Jumat, 20 April 2012

proposal

TERM OF REFERENCE “PERS MAHASISWA ; ANTARA MEDIA ALTERNATIF WADAH DEMOKRASI DAN BUDAYA” A. IFTITAH Sejarah pers mahasiswa adalah sebuah kisah romantis yang manis membuahkan hasil gemilang atas momentum penting dalam sejarah Indonesia. Panorama sejarah mendedahkan perjuangan pers mahasiswa sejak zaman colonialisme-imperialisme (1914-1945) persma menjadi sarana penyebaran ide-ide nasionalisme, pembaruan dan kemerdekaan. Sejarah juga mencatat pers mahasiswa terjebak dalam politik elit dan menjadi alat kepentingan politik tertentu, yaitu era demokrasi terpimpin (1959-1966). Memasuki era orde baru tahap awal (1966-1974) persma secara kuantitatif oplahnya memimpin sirkulasi pers nasional, rentang waktu ini ruang public terbuka dan kritik atas kekuasan tidak dilarang tetapi tidak langgeng. Tahap selanjutnya dari era orde baru (1974-1978) ketika sebuah rezim yang despot perlu menguji soliditasnya pecahlah tragedy Malari yang berdampak pengekangan atas ekspresi politik mahasiswa, persma pun tiarap. Kemudian selama lebih dari satu decade (1978-1990, terjebak dalam rezim yang otoriter, persma tumbuh menjadi semacam kekuatan alternative demokrasi. Hingga era kejatuhan orba dan menjelang orde reformasi (1998), akibat kesalahan pembusukan internal yang dahsyat serta akumulasi penderitaan social akibat mismanajemen Negara menimbulkan massifikasi protes ditabuhlah genderang reformasi, persma membackup gerakan menuju reformasi ini dengan bentuk media aksi atau lazim dikatakan sebagai media propagandis yang berwujud terbitan-terbitan temporer (selebaran-selebaran ajakan turut berdemonstrasi).Pers mahasiswa dalam lintasan sejarah telah membuktikan dirinya sebagai media alternative demokrasi. Situasi pasca reformasi (21 Mei 1998) ditandai dengan perayaan kemenangan demokrasi ada luapan kegembiraan, kepuasan atau bisa dibilang euphoria. Pers mahasiswa memasuki masa transisi demokrasi, semacam labirin baru bagi Indonesia. Berada dalam situasi baru pers mahasiswa dihadapkan pada problem internal dan eksternal. Problem internal, pertama harus menjawab pertanyaan fungsinya sebagai wadah pembelajaran, semacam motor pembentuk tradisi menulis. Kedua sebagai wadah pembangun kesadaran, semacam tempat persemaian ide-ide baru. Dan yang ketiga sebagai wadah kerja-kerja jurnalistik yang dengan ini pers mahasiswa menjadi milik kampus. Sedangkan pada problem eksternal ditengah arus globalisasi yang merasuk dalam relung social, politik ekonomi dan budaya yang melanda negeri. Pers mahasiswa dihadapkan pada problem situasi yang melingkupi, berupa hadirnya bermacam fenomena yang memerlukan respon yang mengakar, menjadi semacam bentuk the pers of discourse (pers wacana). Artinya pers mahasiswa menemukan signifikansinya sebagai wadah budaya ditengah mainstream pers Nasional yang lebih dominan serta memiliki kecenderungan profit. Mahasiswa pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat kita dan juga sebagai generasi unggulan dan juga kaum elite di kalangan pemuda bangsa, bahkan lebih dari sekedar itu mahasiswa juga merupakan kalangan terpelajar yang harus senantiasa melakukan aktivitas gerakan. Perjalanan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dalam bentangan sejarah tidak memperlihatkan bagaimana organisasi ini mampu untuk bertahan, lebih dari itu BEM telah dapat menunjukkan ketangguhan dan kematangan eksistensi gerakanya ditengah-tengah dinamika perubahan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi dan di lingkungan bangsa pada umumnya. Fase gerak sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang cenderung berjalan dalam ranah acak menjadikan segenap aspek dalam kehidupan berada dalam kondisi keserba tidak menentuan. Segenap elemen masyarakat dan organ gerakan timbul tenggelam dalam arus perubahan. Banyak diantaranya terpaksa menanggalkan jati diri dan tunduk pada realitas untuk memasuku ruang-ruang prakmatisme baru. Waktu juga membuktikan bahwa tidak sedikit sosok idealis masa lampau tidak lolos uji dan saat ini dan saat ini menjadipenyumbang besar dalam proses pembusukan bangsa ini. Di tengah kondisi demikian, badan eksekutif mahasiswa sebagai entitas masyarakat dan organ gerakan, dengan segala kelebihan dan kekurangan tetap dapat berdiri kukuh dan semakin mematangkan diri dalam mengawal jati diri sebagai gerakan internal dalam pembentukan generasi-generasi bangsa yang tangguh dan militan dalam membawa perubahan bangsa ke arah positif menuju kemajuan bersama. Dalam kaitanya dengan gerakan dalam merubah kondisi mahasiswa dan pemuda pada umumnya maka kami badan eksekutif mahasiswa sekolah tinggi ilmu tarbiyah muhammadiyah Bojonegoro bermaksud mengadakan seminar dan diklat jurnalistik. Upaya semacam ini yang ingin kami wujudkan sebagai bentuk kongkrit dari membekali dan membimbing generasi muda untuk senantiasa memiliki satu pengalaman dan ilmu guna membawa perubahan bangsa menuju perubahan yang lebih rapi dan harmonis. B. Nama dan Tema Kegiatan  Kegiatan ini bernama “DIKLAT JURNALISTIK LEMBAGA PERS MAHASISWA SE PANTURA”  Tema kegiatan ini adalah “Cerdas media basis masyarakat ilmiah” C. Waktu dan Tempat Kegiatan  Kegiatan ini Insya Allah akan dilaksanakan pada tanggal 16, 23, dan 30 Mei 2012  Tempat di AULA yayasan tarbiyatut tholabah jl: kh musthofa 01. Kranji paciran lamongan D. Maksud dan Tujuan Kegiatan a. Membekali Mahasiswa dalam pengetahuan Jurnalistik b. Wahana pengembangan kemampuan tulis menulis dan kemampuan berfikir c. Menciptakan budaya Baca dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan d. Menciptakan wadah kritik sosial mahasiswa secara cerdas (dalam tulisan). e. Terbentu asosiasi lembaga pers mahasiswa di pantura E. Peserta Kegiatan Peserta Diklat Jurnalistik hanya akan diikuti oleh 40 peserta sebagai maksimalisasi kegiatan, yang semuanya berasal dari : a. LPM perguruan tinggi se kab lamongan b. LPM perguruan tinggi se kab gresik c. LPM perguruan tinggi se kab bojonegoro d. LPM perguruan tinggi se kab tuban F. Kepanitiaan Terlampir G. Rencana Anggaran Terlampir H. Jadwal Kegiatan Terlampir I. Penutup Demikian term of reference ini kami sampaika kepada yang berkepentingan dan sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan yang dimaksud. lamongan, 06 Maret 2012 Panitia, SULTHON Ketua ANI EL MUNAF Sekretaris Mengetahui, Ketua Lembaga pers Mahasiswa STAIDRA EKA JAYANTI Ketua Presiden SEMA STAIDRA ANI EL MUNAF Sekretaris Mengembalikan Peran Pers Mahasiswa Minggu, 24 Juli 2011 20:43 M. Khamdan Kunjungan: 344 Parist - Artikel - Proses perjalanan transfer informasi public yang semakin berkembang di Indonesia, seolah telah menjadikan pers terkesan tidak lagi memberi pelajaran demokratisasi menuju perwujudan masyarakat madani. Pernyataan tersebut bisa ditimbulkan dari sistem kapitalistis, di mana media cenderung mengemas informasi berdasarkan selera pasar yang menjual, seperti adanya permainan hasil-hasil survei yang disinyalir merupakan produk pesanan. Di sinilah yang menjadikan gugatan atas kemandulan peran pers mahasiswa. Lebih dari empat tahun lalu, fenomena tersebut seseungguhnya telah menjadi tema masalah pelik dalam Konferensi Nasional Pers Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (19/5/2005). Ketika itu pers mahasiswa dipandang dalam kondisi memprihatinkan di tengah euforia kebebasan pers umum. Pers mahasiswa kehilangan gigi karena media umum sudah berani menulis kritik sosial dengan bahasa “pedas”. Perubahan Zaman Selama hampir 80 tahun, pers mahasiswa telah menunjukkan eksistensinya dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia, dari era prakemerdekaan sampai masa reformasi bergulir. Di era perjuangan meraih kemerdekaan, Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada 1920-an oleh Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, setidaknya mengawali peran gerakan pers mahasiswa sebagai agen pemasok informasi faktual dan propaganda gerakan sosial di Indonesia, sampai akhirnya muncul Soeara Indonesia Moeda, sebuah media yang terbit atas kerjasama para pemuda dan mahasiswa dalam Sumpah Pemuda 1928. Perjuangan di masa ini adalah penyadaran makna pembebasan sosial dalam wujud kemerdekaan. Eksistensi pers mahasiswa mengalami masa booming ketika orde lama dan orde baru berkuasa secara bergantian. Pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, berkolaborasi bersama sesama aktivis pergerakan melalui jalan yang berbeda dan bertemu pada muara yang satu, yaitu pembebasan. Umumnya pers mahasiswa menghadirkan informasi dan opini untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan analisis mahasiswa terhadap kehidupan berkampus, bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan aktivis pergerakan melanjutkannya dengan aksi di jalan. Simbiosis ini sebagaimana diurai Fadjroel Rahman dalam buku Pers Dalam 'Revolusi' Mei (2000). Paling tidak ada beberapa catatan tentang gerakan intelektual organik kalangan pers mahasiswa. Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) maupun Sarikat Pers Mahsiswa Indonesia (SPMI), kemudian melebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1958, dan akhirnya berafiliasi dalam wadah Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sejak deklarasinya di Malang, 15 Oktober 1992. Dalam konteks ini transformasi gagasannya berani bertarung dalam ruang publik dengan menghapus sekat primordialisme dan menjadi media alternatif. Sekat-sekat ideologi dilebur menuju ruang civil society sebagai basis ide perjuangannya. Reposisi Upaya menyegarkan kembali peran pers mahasiswa dalam tahun-tahun ke depan, bisa dilakukan melalui banyak bidang garapan. Pertama, peran edukatif. Saat ini kebebasan akademik di perguruan tinggi telah menemukan momentum, namun keberhasilan dunia pendidikan Indonesia tetap juga jauh dari harapan. Menganut John S Brubacher dalam History of Phylosophy Education, pendidikan nasional telah terjebak strukturalisme, yaitu angka sebagai penanda kecerdasan. Konsekuensinya, pers mahasiswa harus menjadi sarana pembelajaran alternatif untuk mengimbangi ketertekanan masyarakat yang terjauhkan dari kesadaran atas realitas sosial. Kedua, peran pengawasan. Memakai konsepsi Foucault bahwa kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa, maka terdapat adanya proses produksi wacana dalam sebuah media untuk menghegemoni nalar masyarakat. Oleh karena itu pers mahasiswa harus melakukan model pengawasan terhadap media agar mampu menampilkan wacana-wacana dominan sekaligus yang terpinggirkan. Dari sini jelas bahwa mesti ada reposisi peran. Pers mahasiswa harus tetap memiliki prinsip how to change the world bukan sekadar how to see the world. Hal ini harus dilakukan agar pers mahasiswa tidak mati suri karena ragu menentukan orientasinya ke depan. [Muh. Khamdan, Mantan Sekretaris PPMI Dewan Kota Semarang dan fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI] http://paradigmainstitute.com/home/artikel-terbaru/artikel/mengembalikan-peran-pers-mahasiswa.html OLEH : FOLLY AKBAR Kalau benar bahwa pers mahasiswa mempunyai hakikat yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mahasiswa, maka ia adalah sebuah ruh. Ekspresinya bisa tebal ataupun tipis, tetapi secara eksistensial ia ada: menyelinap kesana-kemari. Suatu saat bisa teramat lesu, tetapi saat yang lain bisa sangat bergairah(BALAIRUNG, Edisi 13/Tahun V/1991) Pers dan mahasiswa adalah dua elemen yang memiliki peranan besar dalam sejarah Indonesia. Kapasitas pers sebagai media menjadikanya media paling efektif untuk menggerakan massa. Sedangkan mahasiswa yang secara psikologi menurut Aristoteles adalah kaula muda mengalami suatu minat terhadap dirinya, minat terhadap sesuatu yang berbeda atas lingkungan dan realitas kesadaran akan dirinya. Disamping itu Frank. A dalam ungkapanya menyatakan Mahasiswa adalah suatu kelompok elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema “marginal elites”. Ini mengakibatkan karakter mahasiswa menjadi radikal, kritis dan suka dengan perubahan. Ketika dua elemen tersebut di satukan, tentu akan melahirkan sesuatu yang meengerikan. Visi jurnalistik ditunaikan untuk memberikan liputan yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme tertentu diramu dengan visi idealistik mereka untuk melakukan kontrol sosial akan melahirkan suatu bentuk media perjuangan baru: mewsletter perjuangan. Dan ini dibuktikan dengan apa yang diberikan kawan mahasiswa(pers mahasiswa) sepanjang sejarah Indonesia. Gerakan Mahasiswa sepanjang waktu tidak lepas dari pengaruh para aktivis Pers mahasiswa. Karena kita percayai disini, Pers mahasiswa adalah suatu alat perjuangan bagi kaum aktivis gerakan mahasiswa, corong kekuatan dalam menyalurkan aspirasi kritis seorang tunas bangsa, dan kita akan melihat hubungan diantara keduannya sangat erat. Pers mahasiswa di Indonesia sudah ada sebelum masa kemerdekaan, pers mahasiswa waktu itu menjadi alat untuk menyebarkan ide-ide perubahan yang menitik beratkan pada kesadaran rakyat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1938) yang secara gigih dan konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan kemerdekaan. Memasuki orde baru pers mahasiswa mulai menggeliat di setiap perguruan tinggi, puluhan pers mahasiswa muncul akibat ulah rezim orde baru yang otoriter. Kelahiranya memiliki peranan yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam menggagas gerakan social dan demokrasi di Indonesia. Ketika masa orde baru pers professional tidak memiliki taring, pers mahasiswa lahir sebagai kancah pemikiran alternative. Hal ini dibuktikan dengan jayanya Harian Kami, Salemba, Kampus, Gelora Mahasiswa, atau Mahasiswa Indonesia—generasi kedua pers mahasiswa yang pernah mencapai oplah puluhan ribu, bahkan menyaingi Kompas kala itu? Keberhasilan yang Mahal Ketika pers mahasiswa turut andil memperjuangkan lahirnya demokrasi, nyatanya keberhasilanya harus dibayar mahal dengan kian redupnya pers mahasiswa dimasa reformasi. Dengan tumbangnya orde baru yang berarti lahirnya demokrasi secara utuh, kondisi ini menggeliatkan media professional untuk unjuk gigi setelah 4 dasawarsa tertidur dalam tempurung penguasa. Hal sebaliknya terjadi di pers mahasiswa. Setelah sekian lama berlari akhirnya ada masa bagi pers mahasiswa untuk mulai redup ketika tidak mampu bersaing dengan pers umum. Dan masa Reformasi merupakan era baru perjuangan aktivis pers mahasiswa. Benar saja, saat ini pers mahasiswa sudah tidak lagi memiliki taji di luar kampus. System demokrasi membuat mahasiswa nyaman dan tidak merasa tertekan seperti masa orba. Ini berakibat dengan menurunya kedinamisan aktivis pers mahasiswa. Dengan potensi yang demikian, akan semakin sulit bagi pers mahasiswa bersaing dengan pers umum yang dikerjakan oleh tangan-tangan yang professional. Jika pada masa romantisme produksi berita pers mahasiswa menjangkau isu nasional, saat ini geliatnya hanya sekitar kampus. Sekmen pembacanya pun mengalami penurunan seiring melemahnya minat baca mahasiswa. Celakanya lagi, eksistensinya yang tidak dianggap sebagai insan pers, mengakibatkan pers mahasiswa di anggap sebelah mata. Pelakukan kesar dan anarkis diterima aktivis pers mahasiswa ditengah tidak adanya payung hukum yang melindunginya. Tidak hanya disitu, saat ini pers mahasiswa hanya dipersepsi sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa yang dinamikanya bergantung pada dinamika universitas. Modal produksi hampir semuanya berumber dari universitas sehingga mati jika saluran modal itu dihentikan. Kalau kata pribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga. Keberhasilan pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia seperti sedia kala akan dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu memenuhi validitas keshahiannya. Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi laboratorium jurnalistik belaka. Selain itu, perlu adanya konsolidasi antara pers mahasiswa dengan pers umum, agar keberadaanya di akui dewa pers. Sehingga aka nada paying hokum yang melindungi langkahnya. Dalam terkikisnya budaya idealitas masyarakat khususnya mahasiswa yang sudah demikian jauh, penulis mengajak seluruh aktivis pers mahasiswa di Indonesia untuk kembali menengok romantisme sejarah pers mahasiswa Indonesia secara proporsional, lalu kita sesuaikan dengan konteks zaman dimana kita berproses saat ini. http://follyakbar.blogspot.com/2012/03/revitalisasi-peran-pers-mahasiswa.html Eksistensi dan Peran Strategis Pers Mahasiswa * Oleh : Eki Baihaki ** Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru ke jalan pembebasan, menolak kepalsuan (QS All 'Imran [3]: 104) Arnold P. Toynbee, dalam bukunya The History of Mankind, memaparkan hasil penelitiannya terhadap 26 peradaban, termasuk masyarakat yang selalu tertindas, salah satu hasil kajiannya, dikatakan akan selalu saja ada sekelompok (kecil) pemimpin bangsa itu yang membimbing bangsanya dalam merespon tantangan yang ada dan mengatasinya. Alnold P. Toynbee menyebutnya The Creative Minorities, menurut hemat saya salah satu The Creative Minorities di Indonesia adalah mahasiswa, yang juga sering dikatakan sebagai elit intelektual. Dan salah satu dari media perjuangan yang dilakukan para mahasiswa adalah melalui pers m ahasiswa. P ers mahasiswa dan pers pada umumnya pada dasarnya tidak berbeda. Kalaupun berbeda karena sifat kemahasiswaannya yang tercermin dalam bidang redaksional dan struktur organisasnya. Di samping itu kondisi yang dihadapi oleh pers mahasiswa pada kenyataannya tidak berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh pers umum itu sendiri. Dan sejarah menunjukan Pers mahasiswa turut andil berperan aktif memberikan kontribusi yang berarti bagi dinamika sejarah bangsa Indonesia. Pers mahasiswa adalah aktivitas jurnalitik yang dilandasi idealisme yang tinggi yang berani merefleksikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat kampus maupun masyarakat di luar kampus. Pers mahasiswa sebagai pencerminan jiwa mahasiswa harus menjadi perintis dan pendorong dalam mewujudkan modernisasi negaranya. Di negara yang sudah maju pers mahasiswa merupakan “community paper” daripada masyarakat mahasiswa. Ia kurang ambil bagian akan persoalan-persoalan nasional negaranya. Tapi di Indonesia, dan juga negara yang baru, “new-born countries” , dimana jumlah kaum intelektualnya masih terbatas, pers kampus memiliki peran yang strategis. Istilah pers kampus lahir ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan No. 028/U/1974 pada tanggal 3 Pebruari 1974, satu point diantaranya berbunyi :“Pers mahasiswa dibina dan dikembangkan sebagai media tukar menukar informasi dan pengalaman antar civitas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan dalam hubungan dengan peningkatan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi” Di era orde baru, ternyata kehidupan pers mahasiswa kurang mampu berperan. Banyak kalangan menilai pers mahasiswa telah “mati” alias “sepi”. Konon ini karena kondisinya yang tak mendukung, sehingga berimplikasi pada kemandulan daya nalar dan kritisme mahasiswa terhadap lingkungan, gejala sosial dan beragam masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa. Pers mahasiswa dalam eksisitensinya memiliki tantangan yang cukup berat. Sebab selain mempunyai kewajiban memberi informasi dan opini yang benar serta aktual, pers mahasiswa juga mesti mampu menembus ruang ketidak pedulian mahasiswa sebagai calon pembacanya, dalam iklim budaya baca dan menulis yang masih rendah. Tak ada yang dapat menyangkal bahwa media massa telah membangun sebuah kesadaran kolektif rakyat untuk mensikapi realitas politik yang sedang berkembang. Di era pasca Soeharto, posisi dan kinerja media massa, terutama media cetak, mulai menemukan ruang kebebasan yang relatif lebih terbuka. Pada tanggal 21 Mei 1998 telah terjadi perubahan sosial politik yang cukup mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia bersamaan dengan tuntutan perbaikan di berbagai bidang telah memaksa presiden Soeharto turun sebelum habis masa jabatannya. Era yang kerap disebut sebagai era reformasi membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia dimana era demokrasi telah terbuka lebar dan memberi peluang untuk kebebasan berpendapat dan mengeluarkan kritik. Era tersebut langsung disikapi oleh penerbitan pers dengan melakukan penyesuaian gaya, corak dan pola pengumpulan, pengolahan, dan penyajian berita. Adanya kebebasan masyarakat menyatakan pendapat, penerbitan pers mulai menyajikan berita-berita yang mengandung pro dan kontra, kritik, dan fakta yang ada pada kekuasaan yang tidak sesuai dengan demokrasi, dan berbagai penyimpangan yang timbul di pemerintahan. Kualitas kebebasan pers yang dapat diraih pada awal reformasi dan sepanjang masa pemerintahan Presiden Habibie, terus mengalami peningkatan pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Dengan : 1) Memberikan kebebasan yang luas kepada pengelola penerbitan pers dalam melaksanakan kegiatan profesinya. 2) Meniadakan pengawasan dan campur tangan terhadap penyelenggaraan pers termasuk melalui pembubaran Departemen Penerangan yang pada masa orde baru menjadi institusi pengawas dan penindas pers. 3) Mencabut Undang-Undang No. 21 tahun 1982 dan menggantikannya dengan Undang-undang No. 40 tahun 1999 yang tidak lagi mensyaratkan adanya SIUPP untuk penerbitan pers . Kebijakan pemerintah tersebut mendapat tanggapan dan sambutan sangat positif dari praktisi pers dan masyarakat luas. Hal ini dibuktikan dari peningkatan jumlah penerbitan pers yang baru, serta mulai bergairahnya penerbitan pers dalam melaksanakan dan mengembangkan kegiatan penerbitan. Namun demikian, adanya kebebasan pers ini belum secara langsung belum meningkatkan pelaksanaan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kualitas penerbitan pers dan pertambahan jumlah penerbitan pers justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang rancu dan membingungkan masyarakat. Banyak lahirnya pers-pers partisipan yang menyurakan dan corong kepentingan pihak tertentu dan sangat bernafsu untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Banyak pengamat mengatakan pemberitaan sejumlah media massa mengenai kerusuhan di tanah air selama ini sudah keluar dari proporsi dan justru cenderung mengobarkan semangat kebencian dan dendam antar kelompok, sehingga konflik malah meluas dan menyebar. Untuk meraih pembaca, banyak penerbitan pers yang menerapkan teknik penyajian judul berita yang sensasional, menggemparkan, dan bahkan menakutkan (scare headline ). Judul berita seperti itu hampir seluruhnya dibuat berdasarkan opini wartawan, sehingga cenderung evaluatif, subjektif, konklusif, dan tidak faktual. Berita yang disajikan sesudah headline, umumnya diperoleh dari satu sumber, sehingga terlihat singkat dan kurang lengkap. Minat baca masyarakat terhadap berita semacam ini, biasanya bersifat sesaat atau tidak bertahan lama, terkadang seringkali menimbulkan kekecewaan bagi para pembaca. Tidak sedikit penerbitan pers yang secara khusus memuat berita-berita yang ditujukan untuk memenuhi selera rendah pembaca. Berita-berita yang termasuk dalam kelompok ini, pada umumnya menyangkut seks dan kejahatan, perselisihan dan keretakan rumah tangga, perceraian, perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya yang disajikan secara vulgar, kasar dan berlebihan. Menurut banyak pakar komunikasi, berita-berita seperti itu tidak ada manpaatnya bagi pembaca, selain hanya memuaskan selera rendah pembaca. Pers kita saat ini belum mengalami kemajuan yang berarti, kalau malah tidak disebut kemunduran, dibandingkan dengan peran pers sebelumnya. Masa transisi yang kita alami sekarang menjadikan sebagian besar pers menderita sejenis krisis identitas atau gegar budaya. Mereka tercerabut dari fondasi yang lama, namun kini belum memiliki fondasi baru yang kokoh tempat mereka berpijak. Tidak mengherankan jika era reformasi ini didefinisikan sebagai era kebebasan tanpa batas, sehingga banyak pers, terutama media baru yang muncul pada masa transisi ini, yang kebablasan dalam pemberitaan atau penyajian acara mereka. Pers seakan bermain di lapangan sendiri, yang terpisah dari pemerintah (khususnya lembaga eksekutif), dan masyarakat, kontras dengan peran mereka dulu sebagai—meminjam istilah Rakhmat (2002:9) pers adalah—carbon copy dari pemerintah. “Kalau dulu pers cenderung bak kambing yang dicocok hidungnya oleh pemerintah, kini pers tampaknya justru berprilaku “liar”. Pokoknya, mereka asal berbeda dengan pemerintah, kalau perlu beroposisi, tanpa menyadari bahwa kita semuanya saling membutuhkan, dan perlu saling mengingatkan, serta saling membantu untuk mencapai Indonesia yang kita cita-citakan, yang beradab dan makmur, yang mensejahterakan lahir bathin. Dampak yang paling menonjol dari munculnya berbagai persoalan akibat dibukanya berbagai kebebasan, termasuk munculnya efek dari kebebasan media massa. Ketika terjadi krisis sosial dan politik, media massalah yang menjadi motor penyampai informasi kepada masyarakat. Karena media massa itu pula, semua drama politik saat itu menjadi telanjang dan terbuka kepada publik secara langsung. Secara nyata, kebebasan pers ini telah menghadirkan dengan telanjang dan terbuka segala keruwetan dan kekacauan politik. Krisis dan konflik sosial politik menjadi lebih tajam dan semakin nampak dramatis melalui liputan pers. Publik bisa dengan leluasa membaca dan menyaksikan tingkah polah serta sumpah serapan para elit politik, baik yang ada diparlemen maupun yang ada di pemerintahan melalui pemberitaan pers. Pers sangat terkesan menjadi tidak terkendali setelah kontrol dari pemerintah lenyap, dan kebebasan pers berubah secara anarki. Perubahan yang paling nyata sejak orde baru runtuh adalah pers Indonesia yang semula terpenjara dalam pemberitaan satu nada (monotony ) menjadi liputan yang penuh hiruk pikuk (cachopony ) Kedepan pers mahasiswa semestinya harus kembali menelaah karakteristik idealnya sebagai sebuah elite papers. Pakar jurnalistik dari Universitas Stanford, William L. Rivers, mengemukakan karakteristik ideal sebuah pers kampus sebagai berikut : 1. Harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius (Must be approached as a serious work of journalism ). 2. Harus berisikan kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya (It should report and explain newsworthly events in the life of the institution ). 3. Harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa (Provide medium for student expression ). 4. Haruslah mampu menjadi pers yang diperlukan oleh komunitas kampusnya (It should make it self indispensable to the school community ). 5. Tidak boleh menjadi alat klik atau permainan yang memuaskan kelompok kecil di kampus (It can’t be a clique operation a toy for the amusement of a small group ). 6. Harus dapat memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi (Serve the purpose of mass communication ) Oleh karena itu adalah lebih baik jika di era reformasi ini pers mahasiswa banting stir untuk kembali melakukan proses penyadaran bagi insan kampus yang kini cenderung kembali pada budaya hedonis,individulis dan apatis. Label sebagai pers alternatif tetap akan dikantongi hanya saja sebutan itu lebih menyempit pangsanya karena diarahkan pada komunitas kampus. Back to campus bagi pers mahasiswa harus menjadi target sebab jika tidak segera dilakukan maka pers mahasiswa akan kehilangan eksistensinya yang disebabkan oleh kondisi saat ini yang tidak “kondusif” bagi pers mahasiswa yang ingin selalu tampil beda. Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh pers mahasiswa sungguh sangat dahsyat jika saat ini ingin bersaing dengan pers umum. Pada analisa kekuatan, pers mahasiswa memilki kekuatan antara lain keberadaannya terlindungi oleh keberadaan almamater dan dalam penerbitan medianya.. Dari aspek analisa kelemahan, pers mahasiswa justru sangat lemah. Kemampuan dan keahlian SDM yang terkadang pasang surut dan lemahnya kaderisasi membuat pers mahasiswa kadang tidak konsisten terutama dalam hal waktu terbit. Persoalan dana, dari tahun ke tahun selalu menjadi persoalan klasik, maka diperlukan kemitraan dengan unsur yang memiliki komitmen dengan perkembangan pers mahasiswa dan kampus. Kendati begitu pers mahasiswa tetap memilki peluang. Setidaknya pers mahasiswa memiliki pangsa pembaca yang potensial untuk dikembangkan yaitu civitas akademik. Suatu tantangan tersendiri bagi pengelola pers mahasiswa agar civitas akademik tersebut mau membaca sekaligus membeli terbitannya. Mengangkat isu lokal terutama yang trend di lingkungan mahasiswa dan civitas akademik nampaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk meraih pangsa pembaca. Sosialisasi untuk memulai gerakan membaca terbitan kampus sekaligus meniupkan isu tentang pentingnya minat baca harusnya bisa menarik simpati komunitas kampus. Back to campus bisa jadi menjadi pilihan alternatif bagi pers mahasiswa untuk kembali menginstropeksi diri, sejauhmana terbitannya memberikan kontribusi kepada masyarakat setidaknya komunitas kampus. Sehingga diharapkan pers mahasiswa kembali menjadi tuan rumah di kampus sendiri bukan menjadi tamu di kampusnya. Revitalisasi kualitas terbitan agar tampilan liputannya lebih menarik untuk dibaca merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan untuk pers mahasiswa ke depan dengan tetap membawa misi dan visi yang diusung dalam sejarah panjang pers mahasiswa. Dengan tetap konsisten dengan idealisme dan membangun semangat pencerdasan bangsa dalam merespon tantangan yang ada dan mengatasinya. Wallohualam Bissawab. *Sumbang saran dalam acara : Latihan Dasar Jurnalistik MOMENTUM di Universitas Langlangbuana 15 Oktober 2010. http://ekibaihaki.com/article/87426/eksistensi-dan-peran-strategis-pers-mahasiswa.html

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost