Dalam sejarah Islam, Hizbut Tahrir
bukanlah satu-satunya partai, ormas, atau kelompok Muslim yang menggagas dan
mengembangkan ide dan konsep khilafah (caliphate).
Ada banyak individu dan kelompok
keislaman, sejak masa klasik hingga dewasa ini, yang membincangkan tentang
khilafah ini. Hanya masing-masing pihak memiliki pandangan berlainan tentang
khilafah ini.
Hugh Kennedy, seorang profesor
Bahasa Arab dan ahli kajian sejarah Islam klasik di School of Oriental and
African Studies, University of London, pernah menulis dalam bukunya Caliphate:
The History of an Idea, sebagai berikut: "The concept of caliphate has had
many different interpretations and realizations through the centuries, but
fundamental to them all is that it offers an idea of leadership which is about
the just ordering of Muslim society according to the will of God."
Seperti Kennedy jelaskan, karena
diinisiasi oleh banyak ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran,
khususnya Sunni dan Syiah, gagasan dan konsep khilafah dalam implementasinya
memiliki banyak tafsir dan pendapat yang berbeda-beda.
Bukan hanya tentang ide khilafah
itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana mekanisme sistem politik
kekhilafahan serta proses pemilihan seorang khalifah (caliph) sebagai pemimpin
atau pemegang otoritas tertinggi, dalam sistem pemerintahan khilafah.
Bagi Sunni pada umumnya, seorang
khalifah yang secara kebahasaan berarti "pengganti, pelayan, atau
wakil" harus dipilih oleh komunitas Muslim melalui sebuah proses
politik-budaya tertentu (baik dipilih secara kolektif melalui forum musyawarah
yang melibatkan banyak pihak, maupun melalui diskusi terbatas orang-orang
tertentu yang dipandang memiliki otoritas politik-keagamaan).
Meskipun dalam praktiknya juga
sering tidak konsisten karena banyak "rezim khilafah" Sunni yang
kemudian mengadopsi sistem monarki, terutama sejak Kekhilafahan Umayyah di mana
seorang khalifah berikutnya bukan dipilih oleh publik Muslim maupun
representasi mereka, melainkan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.
Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan
(Muawiyah I, 602-680 M.), pendiri Dinasti Umayah sekaligus memproklamirkan diri
sebagai khalifah, berturut-turut seorang khalifah ditunjuk dari keluarga dekat
khalifah pendahulu.
Sementara itu, bagi kelompok
Syiah, seorang khalifah harus seorang "imam yang ma'sum" (bebas dari
maksiat), yang dipilih langsung oleh Tuhan dari keturunan keluarga Nabi
Muhammad (Ahlul Bait).
Dalam konteks sejarah Islam,
khilafah adalah sebuah polity atau semacam "entitas politik" yang
kemudian berkembang menjadi berbagai imperium yang bersifat multietnis dan
transnasional.
Pada Abad Pertengahan Islam, ada
tiga pemerintahan khilafah: Rasyidun (632-661), Umayyah (661-750), dan
Abbasiyah (750-1258). Kemudian Turki Usmani (Ottoman) juga mengklaim sebagai
Khilafah Islam setelah menaklukkan Dinasti Mamluk (berpusat di Mesir) pada
1517.
Bukan itu saja, dalam sejarah
politik Islam, ada sejumlah rezim politik-pemerintahan lain yang mengklaim
sebagai khilafah.
Sebut saja Fatimiyah di Afrika
timur/utara (rezim Syiah Ismaili, 909-1171), Umayyah II di Semenanjung Iberia
di Eropa (929-1031), Al-Muwahhidun (rezim Muslim Berber di Maroko, 1121-1269;
didirikan oleh Abd al-Mu'min), dan Sokoto di Afrika Barat (1804-1903).
Sokoto adalah kekhilafahan Islam
yang didirikan oleh Syaikh Usman bin Fodio, seorang sarjana Islam dan dai
ternama, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Hausa di Nigeria (dan juga
Kamerun) dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Fulani.
Kekhilafahan Sokoto ini kelak
dihapus oleh Inggris pada 1903. Sementara itu, sistem kekhilafahan Turki Usmani
dihapus oleh Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Negara Turki modern, pada 1924
menyusul kehancuran Turki Usmani pada Perang Dunia I.
Oleh sejumlah kelompok Islamis
radikal, pada 1924 itulah yang dijadikan sebagai "tahun wafatnya"
sistem khilafah. Sebetulnya, ketika Perang Dunia I meletus, ada sejumlah
kelompok yang berusaha menyelamatkan sistem khilafah sekaligus untuk
mempertahankan kekhilafahan Turki Usmani.
Misalnya, Gerakan Khilafah oleh
sejumlah pemimpin Muslim di India pada 1920-an untuk melawan Inggris. Penggerak
khilafah ini antara lain adalah Mohammad Ali Jouhar dan Maulana Abul Kalam
Azad. Konon, Mohandas Gandhi juga mendukung gerakan ini dengan duduk sebagai
anggota di Central Khilafat Committee.
Namun, gerakan khilafah ini gagal
total dan hancur berantakan setelah penangkapan sejumlah pemimpin dan
pentolannya oleh pemerintah kolonial Inggris.
Meskipun Mustafa Kemal Ataturk
menghapus secara resmi sistem khilafah pada 1924, ide-ide pendirian (kembali)
sistem khilafah masih bermunculan di sejumlah tempat.
Di Hijaz (kini wilayah Saudi),
Syarif Hussein pernah mendeklarasikan "Khilafah Syarifiyah" pada
1924. Tetapi sayang umur "Khilafah Syarifiyah" ini tidak panjang
karena beberapa tahun kemudian Hijaz ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz Al Saud,
pendiri Kerajaan Arab Saudi modern.
Bukan hanya di kalangan Sunni dan
Syiah saja diskursus tentang khilafah ini berkembang. Ahmadiyah, sebuah gerakan
revivalis Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, pada
1889 juga mengklaim tentang sistem kekhilafahan ini.
Setelah kematian Mirza Ghulam
Ahmad yang mengklaim sebagai Mesias atau Imam Mahdi pada 1908, penggantinya,
Hakim Nuruddin, memproklamirkan diri sebagai "Khalifah Ahmadiyah"
dengan julukan "Khalifah al-Masih" (yakni pengganti, pelayan, atau
wakil dari Sang Mesias, yaitu Mirza Ghulam Ahmad).
Bagi kalangan Ahmadiyah, Khilafah
Ahmadiyah adalah sebuah bentuk pendirian kembali atau kelanjutan dari sistem
"Khilafah Rasyidun" (al-Khulafa al-Rasyidun), yang didirikan oleh
para sahabat Nabi Muhammad.
Ide pengguliran pendirian khilafah
ini terus bergulir dan digulirkan oleh sejumlah tokoh dan faksi Islam.
Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan
al-Banna (1906-1949), seperti ditulis oleh Oliver Roy dalam Failure of
Islamism, juga pernah menginisiasi untuk merestorasi sistem khilafah. Ikhwanul
Muslim (berdiri di Mesir pada 1928) adalah sebuah kelompok Islamis yang
mengadvokasi gagasan Pan-Islamisme dan implemntasi Syariat Islam.
Di kemudian hari, kelompok
Ikhwanul Muslimin mengalami proses radikalisasi ekstrem setelah sejumlah
ideolog dan pentolan organisasi ini seperti Sayyid Qutub dan adiknya Muhammad
Qutub, mendapatkan perlakuan buruk dari rezim sekuler Mesir.
Penting dicatat bahwa pendirian
Ikhwanul Muslimin dilatari oleh kebangkrutan sistem Khilafah Turki Usmani di
satu sisi, serta kolonialisme Eropa di kawasan Muslim Arab di pihak lain.
Karena itu, wajar jika Hasan
al-Banna ingin menghidupkan kembali sistem khilafah setelah Mustafa Kemal
memberangusnya.
Kelak, pada 1953, Taqiyuddin
al-Nabhani, yang juga merupakan kader Ikhwanul Muslimin, mendirikan Hizbut
Tahrir di Yarusalem setelah menyaksikan pendirian Negara Israel modern serta
kekalahan Bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1948, yang berdampak pada
pendudukan Palestina oleh Bangsa Israel.
Salah satu tujuan utama Hizbut
Tahrir, tentu saja pendirian sistem khilafah yang dipandang mampu menjadi
penyelamat kebangkrutan politik umat Islam.
Selain Ikhwanul Muslimin dan Hizbut
Tahrir, sejumlah kelompok radikal-Islamis-revivalis seperti Al-Qaidah, Jamaah
Islamiyah, Abu Sayyaf Group, Boko Haram, Ansar al-Sharia, Jabhat al-Nusra,
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dsb juga menggemakan gagasan restorasi
sistem khilafah ini.
Ada banyak sarjana yang mengulas
tentang sejarah dan perkembangan konsep khilafah dan siapa saja para
pendukungnya seperti Hugh Kennedy, Tom Kratman, Mona Hassan, William Muir, dsb.
Meskipun berbagai kelompok di atas
menggaungkan ide khilafah, tetapi masing-masing memiliki pandangan, metode,
pendekatan, taktik, motivasi, dan tujuan yang berbeda.
Ada yang memandang khilafah
sebagai gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara,
ada pula yang berskala lokal atau regional. Ada yang memandang khilafah sebagai
gerakan politik tanpa kekerasan.
Tetapi ada juga kelompok Islamis
yang bersikeras mewujudkan khilafah dengan cara-cara apapun, termasuk
kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.
Menariknya, meskipun mereka
sama-sama menyerukan restorasi dan pendirian (kembali) sistem khilafah, tetapi
antar-mereka juga terlibat konflik akut dan saling serang dan memerangi satu
sama lain seperti perseteruan antara ISIS dan Jabhat al-Nusrah atau ISIS versus
al-Qaidah.
Ada banyak faktor, baik ideologis
maupun politis, yang menyebabkan mereka saling seteru. Kelompok Hizbut Tahrir
juga digempur di mana-mana oleh berbagai kelompok Islamis-radikal.
Ini menunjukkan bahwa kelompok
Islam pengusung khilafah ini, jauh dari kata tunggal dan monolitik seperti yang
dibayangkan oleh banyak orang.
Apapun perbedaannya, yang jelas
ide khilafah memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks.
Berbeda dengan masa klasik dan
abad pertengahan, kemunculan kembali gagasan khilafah di era kontemporer karena
tidak lepas dari berbagai situasi sosial-politik-ekonomi-budaya yang menimpa
kaum Muslim, dan dipandang tidak menguntungkan mereka.
Keterpurukan, kemunduran,
keterbelakangan, kekalahan, dan situasi-kondisi carut-marut lain yang menimpa
kaum Muslim itulah yang membuat sejumlah kelompok Islam berandai-andai untuk
membangkitkan kembali sistem khilafah, yang oleh mereka dianggap sebagai "sistem
politik alternatif" atau "obat mujarab" yang mampu menyembuhkan
luka menganga dan duka-lara umat Islam.
Tetapi mereka lupa bahwa sistem
khilafah pun, jika mengacu pada sejarah Islam, jauh dari sempurna. Kejahatan,
keburukan, kekejaman, kekerasan, dan penindasan juga terjadi di era
kekhilafahan Islam.
Memang, sistem politik apapun,
baik relijius maupun sekuler, bukanlah sebuah jaminan bagi terwujudnya sebuah
masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa.
Semua memang tergantung pada
kualitas individu pelaku yang menggerakkan sistem politik-pemerintahan itu.
Bahkan ada ungkapan, sistem yang bobrok akan jauh lebih baik hasilnya jika
dipegang oleh orang yang baik.
Sebaliknya, sistem yang baik akan
berujung pada kebobrokan jika dikendalikan oleh orang-orang jahat. Masihkah
bermimpi dengan sistem khilafah? Wallahu 'alam bi shawwab.
Sumato al-Qurtuby dicopas dari : http://news.liputan6.com/read/3018050/khilafah-sepanjang-jalan-sejarah
1 komentar:
Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
Posting Komentar