Jumat, 29 Mei 2020

MOMEN LEBARAN 1441 H/2020 M






























Sabtu, 09 Mei 2020

road to good investmen 8, Strategi masuk market


Dari beberapa artikel yang saya baca straregi masuk market adalah beli murah jual diharga mahal. Ada juga beli mahal jual lebih mahal lagi. Ini rumus baku namun penerapan itu sangat susah sekali. Dari rumusan ini saya coba otak atik dengan tiga praktik sederhana dalam masuk market. Rumusan umum diatas saya jabarkan menjadi tiga praktik sederhana beserta tahap tahapnya masuk market.

Pertama, masuk market berdasarkan jadwal deviden. Saham cenderung naik apabila jadwal deviden sudah ditentukan. Ini adalah sentimen bagus karena emiten akan bagi bagi profit ke pemegang saham. Cara masuk market ini adalah menentukan timing tujuh hari sebelum cum date dan keluar atau sell saham jika sudah naik. Kenaikan harga saham tentunya harus disesuaikan dengan rencana take profit kita entah 3%, 5% atau 7%. Pada tanggal ext date pasti saham yang bersangkutan akan trun lagi. Untuk memantau deviden saham bisa dibuka aplikasi RTI atau eddyelly.com .


Kedua, masuk market berdasarkan mover pendek. Saya katakan mover pendek jika kita pantau kenaikan dalam satu hari perdagangan. Dapat kita lihat di RTI kenaikan harian. Dari kenaikan/mover di RTI lalu kita secreening manual melalui investing.com. di web investing.com kita bisa seleksi chat mana yang akan atau memungkinkan saham melanjutkan kenaikan dalam waktu satu hari atau kurang. Di harga yang sudah terbentuk itu kita bisa beli. Dari sana kita kita bisa take profit sesuai dengan tarjet kita. Tentunya dengan kenaikan yang tidak terlalu banyak karena pada hari lalu sudah naik. Yang pentng kita sudah profit.


Ketiga, mover satu minggu. Di RTI disediakan menu untuk pantau pergerakan harga dalam jangka tertentu. Mulai 1 hari hingga 5 tahun. Disana kita bisa klik 1 week berarti ada pergerakan harga selama satu minggu.  Di mover satu minggu ini iki bisa lihat baik gainer maupun losser. Di bagian gainers bisa kita lihat satu persatu chartnya melalui investing.com mana yang memungkinkan kita beli langsung maupun nunggu pada harga yang pas atau posisi buy yang pas. Begitupun di menu losser artinya sudah turun terus di sana pasti ada beberapa saham akan naik.

Demikian hasil otak atik saya semoga kita bisa cetak profit disaham...!

Widhe, 10 Mei 2020/17 Ramadhan 1441

Minggu, 08 Maret 2020

Inspirasi santri (2)



Ini adalah artikel yang kedua tentang sosok KH. Asep Saifudin Chalim. Kiai yang sukses dengan segudang prestasi dan peranya. Artikel ini merupakan testimoni dari seorang guru besar UINSA yang sering berinteraksi dengan beliau. Pondok pesantren amanatul ummah sudah lama saya dengar namun sosok pengasuhnya bagi saya adalah luar biasa. Saya adalah pengagum kiai yang merintis perjungan dari null. Ketika saya tau ada artikel ini maka saya share di sini.

------------------------------------------------------
KH ASEP SAIFUDDIN CHALIM YANG SAYA KENAL
Penulis: Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, M.A. (Pengasuh Pesantren Mahasiswa Annur, Wonocolo, Surabaya. Guru Besar UINSA)

Asep... nama panggilan yg populer saat saya mengenalnya ketika menjadi teman kuliah doktoral di Fak. Adab IAIN Sunan Ampel pada 1983. Ia hidup serba paspasan. Walaupun demikian, -setahu saya- ia tidak pernah mengeluh dan minta bantuan kpd siapapun. Saya pernah tahu ia pernah menjadi kuli bangunan, hanya untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Sebagai teman, saya sering terlibat diskusi bahkan debat dengannya. Dalam beropini, perbedaan dan pertentangan lebih sering terjadi. Hal yg selalu saya ingat adalah obsesi dan cita-citanya untuk membuat lembaga pendidikan Islam bertaraf inernasional. Jika Petra bisa membuat gedung tingkat delapan, kita harus bisa membangun gedung tingkat sembilan; ucapnya padaku. Ucapan dan cita-cita "gila" menurutku saat itu. Jadi, walaupun ia hidup serba "kekurangan", itu tidak menghalangi untuk bercita-cita setinggi langit. Antara 1983-984 saya tahu Asep... menjadi guru kelana di SMP dan SMA Swasta antara Lamongan, Gresik dan Surabaya. Saya tidak tahu apakah ia juga mengajar di Sidoarjo.

Kemudian, karena saya harus melanjutkan studi ke al-Azhar pada Oktober 1984, kami berpisah. Tak pernah ada kontak, karena memang pertemanan kami tidak begitu akrab. Pada 1988 saya kembali ke Sampang setelah menyelesaikan S1 di l-Azhar (1986) dan S2 di Khatoum International Institute di Sudan (1988), saya belum dapat informasi tentang kiprah ASEP SAIFUDDIN CHALIM temanku itu di masyarakat.Usai saya menikah pd 1989 yang membuat saya tinggal dan menjadi dosen Fak. Adab IAIN Sunan Ampel pd 1990, saya dapat info kiprah Asep... di masyarakat.

Saat itu, orang-orang memanggil Ust Asep.. dan sebagian memanggil Kiai Asep. Saya dapat info beliau diserahi untuk "nangani" SD Tunas Bangsa di Kawasan Siwalankerto Surabaya yg hanya punya murid ( kelas 1--6) 25 anak. Kemudian berkat "tangan dingin" beliau, SD Swasta ini menjadi maju dan dalam waktu 1 tahun memiiki lebih 100 murid. Bahkan pada 1992 Kiai Asep mengembangkan untuk membuka SMP sekaligus menjadi SMP yg relatif ramai peminat.
Lembaga pendidikan inilah yg menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang beliau asuh sampai sekarang. Sayangnya lembaga ini pada 1997 -- karena satu dan lain hal-- "diambil alih" oleh pemilik yg pernah menyerahkannya kepada Kiai Asep saat beliau meelaksanakan ibadah haji.Peristiwa inilah diantarana yg mendorong beliau bertekat memdirikan Lembaga Pendidikan MTS, MA, SMP dan SMA di bawah naungan Pondok Pesantren Amanatul Ummah.

Saat Kiai Asep berjuang mendirikan dan memajukan PP Amnatul Ummah, beliau menerima Amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Surabaya (1990-1995) yg penuh konflik; tapi beliau mampu meredamnya, sehingga PCNU Surabaya relatif diperhitungkan sebagai pemasok kader-kader untuk duduk PWNU Jatim dan PBNU. Bakat kepemimpinan Kiai Asep tampak ketika beliau terpilih sebagai Ketua MUI kota Surabaya (1995-2000).

Sebagai apresiasi dan tafaaul pada kiprah Kiai Asep, ketika kami meresmikan Pendirian Pesantren Mahasiswa (Pesma) An-Nur Wonocolo (1995) sebagai WAKAF dari HM Noer (alm mertua saya), saya mengundang Kiai Asep intuk menyampaikan tauusiyah. Acara IKRAR WAKAF itu diantaranya ditandtangani oleh Drs KH Abd Jabbar Adlan (Rektor IAIN Sunan Ampel). Jadi, sejak saat itu saya inten berkomunikasi dg beliau untuk memajukan Pesantren.

Untuk menunjang finansial PP Amanatul Ummah,pada 1999 Kiai Asep mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji ( KBIH ) Amanat Bangsa. Pada 2001 saya menjadi TPIH pada kloter 11 Sub yg 380 JH dari 450 JH adalah jamaah Amanat Bangsa. Saat sama-sama menjadi pembimbing haji itulah saya lebih mengenal Asep sebagai Kiai yg sangat perhatian pada jamaah, sopan, memiliki ilmu suwuk, dan sangat hormat pada pimpinan Kloter. Kiranya KBIH ini menjadi salah satu sarana yg dibangun oleh Kiai Asep untuk memajukan Amanatul Ummah.KBIH ini akhirnya berkembang menjadi PT perjalanan wisata yg tentu mengejar profit.

Pada 2010 Kiai Asep mengembangkan PP Amanatul Ummah di kawasan sejuk desa Kembang Belor Kec. Pacet Mojokerto, dengan modal sebuah villa hibah salah seorang jamaah haji yg beliau bimbing di KBIH Amanat Bangsa.Tekadnya membara untuk merealisir cita-citanya membangun Lembaga Pndidikan Islam bertaraf Internasional. 18 siswa MA dan SMA kelas III Amaatul Ummah Siwalankerto "digembleng" di villa Pacet dengan target praktis; mereka harus diterima pada PTN Pavorit.Hasilnya ? 100% mereka diterima di PTN sesuai pilihan. Dari sinilah PP Amantul Ummah mendirikan Madrasah Aliyah Bertaraf Internasional (MBI) yang kemudian menjadi pilot proyek MBI Kemenag RI. Kemudian dengan segala tantangan dalam memangun relasi dg masyarat lokal sekitarnya, menyelesaikan kendala teknis legalitas dg para birokrat Pendidikan di tingkat kota/kabupaten, provinsi dan nasional Kiai Asep sukses membangun SMP dan Akslarasi, yg kemudian berkembang dalam bentuk pendirian INSTITUT KEISLAAN KIAI ABD CHALIM.

Sejauh yg saya tahu Kiai Asep "kurang bakat" di dunia politik. Buktinya ? Beliau hanya 2 tahun menjadi anggota DPRD kota Surabaya dari FKB (1999-2000). Ketika beliau mendukung all out putranya HM Habibrrahman, SE untuk menjadi Caleg DPRI Dapil 1 Jatim dari PPP, hanya sukses jadi Caleg dan gagal mengantarkan putranya itu menjadi "leg". Dalam permainan politik, selama ini beliau dikenal sebagai pendukung atau pendulang suara yg lihai dan konsisten. Tentu sebagai pengasuh Ponpes yg sukses dan kiprahnya dalam membangun PERGUNU (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) menjadi modal sosial-politik untuk mendukung seseorang (bukan dirinya dan keluaganya) untuk " menang " dalam percaturan politik. Beliau menjadi pendukung utama Khofifah IP dalam 3 kali perebutan Jatim 1. Akhinya beliau sukses. Beliau pendukung fanatik Jokowi-JK dan Jokowi-Ma'ruf Amin dengan JKSNnya.Akhirnya beliau sukses. Kiranya "kiprah politik sebagai pendukung" inilah yang menjadi pertimbangan utama Presiden Jokowi berkenan hadir dan menyampaikan sambutan dalam prosesi pengukuhan Dr. KH Asep Saifudin Chalim sebagai Profesor bidang Sosiologi di UINSA hari ini Sabtu 29-02-2020.

'Ala kulli hal, KH Asep adalah sosok penting dalam dunia pendidikan Indonesia yang meniti karir dari bawah secara mandiri tanpa membawa "kebesaran" KH Abd Chalim Leuwinunding ayahnya yg juga sebagai pendiri NU.

Kehebatan KH Asep ditopang kemampuan intlektualnya yang tinggi, pengamalan dan penghayatan keislamannya yang tak diragukan.Kemampuan sbg manager, kepemimpinan yg mengayomi dan mmbangun relasi baik lokal, nasional dan internasional mentahbiskan dirinya sebagai tokoh yang akan diperhitungkan, terutama dalam dunia pendidikan Pesantren maupun pendidikan secara umum.

Modal sosial di bidang pendidikan pesantren inilah membuat saat ini dan yangakan datang semua kontestan politik baik partai maupun masing-masing calon pemimpin akan sangat membutuhkan dukungan KH Asep Saifddin.

Semoga beliau sehat, panjang umur dg penu berkah; sehingga beliau bisa meealisir semua cita-citanya.Catatan ini semoga mjd pengngat bagi generasi muda utk berobsesesi setinggi mungkin dg berjuang semaksimal mungkin. Insya Allah lebih dari 50 % cita-cita itu akan tercapai. Smg bermanaat. Wallhu a'lam.

Pesma An-Nur Wonocolo, 5 Rajab 1441 H/ 29 Pebruari 2020.




Sabtu, 07 Maret 2020

Inspirasi Santri


Artikel bagus untuk inspirasi. Orang hebat selalu punya cara unik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selain KH. Asep Saifudin Chalim sebagi dzuriyah para kiai yang saya yakin imbas dari keistikomahan dan doa doa serta pengabdian pada umat juga karena usaha dan tirakatnya luar biasa. Sewaktu di pondok pesantren makan kerak nasi (intip: jawa) itu merupakan cara yang unik sekali. 

Kalau bukan karena doa doa nenek moyangnya yang merupan ulama ulama yang ihlas hanya mengaharap ridha Allah tak mungkin belau mampu bertahan dengan idealismenya. Berikut saya share tulisan Dahlan Iskan Bos Jawa Pos Grup dengan judul Kiai Profesor. artikel ini sebagai arsip pribadi karena saya suka membaca dan mempelajari perjalanan kesuksesan kiai dalam merintis pengabdian dan perjuangan pada ummat.
=============
KIAI PROFESOR
Rabu 04 March 2020
Oleh : Dahlan Iskan

Untuk apa sampai perlu mengejar gelar profesor?
Bagi Kiai Asep Saifudin Chalim tujuannya konkret sekali: ingin membuka universitas internasional.
Dan ia sendiri yang akan memimpinnya.
Dan itu harus terjadi dalam lima tahun ini.

Hakekatnya beliau sudah mampu melakukan itu tanpa gelar profesor. Baik dari segi finansial, jaringan, kapasitas intelektual, maupun ide besar. Dan utama dari track record-nya di bidang pembangunan pendidikan.

Tapi persyaratan formal dari pemerintah mengharuskan gelar doktor dan profesor.
”Inilah penganugerahan gelar profesor yang tidak perlu mempersoalkan hakekatnya. Ini hanya syari'atnya saja,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

Sang rektor, Prof. Dr. Masdar Hilmy adalah orang Tegal dengan gelar doktor dari Melbourne University. Sejak muda Masdar sudah menjadi penulis di koran nasional, termasuk Kompas. Tema tulisannya biasanya tentang multikulturalisme.

Masdar tahu persis kapasitas dan hasil karya Kiai Asep. ”Beliau sebenarnya sudah tidak memerlukan gelar ini,” kata Prof. Masdar Hilmy dalam pidatonya Sabtu lalu.

Untuk mendirikan perguruan tinggi internasionalnya itu Kiai Asep sudah menyiapkan tanah 60 hektare. Lokasinya di Pacet, di perbukitan cukup indah di selatan Mojokerto, Jatim.
Di Pacet itu pula Kiai Asep membangun pondok pesantren. Sudah dilakukan.

Tergolong baru: tahun 2007. Tapi perkembangannya luar biasa pesat : mutunya, sistem pengajarannya maupun fisik kampusnya.

Areal tanahnya bertambah terus. Tiap bulan beli tanah baru. Awalnya hanya 1 hektare. Kini sudah mencapai 40 hektare lebih. Dan akan segera menjadi 100 hektare.
Siswanya juga terus bertambah.
Kini sudah lebih 10.000 orang. Belum ada pesantren baru yang kepesatan pertumbuhannya secepat itu.

Nama pesantren tersebut: Amanatul Ummah. Tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional --yang dibidani Muhammadiyah itu. Kiai Asep adalah tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan ia jadi NU sudah sejak sebelum lahir. Ayahnya adalah salah satu kuai besar pendiri NU --Kiai Abdul Chalim.

Sebetulnya Kiai Asep sudah pula mendirikan perguruan tinggi di Pacet itu. Saya ikut peresmiannya, empat tahun lalu. Lokasinya di sebelah Amanatul Ummah.
Namanya: Institute Abdul Chalim --untuk menghormati bapaknya. Sudah pula memiliki mahasiswa dari 10 negara.

Tapi Kiai Asep belum puas dengan semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan. Sampai terbayar ”dendam” nya waktu kecil.
Waktu itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim --arah Pandaan-- banyak berdiri pabrik baru. Mayoritas milik asing.
Ia pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya yang berpendidikan dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di situ.
Maka Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Lewat pendidikan.
Itu tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN 1 Sidoarjo. Tidak ada lagi kiriman bekal hidup.
Apalagi ia anak bungsu dari 21 bersaudara.
Kisah Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot Sujono --teman satu kelasnya.
Di forum penganugerahan itu Gatot --juga saya-- diminta memberikan testimoni. Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.
Saat sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al Khoziny --yang didirikan oleh KH Abbas Khozin.
Ayahnyalah yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang pernah lama di Jatim --berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu pendiri NU.
Di pondok itu semua santri masak sendiri --kecuali Asep. Itu karena Asep tidak punya bahan yang bisa masak.

Tengah malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya --yang biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.
Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan --sekali itu dalam sehari.
Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo --sejauh sekitar 5 Km.
Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis --pelajaran apa pun ditulis di satu buku situ.
Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.
Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.
”Beliau itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang tidak pakai sepatu. Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.

Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.
Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.
Itu soal bunyi kokok ayam jantan.
”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.
Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!
”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.
Pertengkaran pun terjadi.
Tidak pernah terselesaikan.

Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.
”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.
Pamit ke mana?
Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.

Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.
Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.
Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya --jurusan bahasa Inggris.

Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.
Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda.
Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto --sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.

Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.

Presiden Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu' memberi hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk hormat.
”Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.

Kiai Asep memang memegang peran utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim. Padahal kalau suara di Jatim imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang ini.
Gatot sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot melamar kerja di kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara negara di Samarinda.
Sebelas tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di Universitas Mulawarman. Di Samarinda pula ia menemukan isterinya sekarang --anak orang Malang yang juga merantau ke Samarinda.

Gatot lantas mendapat bea siswa ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di Newark. Lalu mendapat bea siswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri Malang.
Setelah pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul Chalim milik Asep.
Pertengkaran saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya tahu: di Jawa Barat bunyi kokok jago adalah 'kongkorongkooong'.
Gatot sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran Majalengka --anak kiai besar di sana. ”Selama di SMA beliau menggunakan bahasa Jawa yang halus,” ujar Gatot.

Saya ikut memberikan pidato testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat ingin salat subuh di Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat tiba di Amanatul Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan masjid.

Habis salat Subuh tidak ada yang keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab kuning. Semua santri membuka kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.
”Siapa yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah saya.
”Beliaunya Kiai Asep,” jawab si santri.

Oh... Inilah kunci sukses Kiai Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam mengurus lembaga pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian tertentu.
Ternyata, tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di Siwalankerto Surabaya ke Pacet. Tiap jam 2.30 pagi .. Tiap hari.


sumber: https://www.disway.id/r/857/kiai-profesor?fbclid=IwAR35GA6x0KDMkPZONL31nrxFpDZ6KZGlx337TcX38wBp3reB-TqJUO78Y_0

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost