintahan khilafah.

Bagi Sunni pada umumnya, seorang khalifah yang secara kebahasaan berarti "pengganti, pelayan, atau wakil" harus dipilih oleh komunitas Muslim melalui sebuah proses politik-budaya tertentu (baik dipilih secara kolektif melalui forum musyawarah yang melibatkan banyak pihak, maupun melalui diskusi terbatas orang-orang tertentu yang dipandang memiliki otoritas politik-keagamaan).

Meskipun dalam praktiknya juga sering tidak konsisten karena banyak "rezim khilafah" Sunni yang kemudian mengadopsi sistem monarki, terutama sejak Kekhilafahan Umayyah di mana seorang khalifah berikutnya bukan dipilih oleh publik Muslim maupun representasi mereka, melainkan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.

Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan (Muawiyah I, 602-680 M.), pendiri Dinasti Umayah sekaligus memproklamirkan diri sebagai khalifah, berturut-turut seorang khalifah ditunjuk dari keluarga dekat khalifah pendahulu.

Sementara itu, bagi kelompok Syiah, seorang khalifah harus seorang "imam yang ma'sum" (bebas dari maksiat), yang dipilih langsung oleh Tuhan dari keturunan keluarga Nabi Muhammad (Ahlul Bait).

Dalam konteks sejarah Islam, khilafah adalah sebuah polity atau semacam "entitas politik" yang kemudian berkembang menjadi berbagai imperium yang bersifat multietnis dan transnasional.

Pada Abad Pertengahan Islam, ada tiga pemerintahan khilafah: Rasyidun (632-661), Umayyah (661-750), dan Abbasiyah (750-1258). Kemudian Turki Usmani (Ottoman) juga mengklaim sebagai Khilafah Islam setelah menaklukkan Dinasti Mamluk (berpusat di Mesir) pada 1517.

Bukan itu saja, dalam sejarah politik Islam, ada sejumlah rezim politik-pemerintahan lain yang mengklaim sebagai khilafah.

Sebut saja Fatimiyah di Afrika timur/utara (rezim Syiah Ismaili, 909-1171), Umayyah II di Semenanjung Iberia di Eropa (929-1031), Al-Muwahhidun (rezim Muslim Berber di Maroko, 1121-1269; didirikan oleh Abd al-Mu'min), dan Sokoto di Afrika Barat (1804-1903).

Sokoto adalah kekhilafahan Islam yang didirikan oleh Syaikh Usman bin Fodio, seorang sarjana Islam dan dai ternama, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Hausa di Nigeria (dan juga Kamerun) dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Fulani.

Kekhilafahan Sokoto ini kelak dihapus oleh Inggris pada 1903. Sementara itu, sistem kekhilafahan Turki Usmani dihapus oleh Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Negara Turki modern, pada 1924 menyusul kehancuran Turki Usmani pada Perang Dunia I.

Oleh sejumlah kelompok Islamis radikal, pada 1924 itulah yang dijadikan sebagai "tahun wafatnya" sistem khilafah. Sebetulnya, ketika Perang Dunia I meletus, ada sejumlah kelompok yang berusaha menyelamatkan sistem khilafah sekaligus untuk mempertahankan kekhilafahan Turki Usmani.

Misalnya, Gerakan Khilafah oleh sejumlah pemimpin Muslim di India pada 1920-an untuk melawan Inggris. Penggerak khilafah ini antara lain adalah Mohammad Ali Jouhar dan Maulana Abul Kalam Azad. Konon, Mohandas Gandhi juga mendukung gerakan ini dengan duduk sebagai anggota di Central Khilafat Committee.

Namun, gerakan khilafah ini gagal total dan hancur berantakan setelah penangkapan sejumlah pemimpin dan pentolannya oleh pemerintah kolonial Inggris.

Meskipun Mustafa Kemal Ataturk menghapus secara resmi sistem khilafah pada 1924, ide-ide pendirian (kembali) sistem khilafah masih bermunculan di sejumlah tempat.

Di Hijaz (kini wilayah Saudi), Syarif Hussein pernah mendeklarasikan "Khilafah Syarifiyah" pada 1924. Tetapi sayang umur "Khilafah Syarifiyah" ini tidak panjang karena beberapa tahun kemudian Hijaz ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz Al Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern.

Bukan hanya di kalangan Sunni dan Syiah saja diskursus tentang khilafah ini berkembang. Ahmadiyah, sebuah gerakan revivalis Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, pada 1889 juga mengklaim tentang sistem kekhilafahan ini.

Setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim sebagai Mesias atau Imam Mahdi pada 1908, penggantinya, Hakim Nuruddin, memproklamirkan diri sebagai "Khalifah Ahmadiyah" dengan julukan "Khalifah al-Masih" (yakni pengganti, pelayan, atau wakil dari Sang Mesias, yaitu Mirza Ghulam Ahmad).

Bagi kalangan Ahmadiyah, Khilafah Ahmadiyah adalah sebuah bentuk pendirian kembali atau kelanjutan dari sistem "Khilafah Rasyidun" (al-Khulafa al-Rasyidun), yang didirikan oleh para sahabat Nabi Muhammad.

Ide pengguliran pendirian khilafah ini terus bergulir dan digulirkan oleh sejumlah tokoh dan faksi Islam.

Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna (1906-1949), seperti ditulis oleh Oliver Roy dalam Failure of Islamism, juga pernah menginisiasi untuk merestorasi sistem khilafah. Ikhwanul Muslim (berdiri di Mesir pada 1928) adalah sebuah kelompok Islamis yang mengadvokasi gagasan Pan-Islamisme dan implemntasi Syariat Islam.

Di kemudian hari, kelompok Ikhwanul Muslimin mengalami proses radikalisasi ekstrem setelah sejumlah ideolog dan pentolan organisasi ini seperti Sayyid Qutub dan adiknya Muhammad Qutub, mendapatkan perlakuan buruk dari rezim sekuler Mesir.

Penting dicatat bahwa pendirian Ikhwanul Muslimin dilatari oleh kebangkrutan sistem Khilafah Turki Usmani di satu sisi, serta kolonialisme Eropa di kawasan Muslim Arab di pihak lain.

Karena itu, wajar jika Hasan al-Banna ingin menghidupkan kembali sistem khilafah setelah Mustafa Kemal memberangusnya.

Kelak, pada 1953, Taqiyuddin al-Nabhani, yang juga merupakan kader Ikhwanul Muslimin, mendirikan Hizbut Tahrir di Yarusalem setelah menyaksikan pendirian Negara Israel modern serta kekalahan Bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1948, yang berdampak pada pendudukan Palestina oleh Bangsa Israel.

Salah satu tujuan utama Hizbut Tahrir, tentu saja pendirian sistem khilafah yang dipandang mampu menjadi penyelamat kebangkrutan politik umat Islam.

Selain Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, sejumlah kelompok radikal-Islamis-revivalis seperti Al-Qaidah, Jamaah Islamiyah, Abu Sayyaf Group, Boko Haram, Ansar al-Sharia, Jabhat al-Nusra, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dsb juga menggemakan gagasan restorasi sistem khilafah ini.

Ada banyak sarjana yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan konsep khilafah dan siapa saja para pendukungnya seperti Hugh Kennedy, Tom Kratman, Mona Hassan, William Muir, dsb.

Meskipun berbagai kelompok di atas menggaungkan ide khilafah, tetapi masing-masing memiliki pandangan, metode, pendekatan, taktik, motivasi, dan tujuan yang berbeda.

Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara, ada pula yang berskala lokal atau regional. Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik tanpa kekerasan.

Tetapi ada juga kelompok Islamis yang bersikeras mewujudkan khilafah dengan cara-cara apapun, termasuk kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.

Menariknya, meskipun mereka sama-sama menyerukan restorasi dan pendirian (kembali) sistem khilafah, tetapi antar-mereka juga terlibat konflik akut dan saling serang dan memerangi satu sama lain seperti perseteruan antara ISIS dan Jabhat al-Nusrah atau ISIS versus al-Qaidah.

Ada banyak faktor, baik ideologis maupun politis, yang menyebabkan mereka saling seteru. Kelompok Hizbut Tahrir juga digempur di mana-mana oleh berbagai kelompok Islamis-radikal.

Ini menunjukkan bahwa kelompok Islam pengusung khilafah ini, jauh dari kata tunggal dan monolitik seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.

Apapun perbedaannya, yang jelas ide khilafah memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks.

Berbeda dengan masa klasik dan abad pertengahan, kemunculan kembali gagasan khilafah di era kontemporer karena tidak lepas dari berbagai situasi sosial-politik-ekonomi-budaya yang menimpa kaum Muslim, dan dipandang tidak menguntungkan mereka.

Keterpurukan, kemunduran, keterbelakangan, kekalahan, dan situasi-kondisi carut-marut lain yang menimpa kaum Muslim itulah yang membuat sejumlah kelompok Islam berandai-andai untuk membangkitkan kembali sistem khilafah, yang oleh mereka dianggap sebagai "sistem politik alternatif" atau "obat mujarab" yang mampu menyembuhkan luka menganga dan duka-lara umat Islam.

Tetapi mereka lupa bahwa sistem khilafah pun, jika mengacu pada sejarah Islam, jauh dari sempurna. Kejahatan, keburukan, kekejaman, kekerasan, dan penindasan juga terjadi di era kekhilafahan Islam.

Memang, sistem politik apapun, baik relijius maupun sekuler, bukanlah sebuah jaminan bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa.

Semua memang tergantung pada kualitas individu pelaku yang menggerakkan sistem politik-pemerintahan itu. Bahkan ada ungkapan, sistem yang bobrok akan jauh lebih baik hasilnya jika dipegang oleh orang yang baik.

Sebaliknya, sistem yang baik akan berujung pada kebobrokan jika dikendalikan oleh orang-orang jahat. Masihkah bermimpi dengan sistem khilafah? Wallahu 'alam bi shawwab.

Sumato al-Qurtuby dicopas dari : http://news.liputan6.com/read/3018050/khilafah-sepanjang-jalan-sejarah

MENJAGA AGAR REKRUITMEN CPNS KEMENAG BEBAS KKN

Saya tentu bersyukur bahwa rekruitmen CPNS kita tahun ini berjalan lancar. Dengan menggunakan metode Computer Assested Test (CAT) sangat memunginkan ketiadaan KKN di dalam menentukan kelulusan uji kompetensi tertulis. Meskipun masih ada yang meragukan tentang keakuratan dan ketepatan alat ukur ini, akan tetapi saya menjamin bahwa dengan CAT yang mengembangkan transparansi dan akuntabilitas, maka pelaksanaan CAT dan hasil yang dipublish pasti sesuai dengan tingkat kelulusannya.

Saya bersyukur bahwa penyelenggaraan test CPNS di Kemenag sudah memenuhi syarat yang distandarisasi oleh Kemenpan & RB. Sungguh kita sudah melakukan semua hal yang terkait dengan upaya membangun rekruitmen CPNS yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tanpa sedikitpun ada upaya untuk melakukan perubahan score untuk meluluskan orang yang diinginkan. Semua berjalan sesuai dengan prosedur tetap dan standart baku yang sudah disepakati sebelumnya.

Kita sudah melalui proses awal test kompetensi yang meliputi Test Inteligensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Tes ini mutlak diselenggarakan oleh Kemenpan & RB dan hasilnya langsung diketahui saat itu juga. Sungguh sangat transparan dan tidak ada sedikitpun yang bisa dimanipulasi. Saya tahu, sebab ada salah seorang kolega yang bisa mencatat masing-masing score yang diperoleh calon PNS dan berapa rangking yang bersangkutan. Jadi kalau ada penyimpangan dipastikan akan bisa diketahui. Kita sudah melewati tahap pertama dengan tanpa ada sedikitpun cacat di dalamnya. Saya menjamin bahwa yang lulus tahap uji kompetensi, pastilah yang sesungguhnya memang lulus. Bukan direkayasa atau dimanipulasi.

Sekarang kita memasuki test kemampuan bidang atau disebut sebagai Seleksi Kemampuan Bidang (SKB). Beberapa saat yang lalu muncul berita di media bahwa satu aspek yang krusial dan memungkinkan terjadinya KKN ialah test wawancara atau SKB ini. Pemikiran seperti ini sesungguhnya berawal dari keraguan apakah kita bisa menjalankan amanat untuk rekruitmen CPNS dengan adil, dan bertanggungjawab. Pantaslah keraguan itu muncul, sebab bangsa ini memang sedang berada di titik terendah dalam hal menjaga kejujuran. Ada banyak korupsi, kolusi dan nepotisme yang terus dipelihara dan bahkan dikembangkan dengan cara-cara yang makin canggih. Kita sedang berada di dalam situasi bernegara dan berbangsa yang carut marut karena perilaku koruptif.

Makanya, sekaranglah saatnya, kita harus membuktikan bahwa di dalam rekruitmen CPNS, maka kejujuran menjadi taruhannya. Kita harus membuktikan kepada public bahwa sesungguhnya masih ada harapan untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa ini. Kita harus meyakinkan bahwa para penyelenggara negara ini masih memiliki kejernihan hati dan integritas yang tentu diharapkan oleh masyarakat kita.

Hari Rabu, 22/11/2017, saya mendapatkan kesempatan untuk memonitor pelaksanaan wawancara yang dilakukan di UIN Sumatera Utara. Seluruh pejabat terkait memang diterjunkan untuk memantau terhadap pelaksanaan wawancara itu. Kemenag sudah mengantisipasi terhadap penyelenggaraan wawancara yang bebas dari KKN. Maka selain ada petugas yang menunggui pelaksanaan wawancara di seluruh titik diselenggarakannya wawancara untuk Seleksi Kompetensi Bidang, maka juga ditempatkan pada seluruh titik tersebut seorang petugas dari inspektorat jenderal Kemenag. Pak Pramono dari inspektorat investigasi Kemenag yang hadir di Medan.

Para auditor memang sengaja dilibatkan di dalam pelaksanaan wawancara sebagai salah satu upaya untuk menjaga terhadap ketiadaan peluang terjadinya penyelewengan dari para pewawancara. Namun demikian saya yakin bahwa para professor dan doctor serta dosen yang diminta untuk menjadi pewawancara adalah orang-orang yang sudah teruji integritasnya. Mereka adalah para dosen senior yang selama ini sangat dikenal sebagai orang yang sangat dihormati dan berjiwa besar. Mereka memiliki integritas yang tidak diragukan.

Dengan menyertakan para auditor dari itjen, tentu akan menambah kekuatan para penguji untuk berbuat yang terbaik bagi PTKN. Para dosen yang diamanahkan untuk menguji juga merasa mendapatkan kepercayaan dari negara untuk berbuat baik dan membuktian bahwa rekruitmen CPNS harus dijaga kewibawaannya dan kejujurannya.

Mereka telah dibekali dengan seperangkat instrument untuk menjaring tidak hanya kemampuan mengajarnya, melalui penyajian bahan ajar mata kuliah, akan tetapi juga diuji integritas dan rekam jejaknya. Melalui uji rekam jejak, maka akan diketahui siapa calon CPNS tersebut. Hal ini telah dimandatkan dalam pertemuan rector PTKN dan juga tim penyusun instrument beberapa saat yang lalu. Rekam jejak dianggap sangat penting agar kita bisa menghasilkan CPNS yang memiliki komitmen terhadap kenegaraan dan kebangsaan.

Jika da calon CPNS yang tidak loyal kepada Pancasila, UUD 1945, dan NKRI serta Keberagaman, maka pewawancara akan bisa mempunishnya. Selain itu, tim rekruitmen CPNS kemenag juga bisa melakukan uji rekam jejak sesuai dengan prosedur dan cara-cara yang benar.

Kita berharap agar pelaksanaan wawancara dalam SKB akan menjadi barometer bagi kemenag, bahwa kejujuran itu masih ada. Dan yang kita lakukan semuanya memiliki tanggungjawab tidak hanya di dunia tetapi juga di akherat kelak.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Prof. Dr. Nur Syam, MA.
Copas dari http://nursyam.uinsby.ac.id/               

Apa Arti Kafir?


Kafir adalah istilah keagamaan (Islam) dalam bahasa Arab, yang secara harfiah berarti “(orang) yang menutup diri”. Bentuk noun-nya adalah “kufur” yang berarti “penyangkalan atau pengingkaran”. Secara istilah (terminologis), “Kafir”  berarti “orang yang menutup atau  menyangkal atau mengingkari “Kebenaran” (dengan K besar yang berarti Tuhan), sekaligus menutupi atau mengingkari bukti-bukti tentang adanya Kebenaran Tuhan.

Inilah karena dalam keyakinan umat beragama, semua agama,  tidak ada kebenaran yang lebih mutlak, absolut dan tidak terbantahkan selain “Tuhan” itu sendiri. Bagi umat beragama, Tuhan diyakini bukan hanya sebagai Kebenaran, tapi sekaligus sumber dan rujukan dari semua “kebenaran”.  Karena itu lazim dikatakan bahwa penyangkal Kebenaran (dengan K besar yang berarti Tuhan), disebut si Kafir, si Penyangkal.

Dalam perkembangan sejarahnya,  istilah “Kafir” dapat dibedakan menjadi dua tingkatan: kafir mutlak/ absolut dan kafir nisbi/ relatif. Kafir absolut adalah orang yang sama sekali tidak percaya pada adanya “Tuhan” sebagai Pencipta segala yang ada, sekaligus sebagai yang maha mengatur jagat raya  dan seisinya. Bagi mereka, alam dan jagat seisinya, termasuk dirinya sendiri, menjadi ada bukan karena (diciptakan) Tuhan, melainkan meng”ada” dengan dirinya sendiri, atau mengada secara alami. Dalam istilah filsafat, orang yang seperti ini dikenal dengan sebutan “atheist”, orang yang menyangkal adanya Tuhan.
Di samping Kafir absolut (atheis) ada yang disebut  “Kafir Relatif/ Nisbi”. Yakni orang yang percaya kepada Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, tapi dengan konsep “ketuhanan dan keagamaan” yang berbeda antara yang dianut oleh satu agama dengan kelompok agama yang lain. Tuhan, sebagaimana dikonsepsikan dan diyakini umat agama A, bisa  berbeda dengan Tuhan yang diyakini oleh umat penganut agama B, C, D dan seterusnya. Bahkan boleh jadi dalam satu rumpun umat agama yang sama, katakanlah agama A, bisa muncul konsep yang lebih detail perihal Tuhan yang berbeda-beda.

Karena itu bisa dikatakan bahwa dilihat dari konsep ketuhanan yang diimani umat lain semua orang adalah kafir.  Kekafiran seperti ini terkait dengan keyakinan pada satu doktrin ketuhanan tertentu yang diajarkan oleh agama tertentu. Atribut ke-kafir-an yang bersifat nisbi ini tertuju atau terlabelkan bukan pada orang yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan alias Atheis, melainkan terhadap orang atau komunitas yang tidak percaya kepada Tuhan yang dikonsepsikan dan diimani oleh penganut agama atau keyakinan yang berbeda.

Sebagaimana kita ketahui, semua agama bertumpu pada doktrin keimanan primer terhadap Tuhan. Bukan agama kalau tidak mendoktrinkan keimanan adanya Tuhan. Meskipun demikian harus diakui  bahwa konsep Tuhan yang dirumuskan dan diyakini oleh masing-masing agama bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahkan umat satu agama dengan mazhab atau aliran yang berbeda pun bisa memiliki konsep atau citra Tuhan yang berbeda pula.
Kenapa begitu? Sederhana saja jawabannya. Karena meskipun semua agama percaya pada Tuhan, dan mendoktrinkan umatnya untuk berserah diri kepada-Nya, tidak ada satu pun di antara mereka yang pernah bertemu, melihat sendiri secara kasat mata,  dan berkomunikasi langsung dengan “Sosok” yang diklaim sebgai Tuhan itu. Toh mereka tetap percaya; itulah yang disebut  “iman”; suatu “keberanian” luar biasa untuk mempercayai sekaligus mempertaruhkan “hidup” pada “Sosok” yang sama sekali belum dan tidak pernah dilihat dan disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Maka bisa dimengerti, jika dikatakan  bahwa iman adalah “hidayah” atau “bimbingan” Tuhan  kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jika saja iman kepada Tuhan sepenuhnya merupakan hasil pencarian manusia dengan akal-budi atau nalarnya, niscaya hanya para filsuf sajalah yang bisa menjadi manusia beriman. Nyatanya tidak. Bahkan tidak sedikit filosof yang secara aktif mendakwahkan kekufuran atau penyangkalan kepada Tuhan, alias atheis. Iman adalah “anugerah” bimbingan dan uluran tangan Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pemikir atau filosof ulung pun, jika tidak karena hidayah-Nya, niscaya akan tetap dalam penyangkalan (kekafiran) terhadap-Nya.
Memang sebagian orang, yang jumlahnya cukup banyak, besar kemungkinan menjadi beriman lebih karena  keturunan, karena pengaruh lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Itulah modal awal yang sangat berharga. Tapi tanpa refleksi yang lebih mendalam terhadap “keimanan” yang terberikan lewat lingkungan primernya, keimanan seperti itu akan mudah tergerus oleh pengaruh sekitar yang menafikannya. Keimanan seperti itu akan mudah goyang bahkan runtuh oleh ujian-ujian kehidupan sesaat.

Di sinilah letak urgensi dari  aktivitas ritual berjamaah bersama komunitas seiman yang lazim dilakukan dalam tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, vihara dsb) di bawah bimbingan para imam (tokoh-tokoh agama) lokal masing-masing. Khutbah para imam di sini memegang peranan penting untuk memelihara dan meneguhkan keimanan komunitas iman masing-masing. Tidak mudah dihindarkan karena adanya khutbah-khutbah pemupukan keimanan dalam bingkai fanatisme yang acapkali menyangkal atau merendahkan konsep keimanan pihak lain.
Di sinilah perlunya forum para pemimpin umat beragama sebagai kepala-kepala ‘suku’, untuk memupuk toleransi antar komunitas beriman/ beragama, minimal untuk menghindari konflik sesama; syukur-syukur bisa mendorong kerja sama bagi kemajuan sebangsa. Bagi bangsa Indonesia yang luar biasa plural, baik dalam keyakinan maupun etnik dan orientasi politiknya, dialog antar iman ini sangatlah dibutuhkan.

Kebinekaan bangsa Indonesia adalah kodrat, yang jika kita bisa rawat dan syukuri  akan menjadi anugerah yang sangat indah. Sebaliknya jika gagal merawatnya, bahkan kita ingkari dan kufuri, maka seketika kebinekaan itu akan berbalik menjadi musibah dan kutukan yang menghancurkan segalanya. Semua itu tergantung kita sendiri, terutama para pemimpin agama, untuk membuktikan bahwa agama itu rahmat, bukan laknat!

dicopas dari http://news.liputan6.com/read/2848410/opini-apa-arti-kafir

Sabtu, 02 Desember 2017

Mengenal Kitab Fiqh Perbandingan Mazhab



Kitab Perbandingan Madzhab
Para santri tingkat awal belajar fiqh melalui kitab kecil seperti Safinah dan Taqrib. Ini kitab fiqh berdasarkan mazhab Syafi’i. Baru kemudian meningkat pada kitab syarh-nya seperti Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Seiring naik tingkat, para santri akan mengenal kitab fiqh Syafi’i kelas menengah seperti Fathul Mu’in dan Syarhnya seperti I’anah. Lanjut kemudian dengan kitab fiqh babon mazhab Syafi’i seperti Minhaj-nya Imam Nawawi. Dengan asumsi dasar-dasar fiqh Syafi’i sudah kokoh, para santri senior kemudian dikenalkan dengan keragaman pendapat di luar mazhab Syafi’i.

Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah kitab fiqh yang merangkum 4 mazhab fiqh: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza’i, Thabari. Di luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4 mazhab. Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan mengomparasikannya dengan mazhab lain –kitab kategori ini misalnya al-Mughni Ibn Qudamah, al-Majmu’ Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin.

Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah. Ini kitab fiqh yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqh standard. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqh para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Kedua, kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng dengan Kitab Rahmatul Ummah (pada hamisy atau pinggir). Dalam kitab ini sudah ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya’rani pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan memberikan pertimbangan mana pendapat fiqh yang ringan dan mana yang berat untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia (CMIIW).

Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya. Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja (bidayah). Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Keempat, kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid adalah kitab al-Fiqh ‘ala Mazahabil Arba’ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android (arab). Saya pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih kengkap dari ketiga kitab di atas.

Kelima, Kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari 45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqh standar yang berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di bagian akhir kitab ensikopledi fiqh Kuwait ini memasukkan info mengenai nama dan bio singkat para fuqaha.

Corak pembahasannya: setelah mengurai defenisi, kemudian menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqh yang sedang dibahas, setelah itu menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah sebbanya mereka memilih judul mausu’ah atau ensiklopedi.

Keenam, tentu masih ada kitab fiqh muqarin (perbandingan) lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji’. Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah (14 jilid). Syukur alhamdulillah kedua kitab fiqh modern ini sudah bisa didownload (cari sendiri linknya jangan tanya saya yah).

Demikian sedikit penjelasan mengenai kitab fiqh perbandingan mazhab. Karakter fiqh itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Jadi tidak perlu kafir-kafiran gegara beda pendapat. Gak perlu membully ulama yang punya fatwa berbeda. Semua Imam Mazhab punya fatwa yang dianggap nyeleneh atau kontroversial. Sekedar menyebut beberapa contoh saja:

Imam syafi’i bolehkan anak hasil zina dinikahi oleh “bapak” biologisnya karena nasab disandarkan ke ibunya. Apa kita berani bilang Imam Syafi’i itu Yai Zina? Memangnya kita siapa dibanding beliau?

Imam Malik mengatakan anjing itu suci, tidak najis. Ini beda dengan mazhab lainnya. Apa berani kita nyinyiri beliau dengan membully mengatakan beliau itu Yai Anjing? Na’udzubillah.

Imam Abu Hanifah membolehkan minum nabidz dalam kadar tidak memabukkan. Mazhab lain mengharamkan. Apa kita berani komen beliau itu Yai Tukang Minum? Kacau kannn!

Imam Ahmad mengatakan batal wudhu sehabis makan daging unta, mazhab lain mengatakan tidak batal. Apa berani kita nyindir beliau itu Yai Unta? Ngawur banget kita!

Imam Dawud al-Zhahiri bilang lemak/tulang babi tidak haram, yang haram cuma dagingnya. Mazhab lain membantah dengan keras. Tapi tidak ada ulama mazhab lain yang mencaci maki beliau dengan sebutan Yai Babi! Gak sampai segitunya.

Semua ulama fiqh itu sebelum mengeluarkan fatwa akan memeriksa dalil dan kaidah usul al-fiqh nya dulu. Lha kita bisanya cuma nyinyir.

Jumhur ulama juga belum tentu benar pendapatnya. Kebenaran dalam Islam ditentukan lewat kekuatan dalil bukan banyak-banyakan jumlah pengikut, apalagi pakai turun ke jalan dan teriak “bunuh-bunuh”.

Fatwa itu tidak mengikat. Sebagai contoh, kalau tidak cocok dengan fatwa Kiai Ma’ruf Amin, boleh pilih fatwa Gus Mus. Gak cocok dengan Gus Mus, pilih fatwa Mbah Moen. Mau pilih pendapat saya juga boleh hehehe

Karakter fiqh itu memang meniscayakan beda pendapat. Gak usah memaksakan pendapat. Semua ulama punya rujukan dan argumen. Semakin kita luaskan bacaan kita dengan membaca kitab fiqh perbandingan mazhab akan semakin toleran kita menyikapi keragaman pendapat. Yang suka memutlakkan pendapatnya atau pendapat ulama yang diikutinya itu bisa ditebak belum luas wawasan dan bacaannya. OK, jelas yah?!

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School (dicopas dari http://nadirhosen.net/tsaqofah/syariah/mengenal-kitab-fiqh-perbandingan-mazhab )

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost